SRIMULAT, grup lawak itu, harus mentas tiap malam. Dan mereka bisa. TEMPO, sebuah majalah berita mingguan, juga harus "mentas" tiap pekan. Dan kami berusaha agar bisa. Berbeda dengan harian, yang bisa tidak terbit pada hari libur, majalah ini tak punya "hak istimewa" itu. Maka, ia harus selalu siap, baik dengan laporan utama maupun cerita lain untuk tiap minggu. Dan berbeda dengan majalah wanita atau majalah sastra, yang tak wajib merekam berita, TEMPO harus diam-diam selalu berharap bahwa tiap minggu ada kejadian penting. Artinya, yang layak ditampilkannya sebagai cerita. Untunglah, dunia tak pernah sepi. Tapi bagaimana kalau dunia tiba-tiba sepi: tak ada peristiwa, tak ada berita? Akal kami ialah kembali ke kelaziman kerja jurnalistik yan dasar: menyimak trend, atau kecenderungan. Memperhatikan gejala. Memonitor. Mencatat dan merekam. Menyusun file. Kerja kewartawanan seperti dikatakan seorang tokoh novel spionase The Honorable Schoolboy karya John LeCarre, sama dengan kerja pilot: suatu masa inertia, tenang tak ada gerak, disusul dengan suatu kesibukan yang kadang mirip kalang kabut. Karena praktis tiap pekan hidup sepertiitu, kami pun perlahan-lahan mengembangkan satu teknik perencanaan serta koordinasi tersendiri. Berkat pengalaman dan berkat belajar dari ilmu yang ada, teknik itu kian lama kian berkembang. Apalagi, syukurlah, jaringan dan komunikasi kerja kian membaik sekarang. Laporan utama ini misalnya. Sejak beberapa waktu yang lalu, dari sebuah rapat planning di kantor TEMPO di Jakarta, sebuah ide dikirimkan ke Paris: agar Nasir Tamara, koresponden kami di sana, pergi ke Negeri Belanda. Nasir pun - yang biasa terbang ke sana kemari, antara lain ke perang di Libanon, beberapa hari saja setelah ia bekerja untuk TEMPO - berangkat dan memonitor kehidupan (bekas) orang Indonesia di negeri itu. Hal yang sama, pada tahun 1974-1975, pernah dilakukan Toeti Kakiailatu, tapi kami ingin memperbaharui file kami. Ternyata, hasil yang dikumpulkan Nasir jadi penting dan mendesak setelah pekan lalu empat orang dari Irian Jaya pergi meninggalkan Indonesia dengan bantuan kedutaan besar Belanda. Dengan cepat, sebuah rencana operasi pun disusun. TEMPO ingin mengungkapkan suatu kisah lanjutan dengan segi yang lain. Seperti umumnya, operasi ini bersifat blitzkrieg, dengan mengerahkan tenaga gerak cepat yang ada. Dan itulah yang dilakukan Agus Basri dan Musthafa Helmy pekan lalu. Juga Nasir Tamara, yang telah terbang ke Jakarta dari Paris, dan membantu Susanto Pudjomartono serta Masmimar Mangiang untuk penulisan laporan utama ini. Nasir, yang memandang tugas jurnalistik sebagai semacam tugas sejarawan, "tapi yang kekurangan waktu", sampai tak sempat merekam fotonya sendiri di Belanda. Fotonya pekan ini dari medan Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini