SEPERTI biasanya, sikap dan wajah Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani Kamis siang pekan lalu itu keras dan tegas. Suaranya lantang. "Pemerintah tidak akan menyerah kepada teror. Pemerintah tidak akan bertekuk lutut. Sebab, sekali kita mengakomodasikan permintaan teroris, sistem yang ada akan hancur sedikit demi sedikit," katanya kepada puluhan wartawan yang siang itu hadir di Aula Markas Besar BlI. Pernyataan itu, yang dikeluarkan sekitar lima jam setelah tiga ledakan yang mengguncangkan Ibu Kota, secara gamblang nenjelaskan sikap tegas Penerimtah terhadap teror. Pangab mengakui, "pajak" dari sikap tegas pemerintah itu menang mahal "Bahkan mungkin masih ada korban. Masih ada darah mengalir. Tapi saya minta diingat: kita mengamankan 150 juta manusia lebih, dan untuk itu bisa lebih dari seratus orang ditahan." Secara berseloroh Jenderal Benny bahkan mengatakan, seandainya pemerintah menyerah atau bersikap lunak terhadap teror, "Kalau kejadiannya sudah begini, panglimanya diganti saja ...." Pendirian ini bukam hal baru. Dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla, akhir Maret 1981, misalnya, Waktu itu Jenderal Benny, yang memimpin operasi pembebasan Woyla yang dibajak gerombolan Imran, secara tegas menolak membebaskan 80 "tahanan politik" yang dituntut. Hanya 65 jam setelah pembajakan, pasukan Kopassandha berhasil menembak mati para pembajak, dan membebaskan para penumpangnya. Ketegasan pemerintah juga terlihat dari suatu instruksi kepada semua perwakilan Indonesia di luar negeri yang dikeluarkan beberapa tahun silam: Bila ada staf KBRI yang disandera atau menjadi korban pembajakan kelompok teroris, pemerintah sedapat mungkin akan berusaha membebaskannya, tapi pemerintah tidak akan tunduk pada tuntutan teroris. Tak menyerah terhadap terorisme belakangan ini memang dianggap cara paling tepat untuk menanggulangi teror. Sikap lunak, menurutl tuntutan teroris, ternyata sangat merugikan dan sering sia-sia. Kasus penculikan bekas PM Itali Aido Moro oleh Brigade Merak pada 1978, misalnya. Waktu itu pemerintah Italia telah memenuhi tuntutan teroris dengan membebaskan sejumlah tahanan politik dan membayar tebusan, tapi Aldo Moro ternyata kedapatan telah tewas dibunuh para penculiknya. Taktik teror sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu, tapi menjamurnya gerakan teror internasional dimulai pada akhir 1960-an. Yang dianggap penyebabnya antara lain: gagalnya gerakan gerilya Palestina di Timur Tengah, mundurnya perlawanan bersenjata yang meniru revolusi Cuba di Amerika Latin, lahirnya gerakan mahasiswa radikal pada 1960-an, dan timbulnya berbagai konflik regional di Timur Tengah yang menimbulkan kepahitan dan frustrasi. Tentu saja, dampak teknologi modern juga ikut mendorong lahirnya gerakan teror tersebut. Secara umum, gerakan teror bertujuan untuk mencapai beberapa hal. Misalnya untuk memproklamasikan kehadiran dan tujuan mereka, meningkatkan moral dan simpati merongrong keamanan dan ketertiban, memancing tindakan balasan, menakut-nakuti rakyat, serta mencari dukungan finansial terhadap gerakan mereka. Gerakan teror, yang biasa dipakai kelompok gerilyawan kota, umumnya menyerang sasaran simbolis atau politis melakukan perampokan yang spektakuier, melakukan penculikan politis, atau menyerang pejabat pemerimtah atau pengusaha kaya. Tujuan utama mereka terutama guna memperoleh perhatian publik. Belakangan, sasaran serangan mereka meliputi juga supertanker, pipa minyak, serta gas bumi. Penelitian Charles Russell dan Bowman Miller yang berjudul Profile of a Terrorist (1977) sangat menarik. Mereka meneliti 350 orang teroris dari 18 kelompok, dan menemukan bahwa para teroris itu umumnya bujangan berusia sekitar 20 tahun, dan pendidikan mereka universitas (atau paling tidak pernah belajar di perguruan tinggi). Umumnya, mereka datang dari keluarga menengah, dan banyak di antaranya mempunyai kedudukan sosial yang memadai. Kedua peneliti itu juga mencatat: Ada kecenderungan bahwa umur para teroris itu makin lama makin muda. Tapi harus dicatat: hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan kenyataan Indonesia. Yang merepotkan adalah bila nyawa para sandera tak dapat diselamatkan. Itu, misalnya, terjadi pada peristiwa September Hitam 1972. Waktu itu sekelompok gerilyawan Palestina menyekap sembilan atlet Israel, dan membunuh dua orang lainnya, pada Olimpiade Munich, Jerman Barat. Mereka menuntut agar Israel membebaskan 200 tahanan Palestina. Pemerintah Israel tak menggubris tuntutan itu. Pemerintah Jerman Barat akhirnya mempersilakan mereka keluar dengan pesawat yang mereka tuntut. Ketika tiba di bandar udara, aparat keamanan Jerman Barat melancarkan serangan mendadak. Disaksikan sekitar 500 juta penonton televisi di seluruh dunia, serangan yang diliput langsung oleh televisi itu berhasil: Lima gerilyawan terbunuh, tiga diringkus, tapi semua sandera serta seorang petugas keamanan ikut tewas. Akibatnya, citra pemerintah Jerman anjlok. Sebab, masyarakat ternyata cenderung menyalahkan sikap pemerintah Jerman yang tidak bisa menyelamatkan para sandera. Menyadari itu, pemerintah Jerman kemudian membentuk satuan antiteroris GSG-9 yang terkenal itu. Indonesia juga memiliki kesatuan antiteroris. Di Polri, namanya Gegana. TNI-AL memiliki Gorila, dan di TNI-AU ada Atbara. Yang paling dikenal mungkin Detasemen 81, yang terdiri dari pasukan Kopassandha. Pasukan inilah yang pada 1981 berhasil membebaskan pesawat Woyla serta penumpangnya dalam suatu operasi singkat dan efislen, yang mengangkat tinggi nama ABRI dan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini