Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Membisniskan Kain Ikat

Tenun ikat dari kepulauan Nusa Tenggara ini unik. Hasilnya mahal, cara bertenun lama, motifnya indah, kainnya tebal dan kuat. Iwan Tirta berhasil meningkatkan produksi dan mengkomersilkan.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK gugusan kepulauan Nusa Tenggara (Barat dan Timur) mempunyai cara menenun yang unik. Mirip penenun dari pulau Bali, semula mereka mengelompokkan benang tenun dalam gulungan yang sebesar jari tangan. Menurut disain yang direncanakan, benang tenun itu mereka ikat kuat-kuat dengan daun. Di Bali, di mana benang rafia kini mudah didapat, fungsi daun telah diganti dengan rafia, yang lebih mudah, bisa tahan air dan mungkin, lebih murah. Benang-benang itu kemudian dicelup. Bagian yang tidak tertutup oleh daun atau rafia, mandi basah oleh air celup. Bagian lain dari benang mereka ikat lagi. Dicelup lagi dengan warna lain. Begitulah berkali-kali, sehingga tercapai satu rantai warna yang mereka kehendaki. Benang itupun kemudian siap untuk ditenun. Karena alat tenun begitu sederhana, satu potong kain menyita waktu cukup lama. Akibatnya, harga kain tenun Sumba, dan Flores, mahal harganya. Tenun ikat -- demikian biasa disebut untuk bentuk tenun macam ini - kemudian cuma dimiliki oleh penduduk setempat atau orang luar pulau sebagai hadiah. Pepaya dan Make Motif tenunan indah dan kain tebal yang terbuat dari benang katun ini harganya bisa mencapai Rp 100.000 ke atas. Karena pembuatannya yang lama dan jumlahnya tak banyak tentu. Melihat hal ini, Iwan Tirta dan Juan Federer -- setelah mengadakan perjalanan keliling ke pulau lain di Nusantara ini -- menemukan hal yang baru untuk usahanya. Bagaimana kalau tenun ikat ini dimulti produksikan seperti batik-batik mereka yang sukses itu? Secara bergantian, keduanya kemudian pulang-balik Jakarta-Endeh. Ini dimulai sejak tahun 1973. Mengamati mereka bertenun, Federer yang orang Chili - merasa bahwa penduduk Flores sama ramahnya dengan orang Chili. Mereka (orang Flores) gemar menari senang makan daun pepaya, memiliki ikan yang melimpah di sekeliling pulau mereka, senang minum make seperti kebanyakan orang Sulawesi Utara dengan minum saguer. Semua direkrut untuk jadi satu tim penenun yang gesit. Artinya, produksinya bisa diandalkan karena bisnis telah dinanti pasaran. Federer juga pergi ke museum tenun di Swiss, untuk meneliti alat tenun sederhana sederajat dengan ATBM (alat tenun bukan mesin). Di Jakarta salah satu ATBM ditirunya dan dibuatnya menyerupai aslinya. Potongan-potongan ATBM ini kemudian dikirimkan ke Endeh. Dengan penuh kesabaran, ATBM gaya baru ini diberikan pada penduduk Endeh, untuk dicoba. Biasa, sesuatu yang baru memang tidak selamanya ditelan begitu saja. "Ditambah lagi mereka terlalu lama hidup dengan nyaman tanpa diburu waktu", kata Iwan. Apakah mereka bisa diajak kongsi untuk bisnis? "Itulah tadinya yang kami ragukan", kata Juan Federer. Kalangan Bawah Akhirnya, setelah 4 tahun merintis, Nusa Ikat (sebagai bagian lain dari Nusa Batik) bisa terujud untuk diperdagangkan. Setiap bulannya kini, sekitar 30-35 helai bisa dihasilkan oleh 50 orang penenun. Iwan Tirta kemudian memadukan motif-motif dari luar pulau Flores dengan pulau itu, yang biasanya bermotif wajik kecil-kecil, motif burung kecil dan sebagainya. "Saya ingin kain tenun ini tidak hanya dijadikan barang hadiah saja atau dipakai hanya oleh kalangan bawah", kata Iwan. Harapannya itu terlaksana. Yaitu ketika tanggal 18 Mei yang lalu, nyonya Tien Soeharto, Ali Sadikin dan Gubernur NTT Eltari (juga pengunjung yang lain) hadir melihat pameran pertama Nusa Ikat, di gedung Mitra Budaya. Motif Iwan yang lebih besar ketimbang motif asli, dimodernkan lagi dengan warna cerah, telah mengundang banyak peminat. Lebih-lebih ketika beberapa orang peragawati memamerkan baju-baju tenunan Flores. Kainnya yang kukuh (karena katun) dan motifnya yang lebih anggun, kemungkinan besar bisa mengalahkan motif tenun Makassar, Bali atau Sumatera Barat. Iwan Tirta, menemukan sesuatu yang baru lagi. "Dan saya tidak akan memboyong mereka ke Jawa", ujar Iwan, "agar gairah bekerja tetap tinggal di sana". Juga, karena harga tenaga lebih murah di sana. Dengan risiko: bagaimana caranya mendekatkan jarak Jakarta-Endeh, baik lewat angkutan maupun lewat telepon. Karena maklumlah, Bangkok dirasa sering lebih dekat ketimbang Endeh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus