Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM dari Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair di Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung membuat alat pengolah air laut untuk menghasilkan air tawar. Inovasi bernama Solar Still Desalinator karya Suprihanto Notodarmojo, Qomarudin Helmy, dan Andri Gumilar itu berfungsi seperti alat pemasak. Tanpa bahan bakar minyak atau setrum, energinya hanya mengandalkan panas dari sinar surya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berteknologi sederhana, prinsip kerja alat itu untuk memanaskan air laut, lalu uapnya menjadi air tawar. Tim memakai air laut dari tiga lokasi, seperti perairan di Jakarta dan selatan Jawa. Air tawar yang dihasilkan melampaui kategori air baku sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Artinya, air sudah bisa langsung diminum dan bebas bakteri. "Sinar matahari yang mengandung ultraviolet jenis C bersifat disinfektan," kata Andri, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alat itu baru dipajang di Aula Timur ITB pada acara Pameran Karya Penelitian, Inovasi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, 5-6 Juli 2018. Gagasan Suprihanto yang dirintis sejak 2015 itu semula ingin menghasilkan air baku untuk mandi dan mencuci buat warga daerah pesisir dan kepulauan yang kesulitan air tawar. "Air bersih barang yang mahal, juga listrik. Bagaimana menyediakannya dengan energi gratis," ujar Andri.
Tim banyak melakukan riset dan uji coba untuk membangun reaktor pengolahnya. Misalnya, bahan aluminium yang dipakai, bentuknya, dan posisi kemiringan reaktor. Belakangan, mereka menemukan tambahan alat, solar concentrator, sebagai wadah air laut agar proses pemasakan lebih cepat. Solar concentrator ditempatkan lebih tinggi dari reaktor pemanas.
Reaktor itu berukuran panjang 2 meter, lebar 0,5 meter, dan tebal 10 sentimeter. Bagian muka atau atasnya berupa kaca bening yang menjadi tempat menempelnya uap dari air laut yang dipanaskan dengan sinar surya. Posisi alat yang semula dipasang mendatar ternyata tidak efektif karena embunnya jatuh kembali ke air laut. "Kemiringan yang optimal sekitar 45 derajat," ucap Andri.
Pemasakan air laut tidak sampai ke level mendidih. Tim telah mengukur tingkat panas di dalam reaktor. Ketika alat mulai bekerja pada pukul 08.00, suhunya sekitar 40 derajat Celsius. "Kemudian sampai pukul 13.00 naik mencapai 45 derajat, lalu turun lagi sampai pukul 16.00 ke suhu 43 derajat Celsius," kata Andri.
Air minum yang dihasilkan dari 1 meter kubik air laut berkisar 2,5-4 liter per hari. Dengan solar concentrator, Andri mengklaim volumenya bisa meningkat hingga dua-tiga kali lebih banyak. Sambil menunggu hasil pengajuan paten, tim terus melakukan riset pengembangan, misalnya untuk menampung garam hasil penyulingan air laut itu. Harga jual belum ditetapkan, tapi biaya produksinya dalam riset kurang dari Rp 1 juta.
Anwar Siswadi
Reaktor Solar Still Desalinator
1. Solar concentrator: penampung air laut dengan lapisan pelat aluminium yang menghangatkan air laut lebih cepat
2. Slang yang mengalirkan air mengandalkan gravitasi
3. Inlet reaktor: lubang akses slang untuk mengalirkan air laut ke reaktor
4. Reaktor pemanas: berukuran panjang 2 meter, lebar 0,5 meter, dan tebal 10 sentimeter
5. Kaca bening tempat menempelnya uap air
6. Pelat aluminium bergelombang untuk menampung air laut
7. Rangka reaktor berbahan kayu
8. Besi penopang reaktor
9. Outlet reaktor: lubang keluar uap air tawar yang tersambung slang
10. Outlet: lubang keluar air laut yang bisa dipakai kembali
11. Wadah air tawar
12. Sudut optimal kemiringan reaktor 45 derajat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo