Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

40 tahun menjaga kubur

Suka duka baiya dan m zailani noor sebagai penjaga kuburan selama 40 tahun. nasibnya yang senen kemis karena hanya tergantung pada jumlah pengunjung yang memberi persen. (sd)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN itu bernama Baiya. Berperawakan bundar, dan suka mengenakan pakaian rok berlengan 3/4 panjang. Di kepalanya teronggok tudung yang lazim dipakai petani, lalu di tangannya tergenggam sebuah tongkat panjang seperti yang sering nampak dalam lukisan Yesus. Baiya, atau yang sehari-hari punya panggilan akrab: bu Iyol, adalah seorang penjaga kuburan di Kebun Nanas, daerah pemakaman di kiri kanan jalan masuk kompleks wartawanCipinang Muara, Jakarta. Di antara sejumlah warga Ibukota yang dikabarkan perlu bantuan lantaran jilatan air, namanya memang tidak terdaftar. Biar begitu toh ada juga kemurungan melandanya oleh musabab hujan ini. Cipinang Galur wilayah Jakarta Timur, tempat tinggalnya, memang cuma becek. Juga rumahnya yang nyaris darurat itu. Lubang dinding gedeknya banyak yang membengkak. Lantai tanah dengan atap minus langit-langit, kalaupun bocor masih bisa ditanggulangi oleh anaknya, Mukrodi, yang bekerja sebalai Hansip di kampung itu. Namun satu hal: gara-gara hujan, tak banyak peziarah datang ke kuburan itu. Padahal dari kuburan tersebut bu Iyol amat menggantungkan hidupnya. Sejak ia muda. Kini usianya diperkirakan sekitar 50-an. Status janda, dua kali bersuami dan malang, keduanya telah lebih dulu berpulang ke rakhmatullah. Bermula dari riwayat daerah pemakaman itu sendiri yang persisnya bu Iyol tak tahu kapan. (Maklum, "saya buta huruf, sih" katanya). Cuma ia ingat betul ada seorang Tionghoa yang membeli tanah rakyat di kampungnya, sampai tanah itu dijual lagi kepada Lie Sun Tjang. yang membuat tanah itu sebagai tempat pekuburan. Itu mestinya hampir setengah abad lampau, bila dicocokkan pada ingatannya yang mengatakan usianya ketika itu sekitar 15 tahun. Waktu itu Iyol sudah bersuami. Tapi lantaran penghasilan suaminya yang pertama itu (sebagai bujang kebun) katanya selalu tekor, maka ia menerima tugas menjaga sebuah kuburan -- dan itulah kuburan pertama yang muncul di sana. Begini ceritanya. Mulanya ia hanya nonton saja tatkala berlangsung upacara penguburan itu. Suatu ketika keluarga yang menghantar jenazah, dilihatnya bagai kehabisan tenaga waktu masing-masing memberi penghormatan terakhir. Iyol lalu menyodorkan hio dan merecah kertas yang biasa dipakai upacara untuk kemudian dibakar. Setelah selesai, keluarga si mati bukan saja memberinya hadiah uang serta penganan, tapi sekaligus meminta kesediaannya agar selalu menjenguk kuburan tadi. Karuan saja, bak pucuk dicinta, pekerjaan tiba, tawaran itu tentu tak ditampiknya. Sejak itu, di samping Iyol, nyaris antri pula warga Cipinang Galur yang tergiur menggantungkan asap dapur di daerah kubur ini. Lama juga mereka bekerja tanpa beslit. Baru pada tahun 1973 ada aturan daerah tentang penertiban pekuburan, lalu mereka didaftar. "Sekarang jumlah mereka sekitar 30 orang", ujar Usman, pejabat dinas Pemakaman yang bertugas di sana. Dan Baiya atau Iyol merupakan satu-satunya perempuan. Dinas Pemakaman ini mengeluarkan tanda pengenal. Namanya: SKMP atau surat ketetapan merawat kuburan. Dan bu Iyol menebusnya Rp 2.300 di luar ongkos pembuatan fotp. Lumayan mahal. "Tapi biarlah, pokoknya saya tetap bisa dikuburan", katanya. Duit Kesandung Cuma jangan salah faham, meski ada tanda pengenal itu tak berarti bu Iyol dapat gaji dari pemerintah. Pcrkara uang masih tergantung pasang surutnya jumlah peziarah. Memang ada harinya, seperti pada cengbeng (hari ziarah Cina) atau pada menjelang Imlek, rezeki tentu mengalir. Biasanya pada hari begini, ia bisa memperoleh uang yang sempat digunakan buat membeli keperluan rumah tangga maupun perhiasan. Sedangkan pada hari biasa, meski ada juga keluarga yang datang ke kuburan, persen yang didapat bu Iyol paling banter hanya antara Rp 50 dan Rp 100. Sering juga sepi sama sekali. Nah, di hari-hari gelap yang rada panjang ini, mulailah satu-satu perhiasan yang dibelinya meluncur ke pasar. Bahkan, "botol-botol bekas juga sering saya lego", tuturnya, sambil menyodorkan jari manisnya ditambahkannya, "sekarang cuma cincin 10 gram ini saja yang tinggal". Sementara dari ruang lain di rumahnya mengalun irama dang-dut dari radio yang dibunyikan anaknya. Rezeki di pelataran kuburan memang tak selamanya datang lantaran jasa merawat kubur. Ada juga karena menggali kubur atau memborong urusan penembokan. Pada giliran ini bu Iyol tak banyak ambil bagian, meski adakalanya juga ia ketiban duit kesandung. Seperti menjadi perantara mencarikan siapa yang mau menjual pasir atau mencari pemborong. Ayahnya dulu seorang haji. Punya langgar. Saudara-saudaranya juga tidak sedikit yang aktip dalam perkara keagamaan. Ada yang guru ngaji dan beritel haji, ada juga yang sekedar sibuk dalam pengurusan langgar atau mesjid menurut pengakuannya, harta orang tuanya lumayan juga. "Penduduk di sini dulu jarang sekali. Rumah satu dengan tetangga yang lain berjauhan. Tanah orang tua cukup luas. Lagi punya sapi dan kambing. Semua sekarang sudah habis. Dijual oleh saudara-saudara saya yang lain ibu", tutur Baiya. Yang tinggal sekarang hanya tanah yang di atasnya dibangun rumah Baiya sendiri. Tak sampai 300 M2. Tapi kecuali hartanya habis, "saudara-saudara saya yang merusak itu juga semuanya sudah mati" tambah Baiya, yang rupanya rada gondok pada mendiang saudara-saudaranya itu. Itu sebabnya ia betah dengan pekerjaannya sekarang. "Saya buta huruf. Mendingan begini daripada nyolong", katanya. Tapi ia sedih, yang buta huruf bukan cuma dia. Mukrodi, anaknya yang jadi Hansip itu, dari suaminya pertama orang Jawa dari Blitar, katanya dulu juga tidak bersekolah. Lantas Kartini, anaknya yang bungsu dari suami kedua (Hasan Basri asal Padang), cuma sekolah madrasah. "Jumadil awwal tempo hari khatam Qur'an" Baiya menerangkan. Untuk melanjutkannya ke SD ia tak sanggup mengongkosi. Cuma, tak lupa ia mengatakan, "umumya kan sudah 14 tahun". Semua anaknya sebenarnya 3 orang. Dari suami pertama 2, dari yang kedua 1. Yang kedua, adiknya Mukrodi meninggal. Mata-Mata Tak banyak Baiya punya keinginan. Satu-satunya keinginan adalah seperti keinginan semua orang: banyak uang, itik. Untuk itu ia bukan tak pernah uencoba pekerjaan lain. Sesudah suaminya meninggal dipancung Jepang kataya, dan Jepang kemudian menyerah kepada sekutu, ia ikut seorang anggota pasukan KNIL di Polonia. Jadi pembantu rumah tangga dengan gaji kalau tak salah seringgit katanya. Harga beras waktu itu hanya 2 sen 3 sen. Yang 7 sen juga ada. "Tapi itu kan makanan tuan. Makanan Belanda", ucapnya. Majikannya bukan keturunan Belanda. Tapi lantaran KNIL, tak urung menimbulkan satu perkara bagi Baiya. Setiap ia pulang ke rumahnya, orang sekampungnya jadi curiga. Ia dituduh nata-mata. Sampai pada suatu hari ibuya mengatakan bahwa ada orang sekampungnya bernama Abdurahim, Naing dan Adul minta dikasih bedil dan granat. "Buat apa?",tanya Baiya. "Buat matiin elu", kata ibunya. Seperti diceritakannya sendiri, ia merasa kaget dengan uduhan menjadi mata-mata. "Saya cuma cari makan. Bagaimana lagi cara ya?". Dan Baiya jadi takut. Maka, ketika Belanda terdesak dari Jakarta, dan majikannya ngungsi ke Irian Barat, Baiya ikut serta 5 tahun di sana, setelah RI dan Belanda teken gencatan senjata, ia pulang. Langsung ke Cipinang, setelah kapalnya mampir 3 hari di Makassar di tempat mana semua barang pemberian dari majikannya dirampok oleh seorang bekas bujang juga yang dulu mencintainya ketika di Irian Barat tapi diolaknya, katanya. Kembali di kampung halaman, meski kemudian sempat punya suami untuk kedua kalinya, kembali pula ia dengan jenis pekerjaannya dulu di kuburan Dan tak akan ditinggalkannya lagi katanya karena ia merasa sudah cukup tua. Tapi tubuhnya sendiri, yang memang gemuk, belum sepenuhnya loyo. Rambut sebagian memang sudah putih, tapi gigi masih utuh dan kulitnya yang keriput lebih banyak karena tambahan panas matahari di samping karena perjalanan usia. Ada satu keluhannya sekarang. Dulu katanya ia merawat lebih dari 20 makam yang tetap. Kini cuma 7 saja katanya. Sebabnya, banyak yang nimbrung. Walau begitu, di pemakaman Cina yang luasnya lebih dari 13 Ha dengan jumlah kuburan sekarang nyaris 2000 -- dengan ukuran berbeda-beda: paling besar 7 x 5 meter, paling kecil 3 x 5 meter -- itu, toh namanya cukup beken. Pertama, karena ia perempuan. Kedua, ia sering memakai pakaian dan atribut lain yang seolah-olah merupakan seragam resmi itu. Begitu bekennya, sampai-sampai bukan cuma warga kampung setempat dan orang Cina yang datang ke kuburan saja yang mengenalnya. Seperti diceritakannya sendiri, terkadang ada juga wartawan yang kebetulan kompleksnya bertetangga dengan kompleks pemakaman itu memanggil-manggilnya dari mobil kalau kebetulan lewat. Nek, nenek... begitu biasanya orang itu memanggil dan "lantas memberi saya uang waktu beli kopi katanya", Baiya menerangkan. Rekor 40 tahun jadi penjaga kubur ternyata bukan milik Bu Iyol sendirian, yang menurut pengakuannya alhamdulillah belum pernah kesomplok hantu M Zailani Noor dari Banjarmasin, misalnya, mengaku telah menggali lahat sejak berumur belasan tahun. Tahun berapa persisnya, atau berapa pula umurnya yang jelas ketika itu, ia lupa. Apa boleh buat, umurnya sudah 62 tahun sementara ia sendiri mengaku bodoh. Meski menurut pengakuannya juga, di jaman Belanda dulu ia sempat sekolah, sampai kelas 3 semacam SD, katanya. Ia juga tidak tahu kapan kawasan Kuburan Muslimin pemerintah kotamadya daerah tingkat dua itu (tempatnya sekarang bekerja) mulai ditanami mayat. Yang ia ingat tentu saja ihwalnya sendiri. "Mayat pertama yang saya kubur adalah mayat Haji Khairul yang dulu mati dipancung orang hingga kepala dan tubuhnya terpisah". Pada mulanya, ia bergidik juga. Soalnya meski mayat itu dibungkus kain kafan, kepala yang lepas itu terasa terkulai. Karena kemudian pekerjaan itu jadi terbiasa, akhirnya perasaannya toh jadi polos juga. Sampai sekarang, di mana tiap bulan ia kini menurunkan mayat rata-rata di atas 10 sosok. Berbeda dengan bu Iyol, Zailani tergolong pegawai negeri. Dengan beslit dari pemerintah kotamadya, tiap bulan ia punya gaji Rp 12 500. "Itu sudah termasuk segala-galanya, tak ada apa-apa lagi". Dan itu terang tekor. Meski tanggungannya kini cuma seorang isteri dan anaknya Zamillah, perempuan 9 tahun. Semua anaknya sebenarnya 5. Dua keburu meninggal selagi kecil, dua lagi sudah dewasa, dan berumah tangga sendiri-sendiri. Sarbini, 25 tahun, anaknya tertua kerja seperti ia juga: di kuburan di samping kalau malam narik becak. Zumailiha, perempuan 23 tahun, anaknya kedua diurus orang lain yang jadi suaminya Meski begilu, Zailani yang sehari-hari di kampungnya dipanggil Pak Imping ini, tak sepenuhnya mengeluh. Sebabnya adalah, di kantor kotamadya ada koperasi. Ke sanalah ia dari waktu ke waktu sering ngebon beras. Dapat dipaham, habis bulan habis gaji. Biasa. Tapi seperti peribahasa, angin toh tak selamanya datang dari satu arah, makin begitu kira-kira rezeki pak Imping. Meski perkara kubur-kubur ada aturannya yang resmi dari pemerintah daerah, tapi tak sampai tercantum larangan bila ada orang yang salah seorang keluarganya meninggal lantas punya niat jadi dermawan. Dari orang itulah pak Imping memperoleh rezeki tambahan. Terkadang Rp 100 atau Rp 200 dari seorang. Kode Sekali-sekali ada juga terlintas pada pikirannya keinginan buat kaya. Apa daya, hambatan untuk mencari sambilan ada-ada saja. Meski badannya kelihatan kekar, yang namanya pegal-pegal kerap mengganggunya. Dan usaha melawan gangguan itu, apa boleh buat, minim sekali. Paling banter ia cuma menggantungkan diri pada daun-daunan atau akar-akaran menurut petunjuk orang dulu-dulu. Selebihnya, kembali terpulang pada nasib Syukur, sejak muda sampai rambutnya hampir seluruhnya ubanan kini, gangguan penyakit itu tak pernah berkepanjangan atau boleh jadi juga, ia memang selalu memaksakan diri untuk patuh dengan pekerjaannya. Sebab, kalau absen, harapan untuk dapat penghasilan tambahan jelas hilang. Tapi, percaya atau tidak. Imping punya kode. "Kalau tangan saya bergetar, atau bergerak-gerak, selalu saja luka ada yang mati" ucapnya. Serta merta, ia bergegas ke tempat kerja. Bagaimana pun, penghasilan Imping ketimbang kawan sekerjanya yang lain jauh lebih baik. Seorang bernama Barak misalnya, yang umurnya 8 tahun lebih tua dari dia sampai kini masih berstatus pekerja harian dengan upah yang dibayarkan setengah bulan sekali. Besarnya? Rp 875 -- yang berarti total sebulan cuma Rp 1.750. Mendiami rumah instansi -- meski nilainya darurat -- yang juga terletak di kompleks kuburan, kabarnya Imping cukup tenteram. Acap kali didengarnya cerita orang tentang hal yang serem-serem mengenai suasana di kuburan. 'Alhamdulillah, sampai sekarang saya belum jumpa apa-apa. Juga anak-anak saya", ujarnya. Alhasil ia berusaha untuk tetap betah dengan pekerjaannya kini. Kecuali berpendapat bahwa itu toh kehendak Tuhan, malah ia jadi berkata: "Apabila ada orang mati dan mau dikuburkan di sini, itu sudah kewajiban". Ayahnya dulu sebenarnya, konon tidak terbilang miskin. Setidaknya, di masa kanak-kanaknya dulu ia lumayan jugalah hidupnya. Soalnya, ia anak tunggal. Setiap keinginannya jarang tak diluluskan oleh kedua orang tuanya. Ia pun jadi manja. Secara kebetulan, Matnoor (ayahnya) boleh jadi tak berpikiran panjang. Hingga apabila Imping bolos dari sekolahnya dan nongkrong melihat orang mengubur mayat, ia jadi bolos dari perhatian. Tak ayal, nasibnya kini tak seindah masa kanak-kanaknya. Selain sehari-hari sering membugil karena ia tak sanggup ganti berganti pakaian, terhadap Zamilah anaknya yang bungsu pun tak urung ia nyaris meneruskan nasibnya yang lusuh: "Saya tak sanggup menyekolahkan anak itu. Biarlah ia mengaji Qur'an saja. Pokoknya asal selamat".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus