NAMANYA biasa tercantum di kaki layar, kecil dan cuma muncul
beberapa detik sesaat cerita film akan dimulai. Selama film-film
asing belum bisa didubbing (diberi suara) dengan bahasa
Indonesia, teks film yang selalu meloncat menari di kaki layar
cukup banyak membantu penonton film. Kebanyakan nama-nama yang
terpampang sejenak itu adalah: Narto Erawan, M. Karim, Agus
Mohamad, Rasyid Rachman, Mayasin dan Narain Topandas. Yang
terakhir ini khusus untuk film India yang mendapat pasaran yang
boleh juga di Indonesia.
Narto mengatakan telah menterjemahkan film lebih dari 300 buah.
Film asal dari mana saja, "karena kebanyakan buku dialog dibuat
dalam bahasa Inggeris", kata Narto. Kini dia duduk sebagai
Kepala Sub Direktorat Bina Peredaran Film. Bahkan belakangan ini
namanya muncul sebagai pembuat skenario film Karmila dan
Senyuman Nona Anna. "Itu semua berkat membuat terjemahan", kata
Narto. Menurut dia, menterjemah "sekolah tidak resmi" menuju ke
skenario.
Menterjemahkan film pekerjaan yang ya gampang ya sulit. "Kami
tidak boleh menterjemahkan terlalu panjang", kata Narto, "tiga
baris itu sudah yang paling banyak". Kalau satu adegan cuma
berlangsung satu menit, maka penonton yang membaca teks paling
banyak memerlukan waktu setengahnya. Karena matanya tidak cuma
sibuk membaca teks, tapi juga nonton gambar yang ada di layar.
Maka, seorang penterjemah film harus mempunyai keahlian dalam
menyingkat kalimat. Punya kemampuan bahasa Indonesia yang
lumayan dan juga jangan segan-segan buka kamus. "Tidak ada
sekolah khusus sih untuk penterjemah film", kata M. Karun, yang
telah 12 tahun lamanya memegang pekerjaan ini. Kini dia jadi
Sekretaris Badan Sensor Film. Nasihatnya: "Dialog sehari-hari
yang santai, jangan sampai diterjemahkan dengan bahasa sastra
yang tinggi". Sebaliknya, film seperti Romeo and Juliet harus
diterjemahkan lebih hati-hati lagi, karena bahasa sasteranya
yang tinggi.
Karim juga berpendapat: "Tanpa kamus, berarti nggak kerja".
Sebab, katanya, kalau terbukti salah (dan film sudah rapi
beredar), "menyesalnya setengah mati". Narto juga membenarkan
pendapat Karim. Isteri Narto bahkan membantunya mencari
kata-kata tepat dalam kamus. "Karena pengalaman, jangan
sekali-kali memakai kamus Inggeris-lndonesia. "Sebab, awas, suka
slip". Jadi yang dipakai: Inggeris-Inggeris. Narto bercerita
tentang dua patah kata Inggeris: 'a good hiding'. Tapi selain
itu juga lihat filmnya. Penterjemah yang cuma berhadapan dengan
buku dialog dan cuma pegang kamus (tanpa melihat film), 'a good
hiding' ini oleh Narto diterjemahkan jadi "persembunyian yang
baik". Belakangan, baru dia tahu bahwa maksudnya adalah "pukulan
yang jitu".
Yang Jorok
Kalau harus berhadapan dengan buku dialog dari film seks
penterjemah sering mengalami kesukaran bagaimana harus
menterjemahkannya. Biasanya, menurut pengakuan penterjemah lain,
Mayasin, kalimat yang begitu jorok dia lewatkan saja. Adegan itu
dibiarkan saja telanjang tanpa teks. Kata Mayasin, yang sudah
menterjemahkan film ribuan jumlahnya: "Saya sering memperhalus
bahasa. Misalnya kata-kata 'anak sundal', saya terjemahkan jadi
anak keparat".
Tentu saja setiap penterjemah tidakpunya pilihan untuk
menterjemahkan film yang disukainya. Tapi menolak bukanlah suatu
hal yang luar biasa. Mayasin misalnya, beberapa tahun lalu
pernah menolak film Anthony and Cleopatra. Setelah membaca buku
dialog, ternyata dia tidak sanggup. "Film itu terlalu hebat dan
mempunyai bahasa sastra yang tinggi", katanya. Biarpun bisa saja
dia terjemahkan seadanya, "tapi saya takut nanti dianggap
memperkosa bahasa film itu".
Di sinilah sering terjadi kesimpang-siuran antara si importir
dan si penterjemah. Sang importir, maunya, begitu buku dialog di
tangan penterjemah, minggu itu juga sudah bisa selesai. Seorang
pejabat Direktorat Film bahkan berkata: "Importir itu maunya
filmnya diterjemahkan dengan cepat. Malah ada yang mau film
masih di airport, terjemahan sudah harus selesai". Maklumlah,
importir memikirkan agar uang cepat masuk, sementara prosedur
pemasukan film sedikit berbelit. Sebab begitu film tiba di
lapangan udara Halim, terus dibawa ke badan sensor. Jarak waktu
antara lapangan terbang dan sensor, bisa saja seminggu atau
sebulan, atau kapan saja. Tergantung sepi ramainya lalu lintas
film yang harus disimak.
Berapa lama menterjemahkan film? Mayasin mengatakan rata-rata
dia bisa merampungkan sebuah film dalam 4 hari.
Sesuci Kuil
Bagaimana dengan bahasa Urdu?
"Buku dialog yang diterjemahkan ke Inggeris dari film India
banyak terjadi kesalahan bahasa. Jadi kita betul-betul harus
tahu bahasanya", kata Narain Topandas keturunan India yang
menterjemahkan film-film Bombay. Dia ini pada mulahya cuma gemar
menonton film. Sesekali menterjemahkan bahasa nenek moyangnya.
Hobi ini lama-lama jadi profesi. Pekerjaan lain tidak cocok",
kata Topandas, yang di tahun 1973, pulang untuk "ambil isteri"
di India.
Kini Topandas selalu "dikejar-kejar" importir setiap saat,
Saking larisnya, katanya, untuk ambil cuti saja tidak hisa.
Topandas biasanya menterjemahkan sekalian menyimak film. "Sering
ucapan yang ada dalam buku dialog idak cocok dengan dialog dalam
film", katanya. Topandas juga berkata kalau badannya lagi enak,
dua hari saja selesai sudah sebuah film. "Kalau tidak sehat, ya
seminggu juga bisa".
Film-film dari India jarang yang ditolak sensor. Menurut
pengalaman Topandas, cuma sekali. Yaitu film Sex Education.
"Tapi dari semua film yang saya terjemahkan, satu yang saya rasa
puas. Film Dil Ek Mandir (Hati Sesuci Kuil). Biar film itu
berat, tapi cerita dan bahasanya indah", ujar Topandas lagi.
Narto Erawan puas pada terjemahan Julius Caesar dan A Man for
All Seasons. Karim puas dengan Judgement at Nuremberg Ujar
Karim: "Filmnya bagus, dialognya bagus dan saya berusaha
mengimbangi dengan terjemahan yang bagus pula".
Honor? Semua menolak untuk mengatakan berapa honor mereka. ,arim
mengalakan bahwa menterjemahkan film adalah antara hobi dan rasa
puas, kalau pekerjaan itu berhasil dengan sempurna. Mayasin,
yang juga pegawai sebuah kantor impor film, yang terima gaji
bulanan. Dia juga bukan hanya bertindak sebagai penterjemah,
tapi sebagai spotter, orang yang mengamati setiap feet film
ketika dalam percobaan.
Banyak Bicara
"Saya dengar dengar sih . . . ", kata Mayasin, dan dia tidak
meneruskan kalimatnya. Tapi kemudian dia menimpali: "Kalau biro
penterjemah mendapat honor lumayan. Satu folio Rp 2.000.
Sedangkan buku dialog bisa sampai 50 lembar". Lewat bisik-bisik
sana-sini, seorang penterjemah katanya sill cuma mendapat
sekitar Rp 25.000 per film, dalam bahasa apa saja. Apalai film
dalam bahasa Jepang atau Mandarin toh biasanya disertai pula
oleh buku dialog dalam bahasa Inggeris. Maka tidak peduli apakah
sebuah film itu panjang atau pendek, importir memberi honor
rata-rata.
Biasanya, setiap importir mempunyai langganan penterjemah
masing-masing. Sebagian penterjemah ini enggan untuk
menterjemahkan film India. Filmnya panjang, sering sampai 1500
subtitles (film biasa cuma 600 - 800 subtitles). Narto Erawan
mengatakan film India ini makan banyak tenaga. "Payah, banyak
bicaranya, banyak nyanyinya, sehingga teksnya pun panjang.
Honornya ya segitu-gitu saja", kata Narto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini