PEREMPUAN itu bernama Baiya. Berperawakan bundar, dan suka
mengenakan pakaian rok berlengan 3/4 panjang. Di kepalanya
teronggok tudung yang lazim dipakai petani, lalu di tangannya
tergenggam sebuah tongkat panjang seperti yang sering nampak
dalam lukisan Yesus. Baiya, atau yang sehari-hari punya
panggilan akrab: bu Iyol, adalah seorang penjaga kuburan di
Kebun Nanas, daerah pemakaman di kiri kanan jalan masuk kompleks
wartawanCipinang Muara, Jakarta. Di antara sejumlah warga
Ibukota yang dikabarkan perlu bantuan lantaran jilatan air,
namanya memang tidak terdaftar. Biar begitu toh ada juga
kemurungan melandanya oleh musabab hujan ini. Cipinang Galur
wilayah Jakarta Timur, tempat tinggalnya, memang cuma becek.
Juga rumahnya yang nyaris darurat itu. Lubang dinding gedeknya
banyak yang membengkak. Lantai tanah dengan atap minus
langit-langit, kalaupun bocor masih bisa ditanggulangi oleh
anaknya, Mukrodi, yang bekerja sebalai Hansip di kampung itu.
Namun satu hal: gara-gara hujan, tak banyak peziarah datang ke
kuburan itu. Padahal dari kuburan tersebut bu Iyol amat
menggantungkan hidupnya. Sejak ia muda.
Kini usianya diperkirakan sekitar 50-an. Status janda, dua kali
bersuami dan malang, keduanya telah lebih dulu berpulang ke
rakhmatullah. Bermula dari riwayat daerah pemakaman itu sendiri
yang persisnya bu Iyol tak tahu kapan. (Maklum, "saya buta
huruf, sih" katanya). Cuma ia ingat betul ada seorang Tionghoa
yang membeli tanah rakyat di kampungnya, sampai tanah itu dijual
lagi kepada Lie Sun Tjang. yang membuat tanah itu sebagai
tempat pekuburan. Itu mestinya hampir setengah abad lampau, bila
dicocokkan pada ingatannya yang mengatakan usianya ketika itu
sekitar 15 tahun. Waktu itu Iyol sudah bersuami. Tapi lantaran
penghasilan suaminya yang pertama itu (sebagai bujang kebun)
katanya selalu tekor, maka ia menerima tugas menjaga sebuah
kuburan -- dan itulah kuburan pertama yang muncul di sana.
Begini ceritanya. Mulanya ia hanya nonton saja tatkala
berlangsung upacara penguburan itu. Suatu ketika keluarga yang
menghantar jenazah, dilihatnya bagai kehabisan tenaga waktu
masing-masing memberi penghormatan terakhir. Iyol lalu
menyodorkan hio dan merecah kertas yang biasa dipakai upacara
untuk kemudian dibakar. Setelah selesai, keluarga si mati bukan
saja memberinya hadiah uang serta penganan, tapi sekaligus
meminta kesediaannya agar selalu menjenguk kuburan tadi. Karuan
saja, bak pucuk dicinta, pekerjaan tiba, tawaran itu tentu tak
ditampiknya. Sejak itu, di samping Iyol, nyaris antri pula warga
Cipinang Galur yang tergiur menggantungkan asap dapur di daerah
kubur ini. Lama juga mereka bekerja tanpa beslit. Baru pada
tahun 1973 ada aturan daerah tentang penertiban pekuburan, lalu
mereka didaftar. "Sekarang jumlah mereka sekitar 30 orang", ujar
Usman, pejabat dinas Pemakaman yang bertugas di sana. Dan Baiya
atau Iyol merupakan satu-satunya perempuan. Dinas Pemakaman ini
mengeluarkan tanda pengenal. Namanya: SKMP atau surat ketetapan
merawat kuburan. Dan bu Iyol menebusnya Rp 2.300 di luar ongkos
pembuatan fotp. Lumayan mahal. "Tapi biarlah, pokoknya saya
tetap bisa dikuburan", katanya.
Duit Kesandung
Cuma jangan salah faham, meski ada tanda pengenal itu tak
berarti bu Iyol dapat gaji dari pemerintah. Pcrkara uang masih
tergantung pasang surutnya jumlah peziarah. Memang ada harinya,
seperti pada cengbeng (hari ziarah Cina) atau pada menjelang
Imlek, rezeki tentu mengalir. Biasanya pada hari begini, ia bisa
memperoleh uang yang sempat digunakan buat membeli keperluan
rumah tangga maupun perhiasan. Sedangkan pada hari biasa, meski
ada juga keluarga yang datang ke kuburan, persen yang didapat bu
Iyol paling banter hanya antara Rp 50 dan Rp 100. Sering juga
sepi sama sekali. Nah, di hari-hari gelap yang rada panjang ini,
mulailah satu-satu perhiasan yang dibelinya meluncur ke pasar.
Bahkan, "botol-botol bekas juga sering saya lego", tuturnya,
sambil menyodorkan jari manisnya ditambahkannya, "sekarang cuma
cincin 10 gram ini saja yang tinggal". Sementara dari ruang lain
di rumahnya mengalun irama dang-dut dari radio yang dibunyikan
anaknya. Rezeki di pelataran kuburan memang tak selamanya datang
lantaran jasa merawat kubur. Ada juga karena menggali kubur atau
memborong urusan penembokan. Pada giliran ini bu Iyol tak
banyak ambil bagian, meski adakalanya juga ia ketiban duit
kesandung. Seperti menjadi perantara mencarikan siapa yang mau
menjual pasir atau mencari pemborong.
Ayahnya dulu seorang haji. Punya langgar. Saudara-saudaranya
juga tidak sedikit yang aktip dalam perkara keagamaan. Ada yang
guru ngaji dan beritel haji, ada juga yang sekedar sibuk
dalam pengurusan langgar atau mesjid menurut pengakuannya,
harta orang tuanya lumayan juga. "Penduduk di sini dulu jarang
sekali. Rumah satu dengan tetangga yang lain berjauhan. Tanah
orang tua cukup luas. Lagi punya sapi dan kambing. Semua
sekarang sudah habis. Dijual oleh saudara-saudara saya yang lain
ibu", tutur Baiya. Yang tinggal sekarang hanya tanah yang di
atasnya dibangun rumah Baiya sendiri. Tak sampai 300 M2. Tapi
kecuali hartanya habis, "saudara-saudara saya yang merusak itu
juga semuanya sudah mati" tambah Baiya, yang rupanya rada gondok
pada mendiang saudara-saudaranya itu. Itu sebabnya ia betah
dengan pekerjaannya sekarang. "Saya buta huruf. Mendingan begini
daripada nyolong", katanya.
Tapi ia sedih, yang buta huruf bukan cuma dia. Mukrodi, anaknya
yang jadi Hansip itu, dari suaminya pertama orang Jawa dari
Blitar, katanya dulu juga tidak bersekolah. Lantas Kartini,
anaknya yang bungsu dari suami kedua (Hasan Basri asal Padang),
cuma sekolah madrasah. "Jumadil awwal tempo hari khatam Qur'an"
Baiya menerangkan. Untuk melanjutkannya ke SD ia tak sanggup
mengongkosi. Cuma, tak lupa ia mengatakan, "umumya kan sudah 14
tahun". Semua anaknya sebenarnya 3 orang. Dari suami pertama 2,
dari yang kedua 1. Yang kedua, adiknya Mukrodi meninggal.
Mata-Mata
Tak banyak Baiya punya keinginan. Satu-satunya keinginan adalah
seperti keinginan semua orang: banyak uang, itik. Untuk itu ia
bukan tak pernah uencoba pekerjaan lain. Sesudah suaminya
meninggal dipancung Jepang kataya, dan Jepang kemudian menyerah
kepada sekutu, ia ikut seorang anggota pasukan KNIL di Polonia.
Jadi pembantu rumah tangga dengan gaji kalau tak salah seringgit
katanya. Harga beras waktu itu hanya 2 sen 3 sen. Yang 7 sen
juga ada. "Tapi itu kan makanan tuan. Makanan Belanda", ucapnya.
Majikannya bukan keturunan Belanda. Tapi lantaran KNIL, tak
urung menimbulkan satu perkara bagi Baiya. Setiap ia pulang ke
rumahnya, orang sekampungnya jadi curiga. Ia dituduh nata-mata.
Sampai pada suatu hari ibuya mengatakan bahwa ada orang
sekampungnya bernama Abdurahim, Naing dan Adul minta dikasih
bedil dan granat. "Buat apa?",tanya Baiya. "Buat matiin elu",
kata ibunya. Seperti diceritakannya sendiri, ia merasa kaget
dengan uduhan menjadi mata-mata. "Saya cuma cari makan.
Bagaimana lagi cara ya?". Dan Baiya jadi takut. Maka, ketika
Belanda terdesak dari Jakarta, dan majikannya ngungsi ke Irian
Barat, Baiya ikut serta 5 tahun di sana, setelah RI dan Belanda
teken gencatan senjata, ia pulang. Langsung ke Cipinang, setelah
kapalnya mampir 3 hari di Makassar di tempat mana semua barang
pemberian dari majikannya dirampok oleh seorang bekas bujang
juga yang dulu mencintainya ketika di Irian Barat tapi
diolaknya, katanya.
Kembali di kampung halaman, meski kemudian sempat punya suami
untuk kedua kalinya, kembali pula ia dengan jenis pekerjaannya
dulu di kuburan Dan tak akan ditinggalkannya lagi katanya karena
ia merasa sudah cukup tua. Tapi tubuhnya sendiri, yang memang
gemuk, belum sepenuhnya loyo. Rambut sebagian memang sudah
putih, tapi gigi masih utuh dan kulitnya yang keriput lebih
banyak karena tambahan panas matahari di samping karena
perjalanan usia.
Ada satu keluhannya sekarang. Dulu katanya ia merawat lebih dari
20 makam yang tetap. Kini cuma 7 saja katanya. Sebabnya, banyak
yang nimbrung. Walau begitu, di pemakaman Cina yang luasnya
lebih dari 13 Ha dengan jumlah kuburan sekarang nyaris 2000 --
dengan ukuran berbeda-beda: paling besar 7 x 5 meter, paling
kecil 3 x 5 meter -- itu, toh namanya cukup beken. Pertama,
karena ia perempuan. Kedua, ia sering memakai pakaian dan
atribut lain yang seolah-olah merupakan seragam resmi itu.
Begitu bekennya, sampai-sampai bukan cuma warga kampung setempat
dan orang Cina yang datang ke kuburan saja yang mengenalnya.
Seperti diceritakannya sendiri, terkadang ada juga wartawan yang
kebetulan kompleksnya bertetangga dengan kompleks pemakaman itu
memanggil-manggilnya dari mobil kalau kebetulan lewat. Nek,
nenek... begitu biasanya orang itu memanggil dan "lantas memberi
saya uang waktu beli kopi katanya", Baiya menerangkan.
Rekor 40 tahun jadi penjaga kubur ternyata bukan milik Bu Iyol
sendirian, yang menurut pengakuannya alhamdulillah belum pernah
kesomplok hantu M Zailani Noor dari Banjarmasin, misalnya,
mengaku telah menggali lahat sejak berumur belasan tahun. Tahun
berapa persisnya, atau berapa pula umurnya yang jelas ketika
itu, ia lupa. Apa boleh buat, umurnya sudah 62 tahun sementara
ia sendiri mengaku bodoh. Meski menurut pengakuannya juga, di
jaman Belanda dulu ia sempat sekolah, sampai kelas 3 semacam SD,
katanya.
Ia juga tidak tahu kapan kawasan Kuburan Muslimin pemerintah
kotamadya daerah tingkat dua itu (tempatnya sekarang bekerja)
mulai ditanami mayat. Yang ia ingat tentu saja ihwalnya sendiri.
"Mayat pertama yang saya kubur adalah mayat Haji Khairul yang
dulu mati dipancung orang hingga kepala dan tubuhnya terpisah".
Pada mulanya, ia bergidik juga. Soalnya meski mayat itu
dibungkus kain kafan, kepala yang lepas itu terasa terkulai.
Karena kemudian pekerjaan itu jadi terbiasa, akhirnya
perasaannya toh jadi polos juga. Sampai sekarang, di mana tiap
bulan ia kini menurunkan mayat rata-rata di atas 10 sosok.
Berbeda dengan bu Iyol, Zailani tergolong pegawai negeri.
Dengan beslit dari pemerintah kotamadya, tiap bulan ia punya
gaji Rp 12 500. "Itu sudah termasuk segala-galanya, tak ada
apa-apa lagi". Dan itu terang tekor. Meski tanggungannya kini
cuma seorang isteri dan anaknya Zamillah, perempuan 9 tahun.
Semua anaknya sebenarnya 5. Dua keburu meninggal selagi kecil,
dua lagi sudah dewasa, dan berumah tangga sendiri-sendiri.
Sarbini, 25 tahun, anaknya tertua kerja seperti ia juga: di
kuburan di samping kalau malam narik becak. Zumailiha, perempuan
23 tahun, anaknya kedua diurus orang lain yang jadi suaminya
Meski begilu, Zailani yang sehari-hari di kampungnya dipanggil
Pak Imping ini, tak sepenuhnya mengeluh. Sebabnya adalah, di
kantor kotamadya ada koperasi. Ke sanalah ia dari waktu ke waktu
sering ngebon beras. Dapat dipaham, habis bulan habis gaji.
Biasa. Tapi seperti peribahasa, angin toh tak selamanya datang
dari satu arah, makin begitu kira-kira rezeki pak Imping. Meski
perkara kubur-kubur ada aturannya yang resmi dari pemerintah
daerah, tapi tak sampai tercantum larangan bila ada orang yang
salah seorang keluarganya meninggal lantas punya niat jadi
dermawan. Dari orang itulah pak Imping memperoleh rezeki
tambahan. Terkadang Rp 100 atau Rp 200 dari seorang.
Kode
Sekali-sekali ada juga terlintas pada pikirannya keinginan buat
kaya. Apa daya, hambatan untuk mencari sambilan ada-ada saja.
Meski badannya kelihatan kekar, yang namanya pegal-pegal kerap
mengganggunya. Dan usaha melawan gangguan itu, apa boleh buat,
minim sekali. Paling banter ia cuma menggantungkan diri pada
daun-daunan atau akar-akaran menurut petunjuk orang dulu-dulu.
Selebihnya, kembali terpulang pada nasib Syukur, sejak muda
sampai rambutnya hampir seluruhnya ubanan kini, gangguan
penyakit itu tak pernah berkepanjangan atau boleh jadi juga, ia
memang selalu memaksakan diri untuk patuh dengan pekerjaannya.
Sebab, kalau absen, harapan untuk dapat penghasilan tambahan
jelas hilang. Tapi, percaya atau tidak. Imping punya kode.
"Kalau tangan saya bergetar, atau bergerak-gerak, selalu saja
luka ada yang mati" ucapnya. Serta merta, ia bergegas ke tempat
kerja. Bagaimana pun, penghasilan Imping ketimbang kawan
sekerjanya yang lain jauh lebih baik. Seorang bernama Barak
misalnya, yang umurnya 8 tahun lebih tua dari dia sampai kini
masih berstatus pekerja harian dengan upah yang dibayarkan
setengah bulan sekali. Besarnya? Rp 875 -- yang berarti total
sebulan cuma Rp 1.750.
Mendiami rumah instansi -- meski nilainya darurat -- yang juga
terletak di kompleks kuburan, kabarnya Imping cukup tenteram.
Acap kali didengarnya cerita orang tentang hal yang serem-serem
mengenai suasana di kuburan. 'Alhamdulillah, sampai sekarang
saya belum jumpa apa-apa. Juga anak-anak saya", ujarnya. Alhasil
ia berusaha untuk tetap betah dengan pekerjaannya kini. Kecuali
berpendapat bahwa itu toh kehendak Tuhan, malah ia jadi berkata:
"Apabila ada orang mati dan mau dikuburkan di sini, itu sudah
kewajiban".
Ayahnya dulu sebenarnya, konon tidak terbilang miskin.
Setidaknya, di masa kanak-kanaknya dulu ia lumayan jugalah
hidupnya. Soalnya, ia anak tunggal. Setiap keinginannya jarang
tak diluluskan oleh kedua orang tuanya. Ia pun jadi manja.
Secara kebetulan, Matnoor (ayahnya) boleh jadi tak berpikiran
panjang. Hingga apabila Imping bolos dari sekolahnya dan
nongkrong melihat orang mengubur mayat, ia jadi bolos dari
perhatian. Tak ayal, nasibnya kini tak seindah masa
kanak-kanaknya. Selain sehari-hari sering membugil karena ia tak
sanggup ganti berganti pakaian, terhadap Zamilah anaknya yang
bungsu pun tak urung ia nyaris meneruskan nasibnya yang lusuh:
"Saya tak sanggup menyekolahkan anak itu. Biarlah ia mengaji
Qur'an saja. Pokoknya asal selamat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini