Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sepeninggal Pahlawan Pattimura

Pihak gereja di kepulauan Liase, Maluku Tengah, dihadapkan dengan adat istiadat setempat. Ada pranata adat yang dapat diterima, tetapi ritus-ritus & orientasi pada leluhur bertentangan dengan ajaran gereja. (ag)

3 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG tengah malam, Minggu 14 Mei lalu, Baileu (Balai Pertemuan) Kota Saparua di Maluku Tengah sudah sarat manusia dari seluruh pulau. juga dari Pulau Nussa Laut yang bertetangga. Api unggun pun dinyalakan dan dari nyala itu, Raja (Kepala Negeri) Saparua menghidupkan 'Obor Pattimura'. Upacara dilanjutkan semalam suntuk dengan tarian cakalele, pembacaan mantra pakatan) serta hembusan kulit bia (lokan) pemanggil arwah nenek moyang. Upacara yang sarat dengan warna adat dan agama tersebut (obor itu akhirn a ditancapkan di Tugu Pattimura di Kota Ambon, dengan iringan dentang lonceng gereja, setelah diseberangkan dari Saparua), hanyalah satu contoh kecil dari masalah adat yang dihadapi pihak gereja. Mungkin hanya kebetulan, nama Pattimura sendiri dalam bahasa Tana artinya kurang lebih 'Ratu Adil'. Dan agaknya benar pula dugaan seorang pendeta Gereja Protestan Maluku (GPM), bahwa RMS pada mulanya menggalang dukungan sementara rakyat tak lain dengan mitos 'ratu adil' itu pula. (Seorang sersan KNIL yang mengepalai tentara RMS misalnya, Nussy, memobilisir pemuda Maluku Tengah dalam 'Pasukan Pattimura' sekitar satu batalion). Tak perlu dikatakan, bahwa penghormatan kepada Pattimura sekarang ini tak lain penghormatan yang memang harus diberikan kepada pahlawan bangsa. Dan masalah yang tinggal kemudian semata-mata masalah keimanan dalam hubungannya dengan ajaran Gereja. Masalah itu ialah Kepulauan Uliase, di Maluku Tengah (Ambon, Haruku, Saparua, dan Nussa Laut), sudah dua-tiga abad bersentuhan dengan agama Nasrani. Namun tetap juga adat istiadat setempat yang dilandasi orientasi pada leluhur serta kekuatan supernatural muncul di permukaan. Terutama di desa-desa pelosok. Jemaat Kristen di Haria misalnya, satu desa yang jadi terkenal lantaran di situ mulainya pemberontakan Thomas Matulesi alias Pahlawan Pattimura melawan Belanda (1817), "masih memegang dan menjalankan berbagai ritus alam di samping dengan setianya memenuhi hidup kekristenannya." Begitu tulis Wim Davidz (38 tahun), dalam majalah Peninjau terbitan Lembaga Penelitian Sosil (LPS) DGI 1977. Memang kesetiaan pada adat yang diturunkan dan 'dijaga' nenek moyang berbeda kadarnya di antara sekian banyak negeri (desa) Kristen di Maluku Tengah. Namun pada umumnya, begitu lulusan STT Jakarta itu kepada George Y. Adicondro dari TEMPO, "jemaat selalu berusaha mencari keseimbangan antara agama dan adat. Padahal, antara agama dan adat kadang-kadang bisa terjadi dualisme yang tak sesuai dengan Iman Kristen. Juga kepatuhan yang berlebihan pada ritus-ritus alam dapat membuat manusia tak lebih dari boneka mainan. Ini mendiskreditkan hakekat kerja." Ada pranata adat yang dapat diterima Gereja. "Malah disakralkan," tutur Davidz. Misalnya sasi. Sasi ialah pantangan memungut hasil bumi dan laut pada masa tertentu. Pada sasi kelapa misalnya, seluruh penduduk desa dilarang mutlak memetik kelapa. Sedang pada sasi labuang orang tak boleh turun ke laut membuang jala. Masa pantang ini dibuka dan ditutup dengan doa pendeta, dan diumumkan lewat mimbar gereja. Dulu, pelanggaran terhadap tabu ini diputuskan sanksinya oleh saniri negeri (dewan pemerintahan desa) atas petunjuk kepala adat. Paling ringan misalnya adalah keharusan kerja bakti mencabut rumput di halaman baileu (balai desa). Tapi kini, pengamanan terhadap sasi lebih banyak dilakukan majelis gereja dengan cara yang lebih persuasif. Tapi penentuan kapan tibanya masa sasi, masih dilakukan kepala-kepala adat dengan cara tradisionil. Keramat Pusapulu Tapi ada kalanya kepercayaan pada kekuasaan leluhur dan kekuatan gaib terasa agak mengganggu iman para pendeta. Misalnya Mendiang Leo Lekehena, pendeta GPM. Ia berusaha 'mengkristenkan' tempat keramat Pusapulu di Pulau Nussa Laut, 6 tahun berselang. Caranya: dia mengumpulkan murid sekolah Minggu dan mengadakan sembahyangan secara Kristen di situ. Tak lama kemudian dia meninggal dan penduduk Nussa Laut ditimpa musibah kemarau berkepanjangan, sehingga mata air ketujuh negeri di sana nyaris kering. Baru setelah diadakan upacara "bikin betul hubungan batin" dengan nenek moyang, kemarau itu (kebetulan?) berakhir, dan air mengalir lagi mengucur-ngucur. Penduduk percaya, tindakan Lekehena itulah penyebab bala (juga penyebab kematian sang pendeta). Sebab Pusapulu, lapangan kecil di bukit di tengah pulau, dulunya memang tempat somba upu (menyembah leluhur). Juga tempat musyawarah pemimpin tujuh negeri di Nussa Laut, yang biasanya didahului upacara membaca mantra pakata) serta meniup kulit bia (lokan) sebagai permohonan doa restu nenek moyang -- seperti juga dilakukan dalam peringatan pahlawan Pattimura di atas. Di tengah tempat terbuka itu ada semacam batu altar yang dipercayai tempat tancapan tombak Kapitan Tomasoa, pertanda maklumat perang rakyat Nussa Laut melawan Belanda di masa Pattimura. Di sekelilingnya ada tujuh batu perlambang ketujuh negeri -- hampir mirip peninggalan megalitik Stonehege di Inggeris, yang juga tempat musyawarah adat serta pemujaan para dewata. "Cara yang ditempuh Almarhum Leo lekehena mungkin terlalu radikal," komentar David. Namun ia tetap berpendapat, dualisme agama dan adat harus ditinjau kembali -- terutama orientasi yang keterlaluan pada leluhur. Juga tata-cara bekerja yang dianggapnya kurang rasionil. Sebagai contoh disebutnya kepercayaan orang Uliase: kalau menanam sebatang tanaman, lubang galian harus dialas dengan sobekan kain layar -- agar tanaman tumbuh subur seperti layar terkembang. "Kan lebih baik tanaman itu diberi pupuk, daripada sobekan layar, bukan?" Wim, dalam laporan surveinya itu kelihatan sangat canggung menghadapi adat, sementara begitu intim dengan tehnologi Barat. Sikap itu kurang dapat diterima seorang rekannya di DC-DGI. Valerine Kriekhoff MA. Antropolog lulusan Texas itu berpendapat: "Apa yang sepintas lalu bagi kita kelihatan irasionil dalam konteks masyarakat setempat mungkin justru ada nalarnya. Seperti sobekan kain layar tadi. Siapa tahu sobekan yang lapuk dalam tanah justru berfungsi sebagai humus, seperti tanaman yang terbungkus daun pisang?" Nona Kriekhoff yang asal Ambon itu telah mendalami pelbagai lembaga ada di Maluku Tengah. Khususnya perkera batan darah (pela), yang timbul sebagal aliansi kekuatan menghadapi invasi dari Utara (Ternate, Tidore). Atau lantaran pendiri beberapa desa pernah terlibat dalam perang dan ternyata sama saktinya. Menurut Valerine, lembaga pela ini banyak segi positifnya. Misalnya kewajiban tolong-menolong masohi) antara sesama pela dalam membangun gereja, mesjid, sekolah, baileu dan sebagainya. Ketegangan antar agama -- khususnya Kristen-Islam -- kurang terjadi antara dua negeri berpela. Adapun segi negatifnya mungkin cuma satu: larangan kawin antara anggota pela batu karang (pela keras). "Padahal ini sudah semakin sering terjadi antara generasi muda di Maluku sendiri, di Jakarta, atau di Belanda. Tapi percaya atau tidak, sanksinya musti ada. Entah tak punya anak, suami atau isteri sering sakit-sakitan, atau selalu cekcok. Tapi kalau gangguan itu sudah terjadi, secara adat dianggap sudah impas. Yah, berani melanggar adat, harus berani juga menanggung risikonya," tutur nona Ambon itu. Pokoknya, bagi Valerine, merombak atau merubah adat "harus jelas motivasinya." Alasan materialistis saja belum cukup. "Upacara adat Maluku tak banyak makan biaya seperti upacara kematian di Toraja misalnya. Atau belis (mas kawin) di Timor. Malahan upacara kegerejaan di Maluku jauh lebih boros daripada upacara adat. Misalnya biaya anak serani (pembaptisan), atau sidi (inisiasi Kristen) yang dapat menghabiskan sampai seratus ribu rupiah," kata dosen antropologi FH-UI itu. Tapi bahwa lembaga adat ada juga yang merugikan pengembangan prakarsa pribadi -- misalnya kewajiban masohi -- diakuinya juga. Begitu pula bahwa kepatuhan yang berlebihan pada ritus-ritus alam kurang memberi penghargaan kepada kerja, usaha dan kreativitas. "Untuk merubahnya melalui pendidikan, bisa makan waktu satu generasi." Ia lantas mengutip Prof. Koentjaraningrat: bahwa agama dan seluruh sistim kepercayaan masyarakat adalah pranata kebudayaan yang paling sensitif. "Paling sulit diubah," komentar Valerine.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus