SUAMI isteri Sarjiman pindah. Dari salah satu kota di Pulau
Jawa, mereka pindah ke Banjarmasin. Beberapa bulan kemudian,
keduanya sudah merasa mantap di kota tersebut. Nyonya Sarjiman
bahkan telah melahirkan bayinya. Karena kesibukan sang nyonya,
seorang pembantu rumah tangga bernama Napsah dipekerjakan
terutama untuk mengasuh bayinya. Rupanya nyonya rumah lebih
banyak membuang waktunya di luar rumah dan menyerahkan seluruh
urusan bayi kepada sang pembantu.
Sampai pada suatu hari, nyonya rumah terkejut mendapatkan
bayinya "digantung" di tiang rumah. Seluruh tubuh bayi dibungkus
kain panjang dan yang tampak hanya mukanya saja. Matanya
tertutup, di mulutnya keluar cairan yang tampaknya seperti busa.
Melihat kondisi sang bayi seperti ini, sang ibu tentu saja
kaget. Dia menjerit sekuatnya dengan segala kebingungan yang
mendekati histeris. Para tetangga berdatangan, menengok apa
gerangan yang telah terjadi. Nyonya Sarjiman menunjuk Napsah
sebagai orang yang telah menggantung bayinya.
Melihat bayinya dalam keadaan tergantung, mata terpejam dan busa
keluar dari mulut, diambillah kesimpulan bahwa Napsah telah
dengan sengaja membunuh sang bayi. Apalagi ada stagen yang
melingkar di leher sang bayi. Untunglah, kasus kecil ini segera
diketahui para tetangga. Mereka kemudian menjelaskan duduk
perkara bahwa memang begitulah orang menidurkan bayi di
Banjarmasin. Dan busa yang keluar dari mulut tak lain adalah air
liur belaka, yang mungkin karena bercampur dengan susu, tampak
seperti putih berbusa. "Itu namanya dipukung," demikian ujar
salah seorang tetangga.
Dipukung adalah tradisi masyarakat suku Banjar. Caranya dengan
mendudukkan bayi tersebut dalam ayunan atau buaian. Kedua
kakinya dirapatkan untuk kemudian kedua dengkul dilekatkan ke
dada, yang mirip orang duduk berjongkok. Atau mirip seperti
posisi ketika bayi itu masih dalam kepompong kandungan ibunya.
Orang Banjar percaya bahwa dengan cara itu sang bayi akan tidur
lebih lama dan lebih nyenyak. Sang ibu atau pengasuhnya tidak
perlu kuatir bayi akan jatuh seperti jamaknya kalau bayi itu
dibaringkan di tempat tidur. Dengan demikian sang ibu atau
pengasuhnya bisa tenang mengerjakan pekerjaan lain.
Mengapa?
Tapi mengapa musti dipukung? Tak banyak yang tahu riwayatnya.
Namun menurut drs. Syamsiar Seman -- seorang sarjana sastra
daerah -- menidurkan anak dengan cara demikian, sama nilainya
dengan anak itu tidur dalam pelukan ibunya. Bahkan pada
suku-suku Banjar yang memegang tradisi dulu, tali ayunan juga
tidak boleh sembarangan. Dibuat dari kulit belaran -- pohon
belaran mempunyai kulit yang kuat. Kulit tersebut kemudian
dibuat tali. Di atas lantai di bawah pukungan, biasanya
diletakkan sebilah parang kecil yang telah diboreh kapur sirih
dengan tanda silang. Tanda silang dengan kapur sirih di parang
ini disebut cacak burung. "Maksudnya, agar setan atau orang
halus yang bermaksud mengganggu anak yang tidur itu, takut,"
kata Syamsiar. Syamsiar sendiri kurang setuju tentang sistim
pukung ini. Menurut Syamsiar, seorang dokter pernah mengemukakan
pendapat "sama dengan tindakan paksa terhadap tubuh si anak,
dalam posisi duduk."
Tapi yang pasti, para ibu sudah terbiasa dengan memukung
bayi-bayi mereka. Biasanya, menidurkan anak cara begini juga
dengan cara atau rituil tersendiri. Di saat-saat semacam itu,
biasanya ditanamkan ikrar dua kalimah syahadat. Juga dinyanyikan
pantun-pantun tentang Tuhan, tentang Rasul Muhammad dan iringan
doa murah rezeki, panjang umur dan harapan si bayi besar dan
mati dalam beriman. Sang ibu tetap menepuk-nepuk pantat bayi,
sambil ayunan itu bergerak ke depan ke belakang, sampai sang
bayi tertidur dan ayunan berhenti dengan sendirinya.
Nyanyian nina bobok ini dikidungkan dengan suara lembut penuh
kasih sayang sang ibu. Syair lagu biasanya dibawakan sama
baiknya, biarpun itu seorang ibu dari Banjar yang diam di
pegunungan, di pantai atau di kota. Syair yang membuat sang bayi
yang hangat didekap kain ayunan, berbunyi:
Guring-guring anakku guring,
guring akan dalam pukungan.
Mata bapajam si handak guring,
panjang umur mati baiman.
Guring artinya tidur, bapajam artinya terpejam. Syair kedua,
berbunyi:
Laa Ilaha illallah,
Muhammadar rasullullah.
Kakasih Tuhan, kakasih Allah,
Murah rajaki, bauntung tuah.
Rajaki artinya rejeki, dan bauntung artinya beruntung. Kedua
syair ini diulang-ulang terus, sampai bayi dalam ayunan tidur
lelap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini