KETIKA Eric Samola, manajer paling atas dalam TEMPO, menyebut para wartawan sebagai "mesin" perusahaan pers, banyak yang terheran-heran. Robot? Tentu saja bukan. Maksudnya: para wartawan adalah faktor produksi yang sentral. Karena itu harus selalu dalam keadaan prima. Itu sebabnya, sejak tiga tahun ini, penerimaan calon reporter terpaksa ditingkatkan persyaratannya. Juga latihannya - suatu investasi tersendiri, tentu. Ambil saja para reporter yang sejak dua bulan lalu resmi jadi wartawan TEMPO. Mereka paling rendah berpendidikan sarjana muda. Setelah lulus seleksi awal (a.l. psikologi dan kesehatan). mereka masih harus menjalani masa pendidikan selama sembilan bulan. Selama itu mereka diberi latihan dan dievaluasi oleh suatu tim pendidikan, lengkap dengan "buku teks" kewartawanan yang disusun oleh TEMPO sendiri secara khusus. Hasil laporan mereka dinilai setiap 90 hari, dari segi kelengkapan, kejelasan, deskripsi, dan akurasi. Di samping keterampilan menulis itu, oleh kepala biro Jakarta, mereka dinilai dari segi produktivitas, keberhasilan menembus sumber berita, kemampuan team work dan, ini yang mwnegangkan, kemampuan memenuhi deadline, "batas waktu". Kalau seorang reporter selama masa percobaan dapat mengumpulkan nilai di atas standar minimal, maka ia baru bisa diterima sebagai reporter (karyawan) tetap. Di awal dan akhir masa pendidikan, dari 12 calon reporter yang diterima, ada beberapa yang terpaksa pergi, a.l. karena pindah bidang pekerjaan yang lebih cocok. Demikianlah, pada Januari lalu, setelah berhasil "lolos" (demikian istilah mereka) dari "tim skrininy", ada tujuh reporter yang namanya dicantumkan dalam daftar Sidang Redaksi, seperti bisa dibaca dalam TEMPO nomor ini. Yang termuda, Zaim Uchrowi, 23, adalah insinyur peternakan dari IPB Adyan Soeseno, 6, adalah dokter gigi lulusan UI, Praginanto, yang barusan menikah, sarlana antropologi UI Yulia S.Madjid, 26, Yang pernah tiga bulan masuk Deplu, adalah sarjana ilmu sosial dan politik dari Unpad. James R. Lapian, 26, dan Bunga Surawijaya, 24, kini tengah menyelesaikan skripsinya di FIS UI. Akan segera menyusul, Yusroni H. Dewanto, 24, sarjana peternakan dari IPB. Sedang Rini Asmara, 29, lulusan politeknik arsitektur ITB, yang gesit dalam menembus sumber, kini sedang dilatih di bagian Riset Foto. Pendidikan dan arah mereka berbeda-beda, tapi dalam hal kerja - dan lelucon - mereka bisa "satu asas" benar-benar. Seperti kata Yulia, "bekerja di sini menyenangkan -- hubungan tidak kaku." Bagi "orang lama", yang menyenangkan adalah ini: para wartawan yang, baru ini tak takut, dan merasa bisa membina karier di dunia pers, dunia swasta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini