SELALU DI HATIKU
Sutradara: Hasmanan
Skenario: Arifin C. Noor & Hasmanan
Ide Cerita: Rudi Lukito
***
INI cerita seorang mahasiswi pintar dan cantik dan ketemu
pengusaha muda dan ganteng. Seperti kisah dalam dongeng-dongeng
lama, mereka saling jatuh cinta setelah bertemu mata dan saling
berkenalan. Tidak dari keluarga, bukan lantaran saingan, tidak
lantaran kesulitan hidup di kota Jakarta cinta mereka sempat
tersendat. Cinta merela lancar bagai air sungai yang
mengalirkan air ke hilir selepas hujan. Dan kalau dari kedua
pasangan sukses ini lahir bayi mungil yang segera jadi gadis
kecil yang cerdas dan tidak kurang manis, memang sudah harus
demikian -- kata sahibul hikayat.
Sang pemuda, Arif Budiman (Hendra Cipta) adalah pemilik
perusahaan periklanan. Kongsinya, Kus Subroto (Kusno
Sudjarwadi), adalah teman kerja yang baik. Dan perusahaan yang
bermula dengan modal warisan ayal Arif tentu saja berkembang
pesat, sehingga sang direktur tidak saja mendapatkan rumah mewah
setelah kawin tapi juga kantor baru bagi perusahaannya.
Nampaknya Lily Atmaja (Lenny Marlina) adalah puteri tunggal dari
seorang berada di Garut. Dan ambisinya untuk jadi ahli ilmu jiwa
tidak padam meski telah jadi ibu. Sebenarnya konflik bagi film
ini bisa muncul di sini. Ketika baru saja melahirkan, Lily sudah
merisaukan -- dengan air mata, bahkan -- perpisahannya dengan
Santi (Santi Sardi) jika ia harus kuliah. Dan ketika pada suatu
kali Arif risau, Kus Subroto tanpa dengan nasehat yang mendakwa
suami isteri itu sama-sama ambisius. Tapi di layar putih,
konflik yang bisa menarik ini sama sekali dilupakan oleh
sutradara Hasmanan.
Kus Subroto sebenarnya juga bisa jadi sumber konflik. Cara
Hasmanan menampilkan tokoh ini agak mencurigakan di awal film.
Saya menduga tokoh ini punya bakat licik, yang kemudian bisa
berkembang jadi tokoh curang dalam usaha bersama. Tapi makin
lama makin jadi orang baik saja Kus yang satu ini. Ada juga
konflik yang bisa ditumbuhkan dari fihak keluarga Lily Atmaja di
Garut, ketika sang ibu (Marlia Hardy) didesak pulang oleh
anaknya yang tidak suka terlalu memberatkan suami. Tapi ini pun
dibiarkan berlalu.
Sedikit Berlebihan
Walhasil, satu-satunya ketegangan dalam film ini muncul ketika
maut mulai menyeringai lewat penyakit tipus. Keluarga yang aman
damai dan penuh bahagia itu tiba-tiba berhadapan dengan
kemungkinan pahit. Dan hal itu tidak bisa dielakkan, meskipun
datangnya sangat lambat -- sebab justru di situlah saat-saat
kritis bagi tontonan ini. Ada pun tingkah laku Arif selepas
kematian Lily, seeara akal sehat memang bisa diperhitungkan.
Meskipun penggambarannya boleh dianggap sedikit berlebihan. Dan
jika Santi pada akhirnya memerankan tokoh penyadar dan pemberi
harapan bagi ayahnya yang pedih, dari semula bintang kecil
puteri Idris Sardi itu sudah dipersiapkan oleh Hasmanan.
Jadi film ini memang tidak mengandung kejutan. Tapi justru dalam
keadaannya yang dingin macam itu ia tidak kurang menarik.
Meskipun belum mencapai tingkat Rio Anakku (karya Hasmanan yang
mendapat hadiah di Festival Film Surabaya), tapi suasana yang
diinginkan si pembuatnya dicapai oleh film ini. Dari sebuah
cerita yang memang tidak dilengkapi dengan tanda seru, Hasmanan
berhasil menyelesaikan filmnya. Dengan bantuan para pemain,
kerja kamera Haji Syamsudin dan pemaduan gambar (editing) oleh
Yanis Badar, film yang skenarionya ditulis nleh Arifin dan
Hasmanan ini pantas menjadi tontonan yang menarik. Sepanjang
kita bersedia mengikuti keinginan sutradara untuk hanya
mempersoalkan konflik manusia dengan kematian -- sambil
menyisihkan konflik manusia dengan sesamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini