Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Granat Di Cikini Sampai Bom...

Aksi teror di Indonesia bukan hal baru, sejak pemberontakan Madiun, peristiwa Cikini, DI/TII, kelompok Imran, sampai pemboman di BCA. (nas)

13 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Dari Granat Di Cikini Sampai Bom...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TEROR bukan hal baru di Indonesia. Catatan sejarah Indonesia banyak sekali diwarnai pelbagai taktik teror yang dilakukan berbagai kelompok dan gerakan. Di awal revolusi fisik, misalnya, berbagai laskar dan kelompok sering menteror lawannya dengan menculik atau membunuh mereka. Sewaktu Pemberontakan Madiun, 1948, PKI menteror masyarakat dengan secara massal membunuh banyak sekali kelompok agama, nasionalis, dan anggota ABRI - sebagian besar dengan mengeksekusi mereka di lapangan terbuka. Gerombolan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan juga menteror rakyat dengan menyerang dan membakar kampung-kampung, merampok, serta membunuh rakyat. Teror dengan motif politis kemudian juga berkembang di Indonesia. Salah satu peristiwa yang paling mencengkam adalah Peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957, pukul 20.55, lima buah granat dilemparkan ke arah Presiden Soekarno, yang malam itu menghadiri perayaan Lustrum III Yayasan Perguruan Tjikini di Jalan Cikini, Jakarta Pusat. Presiden Soekarno sendiri selamat, walau Ngationo, pengawal pribadi presiden, yang menamenginya, luka berat. Mayor Sudarto, ajudan presiden, juga terluka. Sembilan orang tewas, dan 104 luka-luka, banyak di antaranya murid sekolah yang herumur dibawah 15 tahun. Beberapa jam setelah percobaan pembunuhan itu, lepas tengah malam, lewat RRI Jakarta (yang tengah menyiarkan acara wayang kulit semalam suntuk), Presiden Soekarno berpidato "Ini adalah suara saya, suara Bung Karno. Saya telah diselamatkan dari teror, dari suatu malapetaka." Wakil Presiden Bung Hatta kemudian menuduh, "Teror dan pembunuhan, serta intimidasi berbagai rupa, adalah pembawaan fasisme, dan tidak sesuai dengan sistem demokrasi." Para pelaku utamanya segera tertangkap, antara lain Yusuf Ismail, Saadon bin Muhamad, Tasrif bin Husein, dan Tasim bin Abubakar. Dalam sidang pengadilan, keempat orang tersebut mengakui menjadi anggota "Gerakan Anti Komunis" atau "Gerakan Zulkifli Lubis". Letnan Kolonel Sukendro, asisten I KSAD, dalam suatu jumpa pers menjelaskan bahwa dalang Peristiwa Cikini adalah Kolonel Zulkifli Lubis, yang terungkap memberikan secara langsung granat yang dipakai untuk mencoba membunuh kepala negara itu. Keempat terdakwa itu kemudian dijatuhi hukuman mati. Usaha menggranat Presiden Soekarno terjadi lagi pada 7 Januari 1962 di Makassar. Peristlwa ini dikenal sebagai Peristiwa Cenderawasih karena terjadi di Jalan Cenderawasih. Granat yang meledak sekitar 150 meter di belakang mobil yang ditumpangi Bung Karno itu mengakibatkan tiga orang tewas dan 28 luka-luka. Yang dituduh mendalangi usaha pembunuhan ini: pemerintah Belanda - konon untuk menyetop kampanye pembebasan Irian Barat yang waktu itu dikomandokan Bung Karno. Masih pada 1962. Pada Mei tahun itu, dalam acara salat Idul Adha di halaman Istana Merdeka, teroris menusuk lagi. Waktu itu pukul 07.50. Presiden Soekarno dan sekitar 7.500 orang tengah bersalat, tatkala seorang peserta berteriak Allahuakbar dan menembakkan pistolnya ke arah Presiden, yang berdiri di deretan depan. Bung Karno sendiri selamat, tapi lima orang luka ringan, termasuk Ketua DPRGR Zainul Arifin dan Wakil Ketua MPRS Idham Chalid. Yang dituduh mendalangi peristiwa ini adalah Kartosuwirjo. Menjelang 1965, giliran PKI melancarkan teror melalui usaha aksi sepihak di berbagai daerah, termasuk membunuh alat negara. Puncak teror PKI terjadi pada pagi 1 Oktober melalui Peristiwa G-30-S, yang membunuh sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat dalam usaha kudeta mereka. Teror terjadi juga pada masa Orde Baru. Pada 1976, Timzar Zubil, yang bercita-cita menghidupkan kembali DI/TII, memerintahkan anak buahnya yang bernama Anwar Jeri melemparkan granat di tengah kerumunan manusia yang tengah menyaksikan MTQ di Pematangsiantar. Untunglah, granat tersebut tidak meledak. Pada Oktober 1976 Timzar meledakkan Rumah Sakit Immanuel Bukittinggi dan Masjid Nurul Iman di Padang. Desember 1976 merupakan operasi terakhir Timzar Zubil, yang menjabat asisten I Komando Wilayah Pertempuran Sum-Ut Komando Jihad. Ia meledakkan Hotel Apollo, sebuah klub malam di Jalan Bawean, Gereja Metodis, dan Bioskop Riang. Semuanya berlokasi di Medan. Ia ditangkap Januari 1977, diadili pada 1978, dan dijatuhi hukuman mati. Permohonan grasinya ditolak Presiden pada 1981. Namun, hingga kini ia belum dieksekusi. Menjelang Sidang Umum MPR 1978, menurut Pangkopkamtib Sudomo, berbagai aksi teror direncanakan dan dilakukan kelompok Abdul Qadir DJaelami, yang menyatakan dirinya penganut "Pola Perjuangan Revolusioner Islam". Di tengah sidang umum MPR itu, sebuah bom berukuran kecil meledak di saIah satu WC gedung MPR. Pada 27 'Agustus 1980 sebuah bom diledakkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sekitar dua pekan setelah Menteri Penerangan Ali Moertopo meninggalkan ruangan perawatan rumah sakit itu. Tidak ada korban dalam dua peristiwa ledakan tersebut. Setelah itu, ledakan bom yang lebih kuat mengguncangkan Masjid Istiqlal. Gerakan teror yang paling lama bertahan adalah kelompok Warman, yang bergerak dari 1978 sampai 1981 dan juga menamakan diri Komando Jihad. Yang mereka lakukan antara lain: pembunuhan Parmanto, Pembantu Rektor Universitas Negeri 11 Maret, Solo pembunuhan Hasan Bauq, mahasiswa IAIN di Yogyakarta perampokan uang gaji penggarongan toko emas di Jawa Barat dan kasus Rajapolah yang menewaskan dua anggota Polri. Warman, bekas anggota DI/TII Kartosuwirjo, kemudian tewas pada 23 Juli 1981 dalam suatu penggerebekan di Soreang, sekitar 17 km di selatan Bandung. Tahun 1981 diwarnai oleh teror kelompok Imran, yang menamakan diri mereka "Dewan Revolusi Islam Indonesia". Kelompok ini pada 11 Maret 1981 menyerang pos polisi Cicendo, Bandung, dan pada 28 Maret membajak pesawat terbang Garuda Woyla. Lima pembajaknya kemudian tewas dalam operasi pembebasan di lapangan terbang Don Muang, Bangkok. Imran kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kemudian menjalami eksekusi. Kelompok mana yang melakukan pengeboman di tiga tempat di Jakarta pekan lalu ? Belum jelas benar. Namun, beberapa sumber TEMPO mengatakan bahwa pengeboman itu ada kaitannya dengan Peristiwa Tanjung Priok. Namun, menurut Kapolda Metro Jaya Soedjoko, masih terlalu pagi untuk mengaitkan peristiwa peledakan itu dengan masalah politik. "Yang jelas, hal itu dilakukan orang-orang tertentu yang ingin mencelakakan banyak orang," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus