Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Senayan menunggu pak dar

Keppres no.4/1984, seluruh kompleks gelora senayan (tanah yang diperuntukkan asian games '62), dinyatakan sebagai tanah negara. (kt)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK orang yang dag dig dug di sekitar kompleks Senayan, Jakarta, hari-hari ini. Penyebabnya: Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun t984 tanggal 13 Januari 1984, yang diumumkan pekan lalu. Isi terpenting keppres itu: tanah yang diperuntukkan penyelenggaraan Aslan Games IV tahun 1962 di Jakarta dan bangunan yang didirikan di atasnya, baik di dalam maupun di luar kompleks Gelanggang Olah Raga (Gelora) Senayan, serta hasil pembangunan atau pembangunannya, dinyatakan sebagai milik negara RI Penguasaan, pengelolaan, dan administrasi tanah dan bangunan tadi dilakukan oleh Sekretariat Negara. Selain itu ditetapkan juga pembentukan Badan Pengelola Gelora Senayan yang diketuai menteri/sekretaris negara, dan bertanggung jawab kepada presiden. Guna pengelolaan sehari-hari, dibentuk Direksi Pelaksana Pengelolaan Gelora Senayan. Berdasarkan Keppres Nomor 21/M Tahun 1984, ditunjuk Brigadir Jenderal (pur) Suhartono scbagai ketua direksi pelaksana. Yang menjadi tanda tanya: Apakah Keppres Nomor 4 tadi mencakup juga tanah yang kini di atasnya berdiri beberapa bangurian, seperti kompleks Ratu Plaza, Panin Bank, dan Hotel Hilton? Mensesneg Sudharmono tatkala ditanya wartawan pekan lalu berulang kali mengelak. "Sedang diinventarisasi," katanya. Menurut catatan, luas kompleks olah raga Senayan pada 1962 sekitar 350 hektar, mencakup sampai Taman Ria Remaja, DPR/MPR, Patal Senayan, dan Departemen Kehutanan. Dengan erbagai alasan, sebagian tanah itu kemudian dihibahkan pada pemerintah atau dijual. "Berdasarkan hasil penukuran, pada 1982, sisa jumlah tanah yang dikelola oleh yayasan kurang lebih 220 hektar," kata Gatot Suwagio, direktur Yayasan Gelanggang Olah Raga Senayan yang klni menunggu serah terima jabatan dengan direktur pelaksana yang baru. Menurut Gatot, penjualan tanah Senayan dimaksudkan untuk menambah dana untuk biaya perawatan kompleks. Apakah tanah yang telah dijual itu terkena Keppres Nomor 4 itu? "Itu semua tergantung kepada badan pengelola yang baru, apakah akan ditinjau atau tidak," sahut Gatot. Belum jelas berapa luas tanah kompleks Senayan yang dijual kepada pihak swasta. Yang tercatat antara lain pada 1970 dijual 2,2 hektar tanah yang terletak di pojok selatan kepada PT Amana Jaya yang bermaksud membangun Hotel Di amond. Belakangan, tanah ini dimiliki Panin Bank. Tahun berikutnya, 1971, dijual sekitar 1 hektar kepada PT Indobuildco seharga AS$ 1,5 juta - kini di atasnya berdiri Hotel Hilton. Kasus penjualan yang terakhir ini agak aneh. Semula di atas tanah ini akan didirikan Pusat Kerajinan dan Industri Rakyat oleh Yakindra. Yayasan yang dipimpin Ny. Azis Saleh ini belum sempat menyelesaikan proyek tersebut, karena pecahnya peristiwa G-30-S/PKI. Kabarnya, pada 1970 Ny. Azis Saleh menuntut haknya yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan Presiden Soekarno. Gubernur Jakarta Ali Sadikin waktu itu menyelesaikan sengketa Yakindra dengan Yayasan Gelora Senayan dengan menetapkan pembagian ganti rugi: Yakindra 30%, Gelora Senayan 45%, dan KONI 25%. Tanah itu kemudian dijual kepada PT Indobuildco yang dikira salah satu anak perusahaan Pertamina. Setelah krisis Pertamina 1974, baru diketahui bahwa perusahaan itu ternyata milik pribadi Ibnu Sutowo, Syarnubi Said, dan H.M. Jusuf. Ibnu kemudian menjualnya kepada Hotel Hilton. Sedang tanah yang kini ditempati Ratu Plaza, seluas 1,7 hektar, dijual pada 1973 dengan harga Rp 483 juta. Para pemilik atau pengelola bangunan swasta di atas tanah yang dipersoalkan ternyata tak cemas menghadapi Keppres Nomor 4 itu. "Belum tentu kompleks Ratu Plaza terkena peraturan baru itu. Belum jelas batas-batas mana yang terkena," kata Ibrahim Alsegaf, direktur PT Ratu Sayang International, perusahaan yang memiliki kompleks Ratu Plaza. Diakuinya, para penyewa di bangunannya pada resah karena turunnya keppres itu. Menurut Ibrahim, soal status tanah itu bukan masalah. "Soalnya, kami punya sertifikat dan prosedur pemilikan yang benar," ujarnya. Ia menolak mengungkapkan dari siapa perusahaannya membeli tanah. "Yang penting, surat-surat kami lengkap. Bahkan pembukaan kompleks mi dulu dilakukan gubernur DKI Jaya," katanya. Kalaupun kompleks Ratu Plaza terkena Keppres Nomor 4, dia yakin pemerintah akan menyelesaikannya dengan baik. Direktur pelaksana pengelola gedung Panin Bank, H. Rostian Sjamsudin, juga menolak mengomentari turunnya Keppres Nomor 4. "Penjabaran Keppres itu belum jelas benar belum ada penjelasannya," katanya pekan lalu. Sebuah sumber TEMPO mengungkapkan, yang terkena Keppres 4 itu adalah seluruh tanah yang dipcruntukkan Asian Games 1962. "Artinya termasuk juga gedung DPR/MPR, Departemen Kehutanan, Hotel Hilton, dan Ratu Plaza," kata sumber tadi. Menurut rencana, daerah itu akan dikhususkan untuk bangunan demi kepentingan umum, termasuk perkantoran dan rekreasi. Bagi pemakainya nanti akan berlaku semacam HGB (hak guna bangunan) dengan jangka waktu 20 tahun. Rencana yang lebih konkret? "Tunggu saja penjelasan Pak Dharmono," kata sumber itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus