SETELAH mendekam dua hari di kantor, diselingi tidur beberapa jam di kursi kerjanya, Bambang Harymurti menyelesaikan tulisan panjang untuk rubrik SeIingan nomor ini. Kemudian, pagi itu, dia harus pergi mewawancarai seseorang untuk sebuah laporan llmu & Teknologi. Tentu disertai rasa lelah dan kantuk. Pengalaman seperti ini bukan hal baru di TEMPO. Maka, di dalam penerimaan reporter baru seleksi kesehatan dijadikan salah satu unsur penting. Pada seleksi penerimaan reporter tahun ini, misalnya, ada calon yang digugurkan karena keadaan fisiknya kurang memadai. Padahal, sebetulnya, sang calon cukup terampil dan sudah lulus tes yang dilakukan Lembaga Psikologi Terapan UI. Meski mungkin tak bisa digolongkan pekerjaan kasar, beban kerja di sini jelas menuntut stamina, di samping kepintaran dan keterampilan. Hal itu antara lam disebabkan sistem kerja dengan deadline yang ketat, agar majalah ini sampai di tangan Anda pada waktunya, dengan tuntutan kualitas yang terus meningkat. Maka, cukup sering laporan yang sudah dikerjakan terpaksa dibuang karena di bawah standar kualitas. Tapi tak jarang pula sebuah tulisan urung turun disebabkan alasan lain. Misalnya, karena pertimbangan keamanan. Itu boleh jadi untuk mengindahkan imbauan telepon pihak yang berwajib, atau sering juga karena kami mengimbau diri sendiri. Memang, ada kepentingan yang lebih besar, yang terasa harus lebih mendapat perhatian dibandingkan dengan sekadar profesionalisme. Namun, sulit dimungkiri pula bahwa hal itu akan mengecewakan para reporter - apalagi reporter pemula. Paling tidak, itu bisa membuat mereka ragu-ragu ketika menguber suatu peristiwa: Jangan-jangan akan ada imbauan. Padahal, bahan sudah dikumpulkan dari pelbagai penjuru, dan untuk deadline ada sumber yang harus ditongkrongi sampai malam. Di tengah suasana begitu, Reporter Agus Basri, Bambang Harymurti, dan Eko Yuswanto mesti berangkat ke Tanjung Priok, begitu menerima info tentang huru-hara besar bulan lalu. Belum tentu laporannya bisa ditulis, Eko yang lebih dulu tiba di sana pagi itu mesti menghadapi suasana yang belum seutuhnya aman. Ketika itu, tembakan-tembakan ke atas masih terdengar di beberapa tempat. Tak aneh kalau sikap pemerintah, lewat Jenderal Benny Moerdani, yang membebaskan peristiwa itu ditulis, seperti suntikan vaksin antiragu bagi para reporter. Malah seakan meniupkan semacam semangat. Maka, begitu terjadi ledakan bom di tiga tempat di Jakarta awal bulan ini, lebih dari 10 reporter berpencar mengubernya, dan di antaranya ada yang berangkat tanpa instruksi. Reporter Sri Indrayati, bekas perawat itu, menyeruak di antara pengawal bersenjata yang berjaga di Rumah Sakit Husada untuk bisa melaporkan keadaan korban ledakan. Akhmad Lookman - lulusan Jurusan Arsitektur UGM, wartawan TEMPO dari yogya yang kini di Jakarta - harus menerima pukulan petugas karena ingin membuat reportase yang lebih dalam di gedung BCA di Jalan Gajah Mada. Saking bersemangatnya, seorang reporter yang lain menangis sendiri begitu gagal mengejar sebuah sumber. Setelah itu, mereka pun bekerja lagi sampai dinihari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini