SEMINAR di Indonesia bisa macam-macam. Kegitan yang berlangsung
tanggal 30-31 Desember itu mengambil topik yang menarik juga.
"Perkawinan antara Wanita Pribumi dan Pria Asing di Kalimantan
Timur". Judul ini rupa-rupanya adalah hasil kompromi, setelah
panitia enggan menggunakan istilah "kawin kontrak", yang padahal
sedang populernya pada masa itu -- terutama di kalangan
wartawan. "Ya, memang yang kita bicarakan adalah masaalah itu,
tapi istilah kawin kontrak 'kan bombastis", ujar seorang panitia
menjelaskan persoalannya pada para peserta agar mereka tidak
bingung.
Seorang insinyur dari IPB yang bernama Qomariah, bertugas
memegang palu moderator, untuk menjaga pertemuan yang
mengumpulkan tidak kurang 75 peserta dengan mayoritas kaum hawa
sudah tentu. Balai Pertemuan Umum yang menampung usaha yang baik
itu, tidak hanya kedatangan ratu atau calon ratu rumah tangga.
tapi juga buku UU Perkawinan dan majalah Prisma edisi "Cakrawala
Wanita" yang banyak dikepit oleh para peserta. Meskipun banyak
di antara peserta kemudian hanya terdiam dan menguap di
kursinya, toh pertemuan tersebut berlangsung cukup seru. Rupanya
sejumlah wanita telah merasa jengkel, sehingga mereka
mengeluarkan suara yang lantang yang ditujukan pada orang-orang
Pilipina di hutan belantara Kalimantan Timur. "Kita ajukan
appeal saja kepada Imelda Marcos, bahwa orang-orang Pilipina
yang di Kaltim merusak wanita kita dan merendahkan derajat kaum
wanita kita", ujar salah seorang dari mereka -- dikuntit oleh
tempik sorak gemuruh hadirin.
Free Sex
Seperti sudah kita dengar, rupanya pekerja-pekerja kayu bangsa
Pilipina di hutan Kaltim, sebelum meninggalkan negerinya
kebanyakan sudah pada kawin. Tapi sebagai insan biasa, kehampaan
lingkungan telah mematangkan suasana kebutuhan pasangan baru.
Maka merekapun memasang jerat asmara lantas mempersunting
gadis-gadis Dayak untuk mendampingi kekosongan itu. Rektor
Universitas Mulawarman ir Sambas Wirakusumah MSc -- IPB juga
menerangkan cukup jelas hal tersebut sebagai awal mnla bagaimana
dua orang berlainan kelamin bisa hidup rukun dalam satu tempat
tidur tanpa melalui pernikahan. Sehingga timbul pertanyaan,
bagaimana status para wanita pribumi itu selanjutnya, sesudah
dia membuahkan keturunan tanpa melalui pernikahan?
Seorang peserta mengusulkan agar para wanita tersebut dikasih
nama "gundik". "Kalau orang Pilipina itu di negerinya sudah
punya isteri, kemudian di sini punya pasangan tetap, apa pula
namanya kalau bukan gundik", tanya pengusul itu setengah
menjawab dirinya sendiri. Tetapi usul ini kontan ditolak oleh
Ainun Jariah, seorang anggauta DPRD Kaltim, meskipun tanpa
mengemukakan alasan penolakannya. Mungkin saja karena kata
tersebut kurang nyaman di telinga. Namun demikian masih ada juga
istilah lain yang disodorkan yang terdengarnya lebih sadis. Ini
datang dari drs. M. Kusosi -- dosen UNMUL -- yang mensinyalir
kawin kontrak tersebut mirip dengan apa yang dalam ilmu disebut
promiscuity -- "perkawinan" di mana tidak ada pasangan tetap,
boleh ganti-ganti. Pendapat ini tak disukai oleh Emma Sambas
BSc. Promiscuity cenderung kepada kehidupan sex yang semrawut,
sedangkan yang terjadi antara wanita Dayak dengan bangsa
Pilipina itu mengandung nilai-nilai yang biasa dimiliki oleh
sepasang suami isteri", ujar nyonya yang rupanya isteri Sambas
rektor tadi.
IQ Lebih Tinggi.
Kembali pada musabab kawin kontrak, memang sebelumnya sudah
gencar juga mereka berdebat adakah benar faktor utama adalah
semata-mata tuntutan biologis -- sebagaimana dinyatakan oleh ir.
Rahman Karim, Kepala Dinas Perindustrian Kaltim. Beberapa ibu
berang sekali mendengar pendapat ini. "Seolah-olah wanita kita
hanya berfungsi sebagai bahan pemuas nafsunya orang asing"
tukas mereka. Untunglah Rahman segera meralat ucapannya untuk
kemudian setuju pada ir. Sulaiman bahwa kawin kontrak itu kalau
memang motifnya adalah kebutuhan biologis, itu hanya berlaku
bagi pihak lelaki Pilipina-nya tok. Jadi wanita Indonesia
nampaknya tak boleh disebut punya "kebutuhan biologis". Sebab
para wanita itu mungkin sekali alasannya adalah alasan"ekonomi".
"Wanita yang dikawini orang Pilipina, keadaan ekonominya umumnya
jadi lebih baik", begitu ia menulis dalam prasarannya. Pendapat
ini rupanya lebih dapat disetujui oleh hadirin. Apalagi drs Fidi
Finandar Ketua Umum KNPI Kaltim mengeluarkan gagasan yang
rupanya lebih menggembirakan lagi. "Ada kemungkinan keturunan
wanita pribumi kita mempunyai IQ yang lebih tinggi, sebab
orang-orang Pilipina yang umumnya skilled itu sudah tentu saja
memiliki IQ yang tinggi. Ingatlah teori yang mengatakan bahwa
50% IQ anak berasal dari bapaknya", katanya. Para peserta
tersenyum simpul, senang juga meskipun tak disebut itu teori
dari mana jatuhnya.
Sementara itu teori Fidi Finandar belum bisa diraba benar
tidaknya, karena hasil kawin kontrak tersebut kini masih berupa
anak-anak semuanya. Lepas dari tinggi rendahnya IQ mereka yang
sudah jelas mereka telah lahir dengan beban kesulitan masa
depan. "Bagaimana kalau sebelum mereka besar, bapaknya sudah
harus meninggalkan Kaltim karena kontraknya habis?" tanya
seorang peserta. "Di samping itu hagaimana dengan masa depan
dari para ibu mereka?" Untuk menjawab pertanyaan ini seminar
kemudian berkesimpulan, bahwasanya, sebelum meninggalkan
Indonesia orang-orang Pilipina itu hlarus menyediakan asuransi
bea-siswa untuk menjamin masa depan keturunan mereka. Lalu
terhadap para wanita yang akan ditinggalkan itu seminar meminta
agar disediakan pekerjaan tetap plus memberikan pinjaman modal.
Bahkan K.H. Sabranity menyarankan agar para suami kontrakan itu
meninggalkan deposito Rp 500.000 untuk masa depan isteri
kontrakannya. Di samping itu seminar mendesak pula mempercepat
proses Indonesianisasi dalam hutan Kaltim dengan jalan mendidik
orang-orang pribumi sendiri menjadi skilled. "Dengan demikian,
kemampuan ekonomi pria kita meningkat dan wanita-wanita pribumi
lebih senang memilih pria pribumi sebagai suami", ujar mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini