Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mata bapajam si handak guring

Tradisi masyarakat banjar kalau menidurkan bayinya dengan pukungan. anak lebih nyenyak tidurnya tanpa takut jatuh, sementara ibunya mengidungkan pantun-pantun tentang tuhan dan doa-doa. (ils)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUAMI isteri Sarjiman pindah. Dari salah satu kota di Pulau Jawa, mereka pindah ke Banjarmasin. Beberapa bulan kemudian, keduanya sudah merasa mantap di kota tersebut. Nyonya Sarjiman bahkan telah melahirkan bayinya. Karena kesibukan sang nyonya, seorang pembantu rumah tangga bernama Napsah dipekerjakan terutama untuk mengasuh bayinya. Rupanya nyonya rumah lebih banyak membuang waktunya di luar rumah dan menyerahkan seluruh urusan bayi kepada sang pembantu. Sampai pada suatu hari, nyonya rumah terkejut mendapatkan bayinya "digantung" di tiang rumah. Seluruh tubuh bayi dibungkus kain panjang dan yang tampak hanya mukanya saja. Matanya tertutup, di mulutnya keluar cairan yang tampaknya seperti busa. Melihat kondisi sang bayi seperti ini, sang ibu tentu saja kaget. Dia menjerit sekuatnya dengan segala kebingungan yang mendekati histeris. Para tetangga berdatangan, menengok apa gerangan yang telah terjadi. Nyonya Sarjiman menunjuk Napsah sebagai orang yang telah menggantung bayinya. Melihat bayinya dalam keadaan tergantung, mata terpejam dan busa keluar dari mulut, diambillah kesimpulan bahwa Napsah telah dengan sengaja membunuh sang bayi. Apalagi ada stagen yang melingkar di leher sang bayi. Untunglah, kasus kecil ini segera diketahui para tetangga. Mereka kemudian menjelaskan duduk perkara bahwa memang begitulah orang menidurkan bayi di Banjarmasin. Dan busa yang keluar dari mulut tak lain adalah air liur belaka, yang mungkin karena bercampur dengan susu, tampak seperti putih berbusa. "Itu namanya dipukung," demikian ujar salah seorang tetangga. Dipukung adalah tradisi masyarakat suku Banjar. Caranya dengan mendudukkan bayi tersebut dalam ayunan atau buaian. Kedua kakinya dirapatkan untuk kemudian kedua dengkul dilekatkan ke dada, yang mirip orang duduk berjongkok. Atau mirip seperti posisi ketika bayi itu masih dalam kepompong kandungan ibunya. Orang Banjar percaya bahwa dengan cara itu sang bayi akan tidur lebih lama dan lebih nyenyak. Sang ibu atau pengasuhnya tidak perlu kuatir bayi akan jatuh seperti jamaknya kalau bayi itu dibaringkan di tempat tidur. Dengan demikian sang ibu atau pengasuhnya bisa tenang mengerjakan pekerjaan lain. Mengapa? Tapi mengapa musti dipukung? Tak banyak yang tahu riwayatnya. Namun menurut drs. Syamsiar Seman -- seorang sarjana sastra daerah -- menidurkan anak dengan cara demikian, sama nilainya dengan anak itu tidur dalam pelukan ibunya. Bahkan pada suku-suku Banjar yang memegang tradisi dulu, tali ayunan juga tidak boleh sembarangan. Dibuat dari kulit belaran -- pohon belaran mempunyai kulit yang kuat. Kulit tersebut kemudian dibuat tali. Di atas lantai di bawah pukungan, biasanya diletakkan sebilah parang kecil yang telah diboreh kapur sirih dengan tanda silang. Tanda silang dengan kapur sirih di parang ini disebut cacak burung. "Maksudnya, agar setan atau orang halus yang bermaksud mengganggu anak yang tidur itu, takut," kata Syamsiar. Syamsiar sendiri kurang setuju tentang sistim pukung ini. Menurut Syamsiar, seorang dokter pernah mengemukakan pendapat "sama dengan tindakan paksa terhadap tubuh si anak, dalam posisi duduk." Tapi yang pasti, para ibu sudah terbiasa dengan memukung bayi-bayi mereka. Biasanya, menidurkan anak cara begini juga dengan cara atau rituil tersendiri. Di saat-saat semacam itu, biasanya ditanamkan ikrar dua kalimah syahadat. Juga dinyanyikan pantun-pantun tentang Tuhan, tentang Rasul Muhammad dan iringan doa murah rezeki, panjang umur dan harapan si bayi besar dan mati dalam beriman. Sang ibu tetap menepuk-nepuk pantat bayi, sambil ayunan itu bergerak ke depan ke belakang, sampai sang bayi tertidur dan ayunan berhenti dengan sendirinya. Nyanyian nina bobok ini dikidungkan dengan suara lembut penuh kasih sayang sang ibu. Syair lagu biasanya dibawakan sama baiknya, biarpun itu seorang ibu dari Banjar yang diam di pegunungan, di pantai atau di kota. Syair yang membuat sang bayi yang hangat didekap kain ayunan, berbunyi: Guring-guring anakku guring, guring akan dalam pukungan. Mata bapajam si handak guring, panjang umur mati baiman. Guring artinya tidur, bapajam artinya terpejam. Syair kedua, berbunyi: Laa Ilaha illallah, Muhammadar rasullullah. Kakasih Tuhan, kakasih Allah, Murah rajaki, bauntung tuah. Rajaki artinya rejeki, dan bauntung artinya beruntung. Kedua syair ini diulang-ulang terus, sampai bayi dalam ayunan tidur lelap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus