Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Maut di Laut

DALAM kurun dua pekan, dua kecelakaan kapal terjadi di dua tempat.

7 Juli 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Maut di Laut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM kurun dua pekan, dua kecelakaan kapal terjadi di dua tempat. Setelah kapal motor Sinar Bangun, yang mengangkut ratusan orang, karam di Danau Toba, Sumatera Utara, pada 18 Juni lalu, pada Selasa pekan lalu kapal motor Lestari Maju kandas di pesisir Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, karena bocor di bagian lambung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan orang menjadi korban dalam dua kecelakaan kapal itu. Presiden Joko Widodo mengatakan maraknya kecelakaan kapal belakangan ini bukan semata-mata karena faktor cuaca. "Umumnya disebabkan pelayanan yang tidak disiplin dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di negara kepulauan ini, kecelakaan kapal kerap terjadi dengan penyebab yang nyaris sama. Tempo edisi 13 Juni 1987 pun menulis artikel "Lebaran Maut di Laut Jawa" yang mengulas kecelakaan kapal yang mengakibatkan puluhan orang meninggal pada malam Lebaran di Kepulauan Seribu. Karena alat komunikasi belum canggih, kecelakaan itu baru diketahui saat penduduk Pulau Papatheo dan Pulau Kelapa menemukan enam mayat yang sudah membusuk di sekitar pantai.

Kapten Djiman, Kepala Kepolisian Sektor Kepulauan Seribu, yang mendengar kabar tentang peristiwa itu dari kontak radio dengan pos polisi Pulau Kelapa, langsung beraksi. Laporan pun segera dipancarkan ke Kepolisian Resor Jakarta Utara hingga akhirnya sampai ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Kepolisian RI.

Di pagi buta, lima perahu motor Tim Pengamanan Lebaran dari satuan tugas polisi air sudah bergerak ke kawasan perairan wisata itu. Keenam mayat segera diperiksa. "Ada yang tidak berkepala, ada pula yang tangannya putus," ujar Djiman. Empat mayat pria dan dua wanita itu lalu dikubur di Pulau Kelapa secara Islam.

Operasi dilanjutkan dengan menyapu perairan sekitar Pulau Kelapa, yang bisa dicapai dalam satu setengah jam dari Tanjung Priok dengan kapal motor. Nihil. Baru esok paginya tim yang dipimpin Kapten Suparman menemukan dua mayat lain di sekitar Pulau Perak, tak jauh dari Pulau Kelapa. Lalu, sorenya, di sekitar Pulau Malinjo ditemukan lima mayat.

Esoknya, penduduk Pulau Sepa menemukan tujuh jasad terapung lagi. Tujuh jasad lain menyusul ditemukan sehari kemudian di sekitar Pulau Malinjo dan Perak. Setelah penemuan 20 mayat itulah kabar tentang peristiwa tersebut sampai di Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas), 30 Mei 1987. Operasi dihentikan sementara untuk koordinasi, sementara mayat-mayat itu disemayamkan di Pulau Kelapa, kecuali yang ditemukan di Pulau Sepa. Identitas mereka pun mulai jelas.

Basarnas, yang tak ikut ambil bagian dalam operasi di Kepulauan Seribu itu, dua hari menjelang Lebaran ternyata mendapat pesan radio dari Kantor SAR Balikpapan, Kalimantan Timur, tentang adanya kapal yang tenggelam. Pesan itu menyatakan bahwa sebuah kapal samudra berbendera Honduras, Erec, saat dalam perjalanan dari Tanjung Priok ke Balikpapan, 21 Mei 1987, menolong 22 orang yang terapung-apung di perairan Pekalongan, Jawa Tengah.

Basarnas mengontak Panglima Armada Timur di Surabaya. Sebuah pesawat Nomad lalu diterbangkan mengitari perairan Pekalongan. Penerbangan itu dihentikan setelah tiga hari tanpa hasil. "Tahu-tahu muncul mayat bergelimpangan," ujar Kolonel Laut (Purnawirawan) Tommy Manurung, Kepala Pusat Operasi Basarnas Menurut dugaannya, mayat-mayat itu bisa sampai di Kepulauan Seribu karena terseret angin timur.

Kapal yang tenggelam itu adalah perahu layar motor Arena Jaya, yang sedang dalam perjalanan dari Tanjungpinang menuju Pulau Bawean, di utara Pulau Madura, yang berjarak 600 mil. Perahu itu, ketika meninggalkan pelabuhan, 19 Mei malam, beriringan dengan dua perahu layar motor lain, Kastoba Jaya dan Tirta Bhakti. Ketiganya mengangkut penduduk Bawean yang bermukim di Malaysia yang hendak berlebaran di kampung.

Menurut para penumpang yang selamat, nakhoda Arena Jaya memang ugal-ugalan. Perahu itu dijubeli sekitar 120 penumpang, padahal dari Singapura sudah mengangkut besi-besi beton. Di Laut Jawa, sekitar 40 mil dari Tegal, Jawa Tengah, Arena Jaya terserang ombak ganas hingga terbalik dan tenggelam. Karena itulah Ridwan, sang nakhoda, yang berhasil menyelamatkan diri, meringkuk di tahanan Kepolisian Sektor Sangkapura, Pulau Bawean.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus