MENJELANG tengah malam, Minggu 14 Mei lalu, Baileu (Balai
Pertemuan) Kota Saparua di Maluku Tengah sudah sarat manusia
dari seluruh pulau. juga dari Pulau Nussa Laut yang
bertetangga. Api unggun pun dinyalakan dan dari nyala itu, Raja
(Kepala Negeri) Saparua menghidupkan 'Obor Pattimura'. Upacara
dilanjutkan semalam suntuk dengan tarian cakalele, pembacaan
mantra pakatan) serta hembusan kulit bia (lokan) pemanggil
arwah nenek moyang.
Upacara yang sarat dengan warna adat dan agama tersebut (obor
itu akhirn a ditancapkan di Tugu Pattimura di Kota Ambon,
dengan iringan dentang lonceng gereja, setelah diseberangkan
dari Saparua), hanyalah satu contoh kecil dari masalah adat yang
dihadapi pihak gereja. Mungkin hanya kebetulan, nama Pattimura
sendiri dalam bahasa Tana artinya kurang lebih 'Ratu Adil'. Dan
agaknya benar pula dugaan seorang pendeta Gereja Protestan
Maluku (GPM), bahwa RMS pada mulanya menggalang dukungan
sementara rakyat tak lain dengan mitos 'ratu adil' itu pula.
(Seorang sersan KNIL yang mengepalai tentara RMS misalnya,
Nussy, memobilisir pemuda Maluku Tengah dalam 'Pasukan
Pattimura' sekitar satu batalion).
Tak perlu dikatakan, bahwa penghormatan kepada Pattimura
sekarang ini tak lain penghormatan yang memang harus diberikan
kepada pahlawan bangsa. Dan masalah yang tinggal kemudian
semata-mata masalah keimanan dalam hubungannya dengan ajaran
Gereja.
Masalah itu ialah Kepulauan Uliase, di Maluku Tengah (Ambon,
Haruku, Saparua, dan Nussa Laut), sudah dua-tiga abad
bersentuhan dengan agama Nasrani. Namun tetap juga adat istiadat
setempat yang dilandasi orientasi pada leluhur serta kekuatan
supernatural muncul di permukaan. Terutama di desa-desa pelosok.
Jemaat Kristen di Haria misalnya, satu desa yang jadi terkenal
lantaran di situ mulainya pemberontakan Thomas Matulesi alias
Pahlawan Pattimura melawan Belanda (1817), "masih memegang dan
menjalankan berbagai ritus alam di samping dengan setianya
memenuhi hidup kekristenannya." Begitu tulis Wim Davidz (38
tahun), dalam majalah Peninjau terbitan Lembaga Penelitian
Sosil (LPS) DGI 1977. Memang kesetiaan pada adat yang
diturunkan dan 'dijaga' nenek moyang berbeda kadarnya di antara
sekian banyak negeri (desa) Kristen di Maluku Tengah.
Namun pada umumnya, begitu lulusan STT Jakarta itu kepada George
Y. Adicondro dari TEMPO, "jemaat selalu berusaha mencari
keseimbangan antara agama dan adat. Padahal, antara agama dan
adat kadang-kadang bisa terjadi dualisme yang tak sesuai dengan
Iman Kristen. Juga kepatuhan yang berlebihan pada ritus-ritus
alam dapat membuat manusia tak lebih dari boneka mainan. Ini
mendiskreditkan hakekat kerja."
Ada pranata adat yang dapat diterima Gereja. "Malah
disakralkan," tutur Davidz. Misalnya sasi. Sasi ialah pantangan
memungut hasil bumi dan laut pada masa tertentu. Pada sasi
kelapa misalnya, seluruh penduduk desa dilarang mutlak memetik
kelapa. Sedang pada sasi labuang orang tak boleh turun ke laut
membuang jala. Masa pantang ini dibuka dan ditutup dengan doa
pendeta, dan diumumkan lewat mimbar gereja.
Dulu, pelanggaran terhadap tabu ini diputuskan sanksinya oleh
saniri negeri (dewan pemerintahan desa) atas petunjuk kepala
adat. Paling ringan misalnya adalah keharusan kerja bakti
mencabut rumput di halaman baileu (balai desa). Tapi kini,
pengamanan terhadap sasi lebih banyak dilakukan majelis gereja
dengan cara yang lebih persuasif. Tapi penentuan kapan tibanya
masa sasi, masih dilakukan kepala-kepala adat dengan cara
tradisionil.
Keramat Pusapulu
Tapi ada kalanya kepercayaan pada kekuasaan leluhur dan kekuatan
gaib terasa agak mengganggu iman para pendeta. Misalnya Mendiang
Leo Lekehena, pendeta GPM. Ia berusaha 'mengkristenkan' tempat
keramat Pusapulu di Pulau Nussa Laut, 6 tahun berselang.
Caranya: dia mengumpulkan murid sekolah Minggu dan mengadakan
sembahyangan secara Kristen di situ.
Tak lama kemudian dia meninggal dan penduduk Nussa Laut ditimpa
musibah kemarau berkepanjangan, sehingga mata air ketujuh negeri
di sana nyaris kering. Baru setelah diadakan upacara "bikin
betul hubungan batin" dengan nenek moyang, kemarau itu
(kebetulan?) berakhir, dan air mengalir lagi mengucur-ngucur.
Penduduk percaya, tindakan Lekehena itulah penyebab bala (juga
penyebab kematian sang pendeta). Sebab Pusapulu, lapangan kecil
di bukit di tengah pulau, dulunya memang tempat somba upu
(menyembah leluhur). Juga tempat musyawarah pemimpin tujuh
negeri di Nussa Laut, yang biasanya didahului upacara membaca
mantra pakata) serta meniup kulit bia (lokan) sebagai
permohonan doa restu nenek moyang -- seperti juga dilakukan
dalam peringatan pahlawan Pattimura di atas.
Di tengah tempat terbuka itu ada semacam batu altar yang
dipercayai tempat tancapan tombak Kapitan Tomasoa, pertanda
maklumat perang rakyat Nussa Laut melawan Belanda di masa
Pattimura. Di sekelilingnya ada tujuh batu perlambang ketujuh
negeri -- hampir mirip peninggalan megalitik Stonehege di
Inggeris, yang juga tempat musyawarah adat serta pemujaan para
dewata.
"Cara yang ditempuh Almarhum Leo lekehena mungkin terlalu
radikal," komentar David. Namun ia tetap berpendapat, dualisme
agama dan adat harus ditinjau kembali -- terutama orientasi yang
keterlaluan pada leluhur. Juga tata-cara bekerja yang
dianggapnya kurang rasionil.
Sebagai contoh disebutnya kepercayaan orang Uliase: kalau
menanam sebatang tanaman, lubang galian harus dialas dengan
sobekan kain layar -- agar tanaman tumbuh subur seperti layar
terkembang. "Kan lebih baik tanaman itu diberi pupuk, daripada
sobekan layar, bukan?"
Wim, dalam laporan surveinya itu kelihatan sangat canggung
menghadapi adat, sementara begitu intim dengan tehnologi Barat.
Sikap itu kurang dapat diterima seorang rekannya di DC-DGI.
Valerine Kriekhoff MA. Antropolog lulusan Texas itu berpendapat:
"Apa yang sepintas lalu bagi kita kelihatan irasionil dalam
konteks masyarakat setempat mungkin justru ada nalarnya. Seperti
sobekan kain layar tadi. Siapa tahu sobekan yang lapuk dalam
tanah justru berfungsi sebagai humus, seperti tanaman yang
terbungkus daun pisang?"
Nona Kriekhoff yang asal Ambon itu telah mendalami pelbagai
lembaga ada di Maluku Tengah. Khususnya perkera batan darah
(pela), yang timbul sebagal aliansi kekuatan menghadapi invasi
dari Utara (Ternate, Tidore). Atau lantaran pendiri beberapa
desa pernah terlibat dalam perang dan ternyata sama saktinya.
Menurut Valerine, lembaga pela ini banyak segi positifnya.
Misalnya kewajiban tolong-menolong masohi) antara sesama pela
dalam membangun gereja, mesjid, sekolah, baileu dan sebagainya.
Ketegangan antar agama -- khususnya Kristen-Islam -- kurang
terjadi antara dua negeri berpela.
Adapun segi negatifnya mungkin cuma satu: larangan kawin antara
anggota pela batu karang (pela keras). "Padahal ini sudah
semakin sering terjadi antara generasi muda di Maluku sendiri,
di Jakarta, atau di Belanda. Tapi percaya atau tidak, sanksinya
musti ada. Entah tak punya anak, suami atau isteri sering
sakit-sakitan, atau selalu cekcok. Tapi kalau gangguan itu sudah
terjadi, secara adat dianggap sudah impas. Yah, berani melanggar
adat, harus berani juga menanggung risikonya," tutur nona Ambon
itu.
Pokoknya, bagi Valerine, merombak atau merubah adat "harus jelas
motivasinya." Alasan materialistis saja belum cukup. "Upacara
adat Maluku tak banyak makan biaya seperti upacara kematian di
Toraja misalnya. Atau belis (mas kawin) di Timor. Malahan
upacara kegerejaan di Maluku jauh lebih boros daripada upacara
adat. Misalnya biaya anak serani (pembaptisan), atau sidi
(inisiasi Kristen) yang dapat menghabiskan sampai seratus ribu
rupiah," kata dosen antropologi FH-UI itu.
Tapi bahwa lembaga adat ada juga yang merugikan pengembangan
prakarsa pribadi -- misalnya kewajiban masohi -- diakuinya juga.
Begitu pula bahwa kepatuhan yang berlebihan pada ritus-ritus
alam kurang memberi penghargaan kepada kerja, usaha dan
kreativitas.
"Untuk merubahnya melalui pendidikan, bisa makan waktu satu
generasi." Ia lantas mengutip Prof. Koentjaraningrat: bahwa
agama dan seluruh sistim kepercayaan masyarakat adalah pranata
kebudayaan yang paling sensitif. "Paling sulit diubah,"
komentar Valerine.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini