GUNTING Badan Sensor Film terasa lebih awas terhadap pornografi daripada terhadap sadisme. Masih sering lolos adegan tangan kutung, kepala menggelinding, mata ditusuk, tubuh dicincang hancur - baik dalam film impor maupun Indonesia. Bahkan dalam film yang ditawarkan sebagai film sejarah salah seorang wali, Sunan Kalijaga, yang masuk nominasi Festival Film Indonesia tahun ini, di samping adegan salat berjamaah, atau pelajaran mengaji dikampung, sadisme juga mencuat. Ketika sebuah desa dirampok, dalam film ini, kebengisan perampok dilukiskan dengan bagus lewat kamera. Seorang ibu diseret sementara bayimya yang jatuh dari gendongan ditikam oleh perampok. Orang-orang tua yang jatuh tersandung dan diinjak-injak kuda, atau orang yang terbakar dalam rumah. Dan, tak hanya di gedung bioskop. Bisa dibaca hampir tiap hari, di beberapa surat kabar Ibu Kota, seorang pemuda dibacok golok, gara-gara salah tegur. Seorang nenek-nenek dicekik mati hanya karena si cucu ditolak ketika meminta sedikit uang. Tapi itulah komoditi, barang dagangan. Seperti dikatakan oleh Kolonel (Pol.) Nainggolan, kepala Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda Metro Jaya, "Justru film yang banyak adegan sadistisnya, dan koran yang menyajikan pembunuhan-pembunuhan, digemari masyarakat." Tapi data kongkretnya agak sulit dicari. Ada catatan di BSF, yaitu hanya sekitar 7% adegan yang digunting dari film yang diperiksa merupakan adegan kekerasan penuh darah. Terbanyak 67,3% digunting karena adegan porno. Data itu, memang, tak menggambarkan berapa banyak sebenarnya adegan sadistis dalam film yang lolos sensor. Tapi, kecenderungan film nasional kini, apalagi film silat Mandarin, untuk hanya menyuguhkan adegan perkelahian sementara cerita boleh dilupakan, memang bisa memojokkan pihak BSF. Sebab, bila harus dipotong, bisa-bisa 50% adegan akan lenyap. Maka, kata Mulyarso, ketua Kelompok Senor Film Nasional, "Kalau corak film itu memang sadistis, warna dan coraknya tidak akan hilang meski sudah kami lakukan pemotongan." Contohnya, Jaka Sembung film silat nasional yang dibintangi Barry Prima dan Eva Arnaz. Hampir separuh adegan film ini adalah adegan berkelahi. Maka, masih bisa dilihat gambar-gambar darah menyembur, atau kepala tertebas parang. Film impor? Jangan ditanya, terutama film Hong Kong. Misalnya All the Professionals. Lebih dari Jaka Sembung, film ini memang hanya terdiri dari perkelahian - dan sangat berbau darah. Bukan cuma golok memporakperandakan isi perut, tapi juga seterikaan panas yang dihimpitkan ke wajah orang, luput darl sensor. Jadi pertanyaan mengapa BSF tak menolak sama sekali film-film itu. Lebih merepotkan adalah berita-berita di surat kabar. Bila ternyata yang direportasekan wartawan adalah hasil rekonstruksi dari sejumlah wawancara untuk sebuah berita pembunuhan, adakah itu berita sadistis? Menurut Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno, sadisme adalah "Kekejaman, ataupun sikap kekerasan, yang disengaja untuk menimbulkan semacam kepuasan," katanya. "Pokoknya, kekejaman plus kepuasan." Atau menurut rumusan umum pihak BSF, yang disebut adegan sadistis antara lain yang menggambarkan teknik kekerasan yang mungkin ditiru di Indonesia. Pelaksanaan hukuman gantung yang mendetail hingga memberi kesan penyiksaan. Membunuh dalam jarak pendek, yang digambarkan dengan kamera jarak dekat, sangat ditabukan. Batasan itu mungkin menggambarkan dengan pas. Tapi bagaimana menggunakan batas tersebut untuk menyensor film adalah soal lain. Bagi Thomas Sugito, ketua pelaksana BSF, definisi yang tegas tentang sadisme (juga pornografi) memang bisa sangat menolong. Tapi subyektivitas para anggota BSF, katanya, tentu bisa menghasilkan potongan sensor berbeda-beda. Apalagi, ada misi BSF yang lain, yakni bila sensor terlalu ketat gunting sana gunting sini, "Akan membunuh kesempatan untuk memperkenalkan masyarakat pada kenyataan yang dapat membuatnya lebih dewasa." Kedengarannya, misi BSF tersebut enak di telinga. Soalnya yakni, bagaimana di bioskop-bioskop hubungan film dan masyarakat terjadi. Sudah bukan rahasia lagi, bila predikat batas usia yang ditentukan BSF untuk sebuah film hampir tak ada artinya. Anak-anak di bawah umur bisa ditemui setiap saat di gedung-gedung bioskop yang memutar film untuk 17 tahun ke atas. Padahal, diakui oleh Kolonel Nainggolan, kepala Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda Metro Jaya itu, "Adegan sadistis dalam film gampang ditiru oleh penonton yang belum cukup umur." Lagi-lagi, ini cuma pernyataan kurang bukti. Penelltian yang mencoba mencari tahu hubungan antara tontonan yang menyuguhkan adegan sadistis dan kecenderungan orang untuk melakukan perbuatan sadistis belum dilakukan. Tapi haruskah menunggu penelitian? Di Amerika Serikat, 1972, pernah diadakan penelitian tentang pengaruh adegan kekerasan dari film-film televisi terhadap masyarakat. Hasilnya, ada pengaruh positif: makin sering orang, terutama anak-anak, menonton film penuh adegan kekerasan, mereka makin agresif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini