MENYOLOK? Atau men-colok? Kami memilih yang kedua. Sudah tiga bulan ia dimunculkan. Adapun kata itu memenuhi kaidah pembentukan kata (dari kata dasar colok) seperti halnya coba, copet, dan curi menjadi mencoba, mencopet, dan mencuri - bukan menyoba, menyopet, dan menyuri. Kata yang kontroversial itu ada dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta (tahun 1976) dan Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa, Departemen P dan K (tahun 1983). Ia bisa berarti mencolok dalam arti harfiah ataupun kiasan, yang biasa dieja menyolok. Usaha mengikuti kamus sudah lama dilakukan TEMPO. Penggunaan kata mengubah (bukan merubah), dirusakkan (bukan dirusak), dan ajektif sadistis (bukan sadis) sudah berhasil "mempengaruhi" pemakai bahasa Indonesia lainnya. Begitu pula pemilihan menyukseskan, bukan mensukseskan, telah bergema. Kami memang berusaha berbahasa tertib. Mula-mula tugas itu diserahkan kepada Slamet Djabarudi, yang waktu itu menjabat kepala Bagian Pendidikan. Ia memang pernah ingin menjadi guru, dengan duduk tiga tahun di FKSS IKIP YogyaJurusan Bahasa Inggris. Tetapi besar minatnya terhadap bahasa Indonesia. Di TEMPO tiap minggu ia mencoret-coret nomor majalah ini yang sudah terbit kemudian memberikan saran. Tercakup di dalamnya masalah ejaan, pemilihan kata, penyusunan kalimat, dan ketepatan data. Sarannya setiap minggu dibaca seluruh anggota Sidang Redaksi. Disusun pula "Kamus TEMPO", yang berisi kata-kata yang baku untuk majalah ini. Sejak saat itu Slamet dijuluki Kiai. Toh masih saja ada yang menulis azas, fasal, dan fikir, padahal kata-kata itu sudah dibakukan menjadi asas, pasal, dan pikir. Maka, sejak September 1983, dihadirkan editor naskah. Kiai Slamet diperkuat oleh Eddy Soetriyono. Eddy baru saja lulus dari Jurusan Seni Rupa ITB. Tapi dia berminat besar pada kesusastraan, dan peninjau penggunaan bahasa yang tekun bahkan sebelum masuk TEMPO. Kiai, 38, dan Eddy, 28, memeriksa naskah yang sudah diset dan diperiksa korektor. Perbaikan bahasa dapat langsung dilakukan keduanya, tetapi perbaikan fakta harus dikonsultasikan dengan redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, atau wakil pemimpin redaksi. Tetapi kadang-kadang memang perlu gerak cepat. Untung, ada pengalaman Slamet sebagai reporter. Pada 1967-1971 ia bekerja di Pelopor Yogya, dan sempat ditahan polisi dalam "Kasus Sum Kuning" pada 1971-1974 di Indonesia Raya dan sejak 1974 di TEMPO. Tapi, dalam upaya meningkatkan kecermatan, kami terbentur pada komputer. Komputer ini, sayang sekali, tidak terbiasa berbahasa Indonesia. Contohnya dalam pemenggalan kata. Kita punya akhiran an, tetapi juga memiliki kata-kata yang berhuruf akhir (bukan akhiran) an, misalnya Senayan, letnan, peran, dan edan. Pada akhir baris, mungkin kata itu terpenggal menjadi Senay-an, letn-an, per-an, dan ed-an. Kalau ada waktu, kami biasa menambahkan kode tertentu, sehingga pemenggalannya benar. Tetapi, terkadang, kami diuber waktu agar majalah ini tiba tepat waktu di tempat Anda. Maka, kata pun bisa jadi korban: bisa salah penggal. Harap pembaca maklum adanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini