Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mengapa wanita simpanan

Emansipasi wanita mencatat banyak kemajuan ada sisi lain yang getir yaitu, kebebasan seks dan istri simpanan. pol tempo tentang wanita simpanan dan penyelewengan. berbagai kisah wanita simpanan.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH mengecap rasa manis dari kebebasan serta mendapat peluang lebih besar dalam pendidikan, berhasilkah kaum wanita mengangkat tingkat hidup dan menegakkan harkatnya? Jawab yang tersedia adalah ya dan tidak. Perjuangan R.A. Kartini untuk kebebasan dan persamaan hak belumlah cukup untuk mengantarkan kaum perempuan ke pintu gerbang kesejahteraan lahir dan batin. Tapi sebelum membahasnya lebih jauh, baiklah kita berpaling ke masa lampau, ketika Kartini menyuarakan protesnya terhadap budaya yang menggelapkan dunia kaumnya selama berabad-abad. Pada 27 Maret 1902, Kartini melayangkan sepucuk surat ke negeri Belanda, satu dari 150 suratnya kepada Nyonya Abendanon yang kemudian hari menjadi surat-surat bersejarah. Dalam surat itu, ia menulis, "Apakah bukan bohong namanya, bila istri -istri seorang pria tak punya pilihan lain, kecuali berdamai dan rukun sesama mereka?" Di surat itu, Kartini mempermasalahkan poligami di lingkungan pangeran-pangeran Jawa. Konteks sebagian besar suratnya memang mencerminkan kegetiran hidup wanita Jawa yang dipingit dan dikurung di balik tembok-tembok keraton. Tapi pandangan Kartini yang luas tidak berhenti sekitar tembok dan kegetiran. Ia mempertanyakan hak dan kebebasan wanita dalam konteks yang jauh lebih luas. Misalnya, tentang keseimbangan hubungan antara pria dan wanita, yang bahkan sampai kini masih relevan untuk dipertanyakan. Juga masih layak dikaji apakah pria masa kini telah mengubah pandangan mereka yang "klasik" tentang wanita. Benarkah batas-batas keinginan pria masa kini tidak lagi sama dengan pangeran-pangeran Jawa dulu, yang, tidak bisa tidak, harus berpoligami? Kartini menulis, "Suatu ketika saya membaca pendapat Prof. Max Muller yang menyatakan bahwa poligami pada masyarakat Timur adalah sebuah kebajikan, sebuah karunia bagi wanita yang tidak bisa hidup tanpa perlindungan suami...." Dan Kartini marah. "Mereka ingin membohongi kita, bahwa bagi wanita tidak kawin itu bukan hanya aib, tapi juga sebuah kesalahan besar. Berulang-ulang mereka katakan itu kepada kita. O, mereka melihat wanita yang memilih untuk tidak kawin dengan pandangan sangat menghina." Selanjutnya, Raden Ajeng yang sangat halus tutur katanya itu menggoreskan gagasan yang menyentak. "Untuk bebas, kawin dulu, lalu cerai ...." Tapi Kartini segera surut ketika bermuka-muka dengan realitas. "Bila wanita bisa membeli kebebasannya," demikian ia menulis, "mereka harus membayar mahal, sangat mahal. Mereka pasti akan menghadapi kenestapaan." Dan di akhir suratnya, putri Jawa ini mengguratkan pertanyaan retoris yang terdengar seperti menembus zaman. "Bisakah sesungguhnya kita meributkan persamaan hak bila, pada masyarakat Barat yang sudah maju, wanita masih disejajarkan dengan anak-anak dan orang tolol?" Kini -- hampir seratus tahun kemudian soal kebebasan dan persamaan hak tidak lagi dimasalahkan kendati wanita Barat, yang menjadi tolok ukur bagi Kartini, secara umum tidak bisa dikatakan sejahtera dan bahagia. Memang, berbagai impian ada dalam jangkauan wanita Barat, terutama mereka yang berbakat dan berpendidikan cukup. Uang, karier, anak-anak yang sehat dan manis adalah hak mereka. Namun, untuk jasa yang sama yang mereka berikan, para wanita itu masih dibayar lebih rendah daripada pria. Untuk jenjang karier yang sama, mereka harus berjuang lebih keras daripada pria. Dan untuk membesarkan anak-anak yang sehat dan manis, wanita dituntut untuk sepenuhnya bertanggung jawab. Sementara itu, para suami berhak mencurahkan seluruh kemampuannya demi meraih sukses. Dengan menyandang berbagai "ketidakadilan" itu, si wanita masih harus menghadapi ancaman bahwa sewaktu-waktu suaminya bisa saja direbut wanita lain. Entah suami itu digondol sekretarisnya, entah digaet mitra bisnisnya, entah pula oleh wanita lajang, yang pasti lebih segan dan menarik karena mereka tidak memikul beban tambahan yang bernama rutinitas rumah tangga. Dalam tatanan masyarakat yang aturan mainnya selama ribuan tahun difatwakan oleh kaum pria, singkatnya dalam establishment yang mutlak dibangun oleh laki-laki, para wanita tetaplah warga kelas dua. Memang, menjelang tahun 2000, para wanita telah mencatat banyak kemajuan, baik di Timur maupun di Barat. Di beberapa negara maju, kaum wanita bahkan akan menembus langit-langit kaca -- suatu rintangan tak nyata yang selama ini menghambat kaum lemah itu untuk mencapai posisi top -- baik dalam perusahaan, lembaga tinggi negara, maupun jabatan menentukan lainnya. Sebagai perbandingan, di Jepang yang masyarakatnya mutlak didominasi oleh pria, kini hampir 50% wanitanya bekerja di luar rumah. Ini menurut pantauan majalah Newsweek (edisi 12 oktober 1987). Dan sesudah seorang geisha bernama Mitsuko Nakanishi pertengahan tahun silam tampil di layar televisi untuk menggugat PM Sousuke Uno -- gugatan ini sungguh menggemparkan dan membawa Uno ke kejatuhannya -- maka dunia segera mengetahui bahwa kaum wanita di Negara Sakura itu tengah melancarkan revolusi diam-diam. Revolusi yang tanpa gembar-gembor dan tidak digerakkan dari atas, tidak elitis. Dengan revolusi ini, sepuluh tahun ke depan, corak masyarakat Jepang agaknya akan lain dari sekarang. Di AS, yang wanitanya terkenal mandiri, 67 persen kaum istri dan 79 persen wanita lajang juga bekerja. Bahkan jumlah wanita yang membuka usaha sendiri, ternyata, dua kali lebih banyak daripada pria. Di Kanada, sepertiga dari usaha wiraswasta dimiliki oleh wanita. Di Prancis, seperlimanya. Di Inggris, jumlah wanita yang berwiraswasta ada tiga kali lebih banyak daripada pria (kutipan dari buku Megatrends 2000, karya John Naisbitt dan Patricia Aburdene). Angka-angka itu jelas berbicara tentang kisah sukses emansipasi wanita. Tapi kisah sukses belum tentu kisah bahagia. Bagi wanita, sukses dan bahagia lebih sering tidak sejalan. Malah keduanya acap bertentangan secara diametral. Jauh di lubuk hati wanita tangguh yang siap menyongsong tahun 2000 itu, riuh berkecamuk badai yang tak pernah reda. Badai prasaan yang tidak pernah diacuhkan kaum pria itulah yang menjadi bahan penelitian antropolog sejarawan Amerika, Shere Hite, selama 30 tahun. Akhir 1987 lalu, hasil studi itu diterbitkan dengan judul Women and Love, a Cultural Revolution in Progress. Buku ini merupakan bagian ketiga dari The Hite Report. Bagian pertama dan kedua masing-masing diterbitkan tahun 1976 dan 1981. Dalam Women and Love, Hite menyertakan surat-surat -- dalam bentuk esei -- yang ditulis 4.500 wanita dari berbagai budaya etnik. Di situ mereka mengisahkan pengalaman mereka. Mereka mengutarakan pandangan mereka tentang cinta, seks perkawinan, dan hampir semua aspek kehidupan. Penelitian yang menembus batas-batas budaya ini mengukuhkan pendapat Hite, tentang hampir semua perasaan mendasar pada wanita. Dalam salah satu bagian Women and Love itu Hite menulis, "Pria hidup dalam kebudayaan yang mengandung ideologi laki-laki." Inilah, kata Hite, kebudayaan semua orang yang membentuk pendapat umum, dari moral sampai ke pandangan sepele yang sering dilontarkan di pinggir jalan. Wanita, sementara itu, hidup dalam dua kebudayaan. "Yang satu kebudayaan dengan ideologi laki-laki, dan yang lain dunia pikiran wanita yang memiliki ukurannya sendiri," ujar Hite. Ini sebabnya mengapa wanita terguncang di antara dua bingkai pikiran, yang masing-masing punya otoritasnya sendiri. Dalam bingkai yang mengikuti ideologi lelaki, wanita harus menyesuaikan diri dengan citra stereotip yang sudah sangat kita kenal. Wanita diharapkan menjadi pengasuh, pendamping pria, simbol kasih sayang, kesucian, dan kelembutan -- yang totalitasnya merupakan imbangan untuk kejantanan pria. Nah, ideologi lelaki yang setua sejarah umat manusia itu, menurut Hite, berawal pada tradisi kepahlawanan yang didasar pemujaan pria, atau male chauvinism. Pada ideologi ini, wanita mendapat peran yang subordinatif. "Hampir seluruh catatan sejarah manusia di semua kebudayaan yang kita kenal mendudukkan wanita pada peran kedua ini," tulis Hite. Bingkai kedua dalam kehidupan wanita adalah bingkai yang tidak nyata. Berbagai studi wanita berusaha keras membuat bingkai ini menjadi jelas. The Hite Report salah satunya. "Hanya wanita yang bisa menjelaskan kerangka itu," kata pakar yang tekun ini. Dan ikhtiar ke arah itu bukan cuma akan membawa perubahan besar di kalangan wanita sendiri. "Pandangan baru tentang semua jenis hubungan yang digariskan wanita kelak akan membalikkan semua pandangan yang berlaku sampai kini," kata Hite tandas. Dan ia berpendaat, wanita harus ikut merancang kembali semua pandangan baru yang kelak merupakan sendi-sendi bagi adanya tatanan baru. Tapi pembentukan pandangan wanita tentang wanita itu terutama harus menghadapi sebuah persoalan pelik karena adanya pembedaan pria dan wanita yang didasarkan pada perbedaan kondisi seksual. Perbedaan yang disebutkan sebagai alami inilah yang digunakan pria untuk membenarkan peran ubordinatif wanita. Dr. Saparinah Sadli, guru besar psikologi Universitas Indonesia, membahas soal ini dalam salah satu bagian pidato ilmiahnya di Dies Natalis UI, tahun 1988. Dalam naskah pidato yang berjudul Perempuan, Dimensi Manusia dalam Proses Perubahan Sosial itu, Saparinah juga menampilkan pendapat yang sejajar dengan gagasan Hite. "Perilaku perempuan seringkali dikaitkan dengan aspek jasmaniahnya, yang secara populer seringkali ditafsirkan sebagai kodrat wanita," katanya. Dan secara sistematis, kata Saparinah, penelitian demi penelitian membenarkan adanya kaitan antara perilaku wanita dan kondisi fisik itu. Namun, Saparinah tidak tertegun pada dalih kodrat wanita, yang selalu ditunjang oleh seperangkat ideologi pria itu. Pakar ini berpendapat, semua pandangan yang mencerminkan kondisi masyarakat patriarkhal itu tidak akan dapat bertahan dan sebaiknya tidak dipertahankan. Perubahan zaman menunjukkan, tidak mungkin menetapkan peran wanita hanya dari mempertimbangkan aspek biologis saja. "Paling tidak terdapat empat determinan yang mempengaruhi perilaku perempuan yakni biologi, sosialisasi, kepribadian, dan kesempatan partisipasi sosial," kata Saparinah. Namun, ia mengakui, hingga kini dasar pengertian yang bisa menjelaskan variasi perilaku wanita dan perbedaannya secara biopsikologis dengan pria masih terbatas. Maka, sementara ini corak perubahan peran wanita, menurut Saparinah, ditentukan, "Selain oleh perempuan itu sendiri, juga oleh kaum lelaki yang responsif terhadap nilai-nilai sosial budaya yang sedang berubah." Itu tentu kalau pria terpanggil untuk berpartisipasi. Tapi kerja sama pria antara dan wanita dalam membentuk pola perubahan peran wanita -- baik sosial maupun biopsikologis -- ternyata tidak mudah. Pria menjadi konservatif, dan kebanyakan tidak mau mengubah citranya tentang wanita. Dan perilaku mereka, dalam banyak hal, bertahan habis-habisan pada ideologi kaum lelaki. Sebuah diskusi tentang peran wanita yang berlangsung di Balai Erasmus, Jakarta, dua pekan lalu, menunjukkan gejala ini. Pada forum yang diselenggarakan majalah Femina dan Kelompok Studi Wanita UI itu, hampir semua pria yang dimintai pendapatnya memperagakan ideologi pria. Dengan ekspresi, yang disebutkan Shere Hite, khas dan universal: cemooh dalam seloroh. "Bila wanita bekerja, yang untung bukan suami, tapi suami lain," ujar seorang pembicara pria. Sebenarnya, tidak jelas ke mana arah makna "suami lain" itu. Konotasinya bisa suami yang lain, atau, suami orang lain. Namun, sebuah "vonis" telah tersirat dengan nyata, bahwa di mata pria Indonesia, kerja di luar rumah bagi wanita bisa berbuntut pada penyelewengan seks. Pandangan stereotip seperti ini tegas-tegas menunjukkan bagaimana tebalnya ideologi pria yang mengendap dalam masyarakat kita. Dan ideologi itu tanpa rikuh dikemukakan oleh seorang tokoh terkemuka, di forum terbuka pula. Betapapun tebalnya ideologi pria itu, toh sekali waktu kelak ia akan berbenturan dengan peran wanita yang semakin berakar dalam masyarakat. Dan masalah seks, seperti tercermin dalam perdebatan di Balai Erasmus itu, sangat mungkin menjadi titik sentral perbenturan itu. Segala aspek perilaku seks wanita belakangan ini memang menjadi isu yang ramai dibicarakan. Berbagai teori tentang perilaku seks kaum hawa kemudian dilemparkan ke tengah masyarakat kita. Ada yang percaya perilaku seks wanita memang sedang mengalami perubahan. Tapi ada juga yang melihatnya agak lain. Menurut pandangan yang satu ini, bila dikaitkan dengan masalah wanita, seks malah bisa menjadi simbol kemandirian. Benarkah? Menurut pakar sosiologi terkemuka, Dr. Mely G. Tan, perubahan perilaku seks harus dilihat dari konteks semakin besarnya kesempatan wanita untuk menentukan pilihan, dalam segala hal. Perilaku seks seakan mencerminkan semakin mandirinya wanita kita. "Inilah yang sering mendapat penafsiran salah," kata Mely. Banyak wanita menyangka, kebebasan seks segera mencuatkan kemandirian mereka. Padahal, keduanya tidak sederajat untuk diidentikkan. "Itu namanya kemandirian palsu," tutur Saparinah Sadli. Terutama, katanya, bila seorang wanita yang sebenarnya tidak mandiri dalam banyak hal justru mengambil kebebasan seks sebagai simbol kemandirian. Pada mulanya memang bisa terasa sebagai ekspresi kemandirian. Namun, pada akhirnya terbukti, kemandirian yang rapuh itu tidak bisa bertahan. Si wanita, misalnya, tetap saja membutuhkan rasa aman, suatu jaminan, atau cenderung bergantung pada orang lain. Kemandirian semu itu bisa menimbulkan kesulitan karena wanita yang menganut paham kebebasan seks harus menghadapi sistem nilai yang mempunyai standal ganda pada masyarakat kita. "Kita masih beranggapan, bila perempuan mengadakan hubungan seks di luar nikah, maka itu tidak baik," katanya. "Tapi hubungan ini pada pria sering dilumrahkan saja." Mely bahkan melihat standar ganda pada norma masyarakat itu sebagai ancaman bagi wanita yang menjalin kebebasan seks. "Hubungan seks bebas itu akan sangat merugikan wanita," katanya. Pria malah merasa mendapat peluang lebih besar bila wanita mencoba melepaskan diri dari norma-norma, tak lain karena, pada dasarnya, norma itu tidak berlaku pada mereka. Apakah kemudian bisa terjadi pertemuan kepentingan? Menurut Mely, hubungan yang terjadi tetap tidak mendudukkan wanita pada posisi sejajar. Laki-laki tetap dipengaruhi pandangannya yang memang tidak mudah diubah. "Mereka akan tetap menjadi pengambil inisiatif, misalnya," kata Mely. Sebaliknya, di pihak wanita, masih kuatnya pengaruh norma masyarakat bisa membuat ia akhirnya terdesak kembali ke pola hubungan yang konvensional, pola yang menempatkan lelaki pada posisi lebih tinggi. Rumitnya lagi, dengan kembali ke pola lama itu, wanita yang sebelumnya menganut paham seks bebas justru dirugikan. Ini pendapat Mely. Wanita simpanan, isu yang kini mulai beredar setelah isu kebebasan seks, sangat mungkin menggambarkan kerugian wanita yang dimaksudkan Mely. Untuk mengamati kemungkinan inilah, dua pekan lalu, TEMPO menurunkan dua pol ke lima kota besar. Yang satu ditujukan pada wanita yang percaya pada kebebasan seks, termasuk yang kemudian menjadi wanita simpanan. Yang lain diedarkan dikalangan wanita umum, untuk mengukur seberapa jauh wanita masih terikat pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. "Saya masih percaya bahwa banyak perempuan yang tidak menginginkan dirinya menjadi promiscous," kata Mely. "Perempuan lebih mencari relasi yang mendalam dan berarti bukan kepuasan seks belaka," katanya lebih lanjut. Dan ketika para wanita itu menyadang kenyataan bahwa diri mereka tidak lagi bisa menerima lebih dari satu lelaki, maka saat itu mereka sudah terjebak dalam hubungan seks luar nikah. Malangnya, justru lewat hubungan semacam itulah mereka menjalin keakraban dengan pria yang mereka cintai. Dari angket TEMPO terungkap bahwa salah satu aspek kebebasan seks adalah hubungan gelap dengan pria beristri. Namun, kebebasan ini segera berakhir setelah cinta yang mendalam tumbuh. Wanita yang mendambakan kemandirian itu akhirnya terikat dan bersedia menjadi istri ke dua, wanita simpanan atau peliharaan. Dan ketika itu mereka sudah tidak lagi punya peluang untuk mempertanyakan adakah keputusannya merendahkan harkat wanita yang adalah juga harkatnya sendiri. Dan agaknya ia pun tak lagi menyadari bahwa pertanyaan yang penting itu sudah dilayangkan oleh Kartini, hampir seratus tahun lalu. Namun, begitulah, untuk kesekian kali, dalam masyarakat masa kini, wanita justru terperangkap dalam sangkar yang diciptakannya sendiri. Inilah harga mahal yang harus dibayar, harga yang sudah diperkirakan Kartini jauh sebelumnya, dan harga yang dengan segenap senang hati diterima oleh kaum pria. Jim Supangkat, Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus