Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ledakan Dengan Asap Hitam Di Tiga... Ledakan Dengan Asap Hitam di Tiga ...

Pemboman di komplek pertokoan Jembatan Metro, Glodok dan dua kantor BCA. Kejadian kronologis aksi teror di Indonesia. Sikap pemerintah terhadap setiap aksi teror. (nas)

13 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Ledakan Dengan Asap Hitam Di Tiga...  Ledakan Dengan Asap Hitam di Tiga ...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAMIS 4 Oktober 1984. Pukul 9.30 telepon di Detasemen Gegana Brigade Mobil Polda Metro Jaya berdering. Peneleponnya ternyata dari Poskotama (Pos Komando Utama). Isi berita: sebuah bom meledak di kantor cabang Bank Central Asia (BCA) di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Harap segera dikirim Jihandak (Penjinak Bahan Peledak). Satu regu Gegana, yang dipimpin Letnan Dua Sonny dengan delapan petugas, segera ngebut ke Jalan Gajah Mada. Tapi kerumunan manusia dan kendaraan yang memacetkan lalu lintas tak memungkinkan mereka mencapai lokasi tersebut dengan kendaraan. Bergegas kesembilan orang itu turun di depan pusat perbelanjaan Duta Merlin, dan berlari sambil membawa keranjang dan selimut bom, menyeruak di antara kemacetan lalu lintas. Pukul 9.55, regu Jihandak sampai di tempat kejadian. "Tapi tempat kejadian sudah rusak," ujar Sonny. "Di luar tercium bau mesiu, seperti kalau petasan dibakar. Bau petasan juga tercium di dalam," katanya lagi. Di kanan kiri titik ledakan terpatri warna hitam, di bawah bordes tangga yang menghubungkan lantai I dan II. Tembok di sekitar tangga retak-retak. Panel listrik, yang terletak dua meter dari titik ledakan, jebol. Kursi plastik cokelat di bawah tangga, tempat nasabah duduk, hancur sebagian. Delapan kaca ray-ban ukuran 120 cm X 240 cm dengan tebal 5 mm, yang menutup bagian depan gedung berlantai empat itu, hancur. Ruangan seluas 7,5 m X 10 m di lantai I gedung BCA itu memang porak peranda. Kursi, meja, dan sekat pemisah ruangan berjumpalitan. Sehuah mesin fotokopi Xerox tampak ringsek. Beberapa lukisan yang tertempel di dinding tergantung miring, tapi kacanya masih utuh. Di dinding belakang, sebuah jam Lorus berbentuk bulat putih masih tergantung dengan jarum tak bergerak dan menunjukkan pukul 9.21. Jam listrik itu mati setelah aliran listrik terputus akibat ledakan. Tujuh oran luka berat dan tujuh lainnya luka ringan akibat ledakan di gedung ini. Beberapa di antaranya pejalan kaki yang kebetulan lewat di depan gedung. "Mereka terkena pecahan kaca dan mebel yang terlempar keiuar," kata seorang petugas Polri dari Polsek Glodok. Sekitar pukul 9.25, Suparto dan Effendi, dua orang anggota Satpam (satuan pengamanan) kompleks pertokoan di Jembatan Metro, Glodok, sedang berpatroli tatkala Go Chi Hin, 42, pemilik toko kemeja Jaya, memanggil mereka. Ia menunjukkan tas yang setengah jam sebelumnya ditinggal seorang pembeli, yang katanya akan kencing sebentar. Suparto, 30, salah seorang anggota Satpam itu, sambil berjongkok membuka tas kain berwarna merah polos yang berukuran sekitar 40 cm X 20 cm itu. Di dalamnya ia melihat ada travo merah, dengan gambar naga dan tulisan Cina, dengan timer pencatat waktu di sebelah kanan. Tidak ada kabel kelihatan, juga tidak terdengar bunyi detik jam. Mendadak Suparto teringat ledakan yang beberapa menit sebelumnya terjadi di Jalan Gajah Mada, yang jaraknya beberapa ratus meter dari Metro. Langsung ia berteriak, "Awas Fen, menyingkir Fen." Sambil berlari menjauh, ia membelok keluar gang. Baru beberapa langkah ia lari, terdengar ledakan. Suparto langsung pingsan. Sebuah jam besar menindih tubuhnya. Beberapa saat kemudian baru ia sadar. Asap tebal menutupi gang, dan pecahan kaca berserakan di mana-mana. Bom itu meledak pada pukul 9.28. Effendi dan Go Chi Hin tak semujur Suparto. Mereka tewas. Mungkin sekali krena bom itu meledak langsung di depan mereka. Tatkala Sabtu pekan lalu kompleks pertokoan ini dibuka lagi, tampak sepasang sepatu milik Effendi masih tergeletak di dekat titik ledakan. Juga sandal kuning yang dua hari sebelumnya dipakai Go Chi Hin. Go Chi Hin, yang pada 1967 menikah dngan Nyuningwongso, mempunyai tiga anak. "Saya tak punya firasat apa-apa sebelumnya. Tapi saya pasrah, kalau memang demikian nasibnya. Anak-anak sendiri juga ikhlas papanya pergi. Mereka sempat bertemu paginya, itu sudah syukur," kata Ny. Nyuningwongso, pekan lalu. Effendi, 32, yang biasa dipanggil Pepen dikenal sebagai ayah yang baik. Tamatan sekolah teknik ini tak segan untuk ikut mencuci pakaian empat anaknya, memandikan dan merawat mereka. Baru empat bulan ia bekerja sebagai Satpam di pertokoan Metro. "Sejak Oktober ini gajinya naik menjadi Rp 21.000. Sebelumnya, ia cuma embawa pulang Rp 16.000 sebulan, serta uang harian Rp 1.500," ujar Rosniar, istrinya. Kamis siang pukul 11.00 itu Rosniar didatangi seorang petugas Satpam, yang memberitahu bahwa Pepen terkena ledakan. Disertai kedua orangtuanya, Rosniar segera memburu ke Rumah Sakit Husada. Ternyata, Effendi sudah dipindah ke RSPAD Gatot Subroto. Baru di rumah sakit ini mereka memperoleh kepastian: Effendi sudah meninggal dengan dada remuk serta wajah hangus hitam. Bagian bawah tubuhnya kabarnya juga hancur. Ditemui pekan lalu di rumah petaknya, yang berukuran 3 m X 8 m dan terbuat dari bilik bambu, Rosniar tampak menangis, dikelilingi sanak saudaranya. "Saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan. Entah apa jadinya masa depan anak-anak saya," ratap Rosniar, sambil merangkul anaknya yang terkecil. Bukan cuma dua bom yang pagi itu mengguncang Jakarta. Satu bom lagi, yang paling awal dan paling kuat, meledak dikantor cabang BCA di Jalan Pecenongan pada pukul 9.15. Beberapa saksi mata menjelaskan, mereka melihat seorang pria berjaket hijau masuk ke bank tersebut, naik ke lantai Il, sambil membawa sebuah bungkusan yang dibalut kertas semen. Anehnya, pria tersebut kemudian muncul lagi dengan bertelanjang dada. Dia belum sempat lari jauh, tatkala bungkusan yang ditinggalkannya meledak. "Tiba-tiba kami mendengar ledakan keras, dan gedung ini seperti mau runtuh," cerita seorang karyawan yang bekerja di lantai I. "Cewek-cewek pada menangis. Kami semua panik, dan lari keluar. Beberapa orang luka tertimpa pecahan batu dan kayu," katanya lebih lanjut. Pria tanpa baju itu diketemukan terluka parah. Ia bukan nasabah bank tersebut, dan tidak dikenal para karyawan. Belakangan, terungkap bahwa namanya Jayadi. Sampai Senin pekan ini ia masih dirawat di RS Gatot Subroto. "Keadaanya kritis sekali, dan dalan keadaan koma. Tangan dan matanya rusak," ujar sebuah sumber. Ada dugaan bahwa Jayadi-lah pelaku pengeboman, tapi ada juga yang memperkirakan ia hanya orang suruhan yang tidak mengetahui isi bungkusan yang dibawanya. Bom yang meledak di gedung BCA Jaian Gajah Mada ternyata juga dibungkus kertas semen. Itu terbukti dari hasil pengusutan tim Gegana, yang menemukan antara lain enam buah baterei berkekuatan 1,5 volt, pelat jam berbentuk spiral, sisa pembungkus bahan peledak berupa kertas semen, serta tas tangan cokelat merk Ace. Jenis peledak yang dipakai di tiga tempat itu hingga kimi masih diperiksa Laboratorium Kriminalitas Mabak. "Pemeriksaan belum selesai," ujar kepala Polda Metro Jaya, Mayor Jenderal R. Sudjoko. Tapi diakuinya bahwa peledak itu dibuat dari bahan lokal. "Di Parung saja bisa dibikin, asal tahu ramuannya," ujarnya, Senin Pekan ini. Parung, Bogor, dikenal sebagai daerah tradisional penghasil petasan. Kamis pagi 4 Oktober itu, menurut rencana, Pangab Jenderal Benny Moerdani akan mengadakan jumpa pers dalam rangka Hari ABRI 5 Oktober. Tapi acara itu terpaksa ditunda sekitar tiga jam. "Saya minta maaf atas keterlambatan ini, karena hal yang tentunya Suadara-Saudara sudah lebih tahu," ujar Jenderal Benny, tatkala kemudian ia membuka jumpa pers tersebut. Pagi itu, seusai menerima kunjungan KSAU Bangladesh, Jenderal Benny memang langsung meninjau ke lokasi ledakan dengan mengendarai jip yang dikemudikan Pangdam V/Jaya Mayor Jenderal Try Swtrisno selama hampir dua jam. Peninjauannya bersama Mayor Jenderal Try itu, menurut Benny, sengaja dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka tahu situasinya. Juga agar masyarakat tahu bahwa aparat keamanan menaruh perhatian pada masalah tersebut. "Saya cenderung mengatakan, peristia ledakan itu merupakan teror," kata Benny dalam jumpa pers, didampingi Try. "ABRI tidak akan menyerah kepada golongan-golongan tertentu yang melancarkan teror untuk memaksakan kehendaknya kepada pemerintah," ujarnya tegas. Benny tidak merasa bahwa pemerintah "kecolongan" dengan terjadinya peristiwa ledakan itu. ABRI hanya dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di tempat terbuka. "Apakah dapat disebut kecolonan, kalau ABRI tidak mengetahui sesuatu yang terjadi di dalam rumah?" tanya Benny pada para wartawan. Kata Pangab pula, "Berani taruhan, sebentar lagi pasti ada seleberan gelap 'ABRI melindungi Cina'." ABRI sebagai aparat keamanan bertanggung jawab melindungi semua warga negara dan semua penduduk yang mempunyai surat-surat yang diperlukan untuk tinggal di Indonesia. "Kalau sekarang yang dibakar toko Cina lalu apa yang Saudara harapkan? Apa tentara diam saja?" tanyanya. Ditegaskannya. ABRI akan melakukan pengamanan jua di tempat lain, misalnya, kaiau yang dlbakar di Krukut, tempat orang Arab. Juga kalau masjid, gereja, atau kelenteng, dibakar. Tindakan cepat Jenderal Benny yang dengan segera mengumumkan terjadinya peristiwa ledakan tersebut lagi-lagi dipuji semua pihak. Hasil positifnya segera terlihat: tidak terjadi suasana panik, dan desas-desus yang berlebihan hampir sama sekali tidak ada. Kecuali di pertokoan Metro, semua kantor dan toko di daerah sekitar ledakan tetap dibuka seperti biasa. (Lihat: Cara Membunuh Sas-Sus, halaman 17). Itu tidak berarti tidak ada spekulasi di kalangan masyarakat. Terjadinya ledakan beruntun tersebut, yang hanya sekitar tiga pekan setelah Peristiwa Tanjung Priok memang membangkitkan tanya: Adakah kaitan antara kedua peristiwa tersebut? Sampai awal pekan ini belum ada pejabat yang memastikan adanya kaitan antara kedua peristiwa ini. Motivasi peledakan juga belum jelas. Ada dugaan, kedua kantor cabang BCA dijadikan sasaran simbolis dan politis, dan ditujukan pada kepemilikannya. Sedang pertokoan di jembatan Metro dipilih sebagai sasaran mungkin karena dianggap sebagai daerah konsentrasi pedagang Cima, dengan tujuan untuk membangkitkan SARA (suku, ras, agama, dan antargolongan). Penangkapan memang telah dilakukan. Sampai Senin pekan ini, aparat Kodim Jakarta Barat dan Polri sejak Sabtu malam lalu telah menahan 17 orang. "Penangkapan ini mudah dilakukan, karena aparat keamanan sudah mengetahui skenario komplotan ini," ujar sebuah sumber. Kabarnya, Pangdam V/Jaya memberi waktu seminggu pada Kodim Jakarta Barat untuk mengungkap peristiwa peledakan itu. Beberapa yang ditangkap itu kabarnya berpendidikan sarjana. Ada juga di antaranya seorang pensiunan ABRI. Yang dianggap sebagai koordinator komplotan ini konon bernama Rahmat Basuki, yang bekerja di sebuah percetakan. Menurut sebuah sumber, para tersangka itu melakukan gerakan tutup mulut sewaktu diperiksa. Yang juga masih belum jelas adalah kelompok para tersangka itu. Dalam pemeriksaan para tersangka tersebut, kabarnya, mereka juga tidak mengaku mengenal Jayadi, yang diduga pelaku pengeboman di gedung BCA Jalan Pecenongan. Para pelaku pengeboman itu diduga tidak terlalu ahli membuat bom waktu. "Ledakan bom itu berasap hitam. Itu membuktikan bahwa cara pembuatannya tidak benar. Sama sekali tidak profesional. Kalau pembuatannya benar, tentu asapnya putih, kata seorang petugas kepada TEMPO. Teknik pembuatan peledak dengan bahan tradisional memang tidak sulit. "Itu kalau tahu caranya," kata seorang ahli. Bahan berupa bubuk, potasiumnitrat, karbon, dan belerang bisa dengan mudah dibeli di toko bahan kimia. Sumber ini mengimbau agar longgarnya pengawasan terhadap pembelian bahan dasar pembuat peledak ini lebih diperketat. Sementara dalam peristiwa ledakan pekan lalu itu masih misterius, dampak peristiwa itu segera terasa. Para Satpam di berbagai kantor dan lembaga kini tampak lebih awas dan waspada. Sampai awal pekan ini, para pengunjung beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta, Gajah Mada Plaza misalnya, diperiksa dengan teliti. Semua bungkusan dan tas diperiksa. "Supaya kejadian pekan lalu itu tidak terulang lagi," kata seorang petugas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus