MERIEM Bellina membalikkan badannya yang telanjang, dan menelungkup. Seorang pria kemudian menjatuhkan setumpuk uang puluhan ribu ke atas bokongnya. Close up: pantat dan tumpukan uang di atasnya. Jangan harap melihat adegan di atas, dalam film Cinta di Balik Noda, yang menghasilkan piala Citra untuk pemeran wanita terbaik buat Meriem. Cut. Gunting BSF (Badan Sensor Film) dengan cekatan telah lebih dulu memotongnya. Toh banyak yang beranggapan, film yang telah lolos sensor itu masih cukup banyak memperagakan tubuh terbuka Meriem. Meriem Bellina, 19, dengan bersemangat membela diri. "Saya pribadi tidak setuju bila ada adegan hot yang ditampilkan asal saja, hanya menonjolkan segi merangsangnya. Tapi kalau itu memang realistis, kenapa tidak? Malah itu bagus," katanya. Bagaimana tentang akibat negatif yang timbul di masyarakat karena sajian adegan yang panas itu? "Itu salah mereka sendiri, mengapa bisa terpengaruh. Menurut saya, baik atau buruk pengaruh itu tergantung kepribadian dan inteligensi mereka," ujarnya. Meriern bisa saja berpendapat seperti itu. Tapi agaknya lebih banyak yang menuding film Indonesia kini penuh adegan pornografis, dan menganggap BSF bertanggung jawab atas akibat negati yang ditimbulkannya. Tapi pihak BSF menolak. "Dalam melakukan penyensoran, kami selalu berpegang kepada kriteria yang sudah ada. Bila kami terlalu ketat, itu akan membunuh kesempatan untuk memperkenalkan masyarakat pada kenyataan-kenyataan yang dapat membuatnya lebih dewasa," kata ketua pelaksana BSF Thomas, Sugito. Selama semester pertama 1984/1985, BSF telah menyensor 60 film nasional. Sebanyak 44 harus dipotong, 67,3 persen lantaran menggambarkan adegan porno, dan 7 persen karena adegan kekerasan. BSF, yang juga menyensor kaset video, menurut Kadiono, sekretaris BSF, akan menolak film atau kaset yang adegan seksnya lebih dari 51 persen. Sedang yang dipotong, antara lain: adegan pria atau wanita telanjang bulat, close up paha, buah dada, pantat, dan pusar, ciuman dengan lidah, adegan persetubuhan, secara terbuka atau terselubung, adegan onani, lesbian, dan homoseks. Visualisasi persetubuhan, misalnya kaki saling tindih atau mobil yang bergoyang-goyang, juga diguntimg. Toh sering film yang telah diloloskan BSF tak bisa diputar di daerah. Bapfida (Badan Pembinaan Perfilman Daerah) sering melarang pemutaran sejumlah film. Film Midah Gadis Buronan dan Kawin Kontrak, misalnya, dilarang diputar di Yogyakarta. Pekan lalu Bapfida Kalimantan Timur menolak pemutaran film Chained Heat dan Pengantin Pantai Biru yang dianggap porno. "Kami tidak ingin membawa dampak negatif di daerah," kata Djekson Rivai, ketua Bapfida Kal-Tim. Bahkan poster film bisa mengalami nasib sama. Pekan lalu Bapfida Yogyakarta menurunkan poster film Gadis Simpanan yang berukuran 4 X 8 meter dari bioskop Permata. Poster yang menggambarkan Yatti Octavia, dengan paha terbuka, sedang dicium tiga pria itu, menurut ketua Bapfida Yogyakarta Soedaryanto, "sangat merangsang berahi". Semua itu menunjukkan, ada perbedaan kriteria mengenai apa yang dianggap pornografis. Pornografi, menurut Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Sukarno, adalah, "Gambar atau tulisan yang disajikan media massa secara berlebihan, yang menurut orang dewasa dan normal menimbulkan rangsangan seks." Sedang menurut Hakim Agung Bismar Siregar, "Setiap orang bisa merasakan bila melihat atau mendengar sesuatu, lalu mendatangkan ransangan yang macam-macam, itu bisa dikatakan pornografis." Lalu apakah ukuran "berlebihan"? Di manakah batas "rangsangan yang macam-macam"? Tidak adanya kriteria yang jelas dan disepakati bersama bukankah akan bisa menimbulkan kebingungan pada pornografi yang diganyang? Persoalan awal inilah yang agaknya perlu dibereskan dulu, bila ingin kampanye ini bisa jelas sasarannya. Yang lebih sulit dipecahkan: pornografi konon tumbuh subur karena adanya selera rendah masyarakat. Bagaimana cara mengangkatnya menjadi selera tinggi? Yang menjadi masalah lain: pemerintah mungkin bisa mengawasi pornografi dalam media massa (cetak dan elektronik) yang bisa dijangkau. Misalnya yang dimuat dalam koran, majalah, film, dan kaset video. Tapi bagaimana dengan yang tidak terjangkau, misalnya kaset video gelap? Operasl Dian, yang dilancarkan polisi September lalu, menunjukkan bagaimana luas peredaran kaset video gelap dan porno. Merajalelanya kaset video porno kini bahkan dianggap lebih berbahaya karena dampak negatifnya. Di Banda Aceh, pada Maret dan April lalu terjadi enam kasus perkosaan yan dilakukan pelajar SMP terhadap anak kecil berumur 3-6 tahun. Para pelakunya mengaku tak bisa mengendalikan nafsu setelah melihat film video porno. Sulitnya, video porno umumnya diedarkan dari pintu ke pintu oleh pengedar keliling yang tak memberi alamat tempat. Lalu bagaimana cara menyetopnya? Tidak ada jaminan bahwa operasi atau razia akan mampu memberangusnya. Hingga mungkin sekali pendapat Kolonel (Pol.) D.N. Nainggolan, kepala Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda Metro Jaya, yang lebih masuk akal. "Semua masalah harus dikembalikan kepada lingkungan terdekat, yakni keluarga, yang berperan penting dalam pembentukan watak manusia. Orangtualah yang menjadi kontrol utama, dan bisa membentengi keluarganya dari pengaruh negatif," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini