Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Membela wanita di hutan

Seminar perkawinan antara wanita pribumi dan pria asing di kalimantan timur menghasilkan ketentuan: orang filipina itu harus menjamin kelangsungan hidup & pendidikan anak istri yang ditinggalkan. (ils)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMINAR di Indonesia bisa macam-macam. Kegitan yang berlangsung tanggal 30-31 Desember itu mengambil topik yang menarik juga. "Perkawinan antara Wanita Pribumi dan Pria Asing di Kalimantan Timur". Judul ini rupa-rupanya adalah hasil kompromi, setelah panitia enggan menggunakan istilah "kawin kontrak", yang padahal sedang populernya pada masa itu -- terutama di kalangan wartawan. "Ya, memang yang kita bicarakan adalah masaalah itu, tapi istilah kawin kontrak 'kan bombastis", ujar seorang panitia menjelaskan persoalannya pada para peserta agar mereka tidak bingung. Seorang insinyur dari IPB yang bernama Qomariah, bertugas memegang palu moderator, untuk menjaga pertemuan yang mengumpulkan tidak kurang 75 peserta dengan mayoritas kaum hawa sudah tentu. Balai Pertemuan Umum yang menampung usaha yang baik itu, tidak hanya kedatangan ratu atau calon ratu rumah tangga. tapi juga buku UU Perkawinan dan majalah Prisma edisi "Cakrawala Wanita" yang banyak dikepit oleh para peserta. Meskipun banyak di antara peserta kemudian hanya terdiam dan menguap di kursinya, toh pertemuan tersebut berlangsung cukup seru. Rupanya sejumlah wanita telah merasa jengkel, sehingga mereka mengeluarkan suara yang lantang yang ditujukan pada orang-orang Pilipina di hutan belantara Kalimantan Timur. "Kita ajukan appeal saja kepada Imelda Marcos, bahwa orang-orang Pilipina yang di Kaltim merusak wanita kita dan merendahkan derajat kaum wanita kita", ujar salah seorang dari mereka -- dikuntit oleh tempik sorak gemuruh hadirin. Free Sex Seperti sudah kita dengar, rupanya pekerja-pekerja kayu bangsa Pilipina di hutan Kaltim, sebelum meninggalkan negerinya kebanyakan sudah pada kawin. Tapi sebagai insan biasa, kehampaan lingkungan telah mematangkan suasana kebutuhan pasangan baru. Maka merekapun memasang jerat asmara lantas mempersunting gadis-gadis Dayak untuk mendampingi kekosongan itu. Rektor Universitas Mulawarman ir Sambas Wirakusumah MSc -- IPB juga menerangkan cukup jelas hal tersebut sebagai awal mnla bagaimana dua orang berlainan kelamin bisa hidup rukun dalam satu tempat tidur tanpa melalui pernikahan. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana status para wanita pribumi itu selanjutnya, sesudah dia membuahkan keturunan tanpa melalui pernikahan? Seorang peserta mengusulkan agar para wanita tersebut dikasih nama "gundik". "Kalau orang Pilipina itu di negerinya sudah punya isteri, kemudian di sini punya pasangan tetap, apa pula namanya kalau bukan gundik", tanya pengusul itu setengah menjawab dirinya sendiri. Tetapi usul ini kontan ditolak oleh Ainun Jariah, seorang anggauta DPRD Kaltim, meskipun tanpa mengemukakan alasan penolakannya. Mungkin saja karena kata tersebut kurang nyaman di telinga. Namun demikian masih ada juga istilah lain yang disodorkan yang terdengarnya lebih sadis. Ini datang dari drs. M. Kusosi -- dosen UNMUL -- yang mensinyalir kawin kontrak tersebut mirip dengan apa yang dalam ilmu disebut promiscuity -- "perkawinan" di mana tidak ada pasangan tetap, boleh ganti-ganti. Pendapat ini tak disukai oleh Emma Sambas BSc. Promiscuity cenderung kepada kehidupan sex yang semrawut, sedangkan yang terjadi antara wanita Dayak dengan bangsa Pilipina itu mengandung nilai-nilai yang biasa dimiliki oleh sepasang suami isteri", ujar nyonya yang rupanya isteri Sambas rektor tadi. IQ Lebih Tinggi. Kembali pada musabab kawin kontrak, memang sebelumnya sudah gencar juga mereka berdebat adakah benar faktor utama adalah semata-mata tuntutan biologis -- sebagaimana dinyatakan oleh ir. Rahman Karim, Kepala Dinas Perindustrian Kaltim. Beberapa ibu berang sekali mendengar pendapat ini. "Seolah-olah wanita kita hanya berfungsi sebagai bahan pemuas nafsunya orang asing" tukas mereka. Untunglah Rahman segera meralat ucapannya untuk kemudian setuju pada ir. Sulaiman bahwa kawin kontrak itu kalau memang motifnya adalah kebutuhan biologis, itu hanya berlaku bagi pihak lelaki Pilipina-nya tok. Jadi wanita Indonesia nampaknya tak boleh disebut punya "kebutuhan biologis". Sebab para wanita itu mungkin sekali alasannya adalah alasan"ekonomi". "Wanita yang dikawini orang Pilipina, keadaan ekonominya umumnya jadi lebih baik", begitu ia menulis dalam prasarannya. Pendapat ini rupanya lebih dapat disetujui oleh hadirin. Apalagi drs Fidi Finandar Ketua Umum KNPI Kaltim mengeluarkan gagasan yang rupanya lebih menggembirakan lagi. "Ada kemungkinan keturunan wanita pribumi kita mempunyai IQ yang lebih tinggi, sebab orang-orang Pilipina yang umumnya skilled itu sudah tentu saja memiliki IQ yang tinggi. Ingatlah teori yang mengatakan bahwa 50% IQ anak berasal dari bapaknya", katanya. Para peserta tersenyum simpul, senang juga meskipun tak disebut itu teori dari mana jatuhnya. Sementara itu teori Fidi Finandar belum bisa diraba benar tidaknya, karena hasil kawin kontrak tersebut kini masih berupa anak-anak semuanya. Lepas dari tinggi rendahnya IQ mereka yang sudah jelas mereka telah lahir dengan beban kesulitan masa depan. "Bagaimana kalau sebelum mereka besar, bapaknya sudah harus meninggalkan Kaltim karena kontraknya habis?" tanya seorang peserta. "Di samping itu hagaimana dengan masa depan dari para ibu mereka?" Untuk menjawab pertanyaan ini seminar kemudian berkesimpulan, bahwasanya, sebelum meninggalkan Indonesia orang-orang Pilipina itu hlarus menyediakan asuransi bea-siswa untuk menjamin masa depan keturunan mereka. Lalu terhadap para wanita yang akan ditinggalkan itu seminar meminta agar disediakan pekerjaan tetap plus memberikan pinjaman modal. Bahkan K.H. Sabranity menyarankan agar para suami kontrakan itu meninggalkan deposito Rp 500.000 untuk masa depan isteri kontrakannya. Di samping itu seminar mendesak pula mempercepat proses Indonesianisasi dalam hutan Kaltim dengan jalan mendidik orang-orang pribumi sendiri menjadi skilled. "Dengan demikian, kemampuan ekonomi pria kita meningkat dan wanita-wanita pribumi lebih senang memilih pria pribumi sebagai suami", ujar mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus