Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ketika telepon tidak berdering

Hubungan seks bebas para peragawati menurut okky asokawati berdasarkan cinta dan tanpa tuntutan. tempo mengadakan pol pendapat terhadap 123 wanita simpanan. ada ketimpangan/ketidakadilan untuk wanita.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH hubungan seks di masa kini sudah mirip jabatan tangan saja? "Sangat mungkin," kata Okky Asokawati. "Seks bisa dilihat sebagai pertanda rasa akrab." Peragawati terkenal yang juga sarjana psikologi ini berpendapat, hubungan seks di masa kini memang tidak harus dilihat hanya sebagai hubungan suci suami istri. "Tapi hubungan seks itu jangan lalu dianggap murahan," Okky menegaskan. Katanya, wanita yang tidak keberatan melakukan hubungan seks tanpa ikatan perkawinan bukanlah pelacur. Dari sudut mana pun mau dilihat, mereka tidak sama dengan pelacur, yang melayani pria karena dibayar. Okky, yang bergelut di dunia peragawati dan modeling sangat sering mendengar gunjingan orang tentang dunia mode yang dianggap dunia pelacuran terselubung. Ia sampai bertanya-tanya dalam hati, benarkah para gadis model itu melacurkan diri. Didorong rasa penasaran, Okky, sebagai psikolog, meneliti secara intensif kehidupan seks 60 peragawati dan gadis model. Ternyata, semua peragawati yang ditelitinya melengkapi kencan mereka dengan seks. Namun, itu tidak berarti, mereka suka gonta-ganti mitra seks. Seperti kata Okky, hubungan seks itu adalah pernyataan akrab. "Memang, aspek materinya ada," tutur Okky. "Dunia model yang gemerlapan memang mahal, dan para peragawati itu tentunya senang kalau diberi hadiah yang bagus-bagus." Namun, dalam observasinya psikolog ini menemukan bahwa dukungan materi itu, betapapun besarnya, tidaklah hal yang utama. Singkatnya, bukan penyebab hingga seorang gadis model mau kencan dengan seorang pria. Lalu apa? Kesimpulan Okky tegas karena suka sama suka dan bahkan saling cinta. "Tidak ada perhitungan untung-rugi, dan bila hubungan itu putus si wanita juga tidak merasakan kehilangan penghasilan." Juga dalam hubungan itu, Okky menemukan semua gejala cinta seperti rasa cemburu, rindu, amarah, dan patah hati. "Seperti layaknya orang pacaran saja," kata Okky tandas. Dan ia percaya, ada pergeseran nilai-nilai dalam pandangan 60 respondennya. "Pada mereka tidak ada perasaan bersalah atau berdosa. Bahwa mereka bisa melakukan hubungan seks dengan siapa pun asal mereka suka -- ini juga tak perlu diragukan," ujarnya lebih lanjut. Kecuali yang menyangkut risiko, perilaku seks pria dan wanita di dalam dan luar lembaga pernikahan, menurut Okky, pada dasarnya sama saja. Katanya, ukuran moral pada masyarakatlah yang membedakan perilaku seks pria dan wanita. Keyakinan ini pula yang membuat para psikolog sampai pada teori bahwa pria punya kecenderungan poligamis, sementara wanita lebih monogamis. Ukuran moral itu pula yang membuat risiko yang dihadapi pria bila melakukan hubungan seks luar nikah -- jauh lebih kecil ketimbang sanksi moral yang dihadapi wanita. Dalam penelitiannya, Okky menemukan pula perubahan nilai-nilai pada lingkaran keluarga responden. Kendati tidak secara terbuka, sebagian besar keluarga yang diwawancarai Okky tidak keberatan bila salah satu anggota keluarga mereka menjalin hubungan seks di luar nikah (extramarital). "Ada orangtua yang malah menerima secara wajar-wajar saja, anaknya pacaran dengan pria yang sudah punya istri," kata Okky. Namun, tidak semua nilai dalam masyarakat bergeser sama cepatnya dengan pandangan pribadi orang per orang, yang kemudian mendasari perilaku mereka. Tapi, ketika memasuki lingkaran yang lebih besar, perilaku seks yang bersifat pribadi itu kadang-kadang terdesak kembali ke pola lama. Misalnya ketika seorang wanita menghadapi perilaku dan pandangan pria. Dalam penelitian Okky, hampir separuh dari respondennya bersedia menjadi istri kedua. Wanita yang mempunyai pandangan bebas ini akhirnya terikat juga. Artinya, si pria tidak berubah, tetap leluasa menegakkan kecenderungan poligamisnya, sementara sang wanita -- seperti membenarkan teori psikologi -- harus monogamis. Dalam kata lain, perempuan ini commited pada seorang pria saja. Memang ada berbagai nuansa dalam lingkaran kebebasan perilaku seks wanita. Dan tidak semuanya bisa digariskan secara teoretis. Namun dari sisi wanitanya sangat mungkin terlihat benturan nilai-nilai. Pol TEMPO, yang disebarkan pada sejumlah wanita yang percaya pada kebebasan seks, menunjukkan benturan-benturan nilai itu. Semula wanita sering tidak ragu melakukan hubungan seks bebas namun pada akhirnya terbentur kesulitan. Pengumpulan pendapat TEMPO meliatkan 123 responden wanita yang menjawab pertanyaan lewat wawancara. Mereka bukan pelacur dan juga tidak punya pengalaman melacurkan diri. Hampir semua tergolong wanita muda, berusia antara 21 dan 40 tahun. Umumnya mengenal seks sejak usia remaja. Sebagian besar (70,73%) melakukan hubungan seks pertama kali pada usia sekitar 17 tahun. Tidak sedikit (18,70%) yang melakukannya pada usia di bawah 17 tahun. Semua responden, berdasar wawancara, menyatakan mempunyai hubungan dengan pria beristri. Dalam istilah yang kini sudah semakin populer, mereka adalah "the other woman". Sebagian besar, 83 orang berstatus wanita simpanan, 52 dinikahi, dan 31 tidak. Selebihnya, 40 orang menjalin berhubungan dengan pria beristri tanpa ikatan apa-apa, 6 mempunyai suami, 3 janda, dan selebihnya wanita lajang. Semua responden ini "orang kota" karena angket TEMPO disebarkan ke lima kota besar: Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebagian besar responden (76,7%) adalah wanita bekerja, hanya 33,3% tidak bekerja dan mengandalkan kehidupannya pada penghasilan suami. Yang terbanyak (30,89%) karyawan perusahaan swasta. Sementara itu, 17% adalah wanita yang bergerak di bidang bisnis, dan mengaku sebagai wanita karier. Tentang tingkat pendidikan mereka, hampir separuh (47,15%) lulusan SLTA. Sebanyak 12,20% mencapai pendidikan setingkat akademi, dan 3,25% atau 4 orang menyandang gelar sarjana. Apakah hubungan dengan pria beristri itu hubungan gelap? Jawabannya cukup mengejutkan. Hampir separuh (42,28%) menyatakan tidak merahasiakan hubungan mereka. Singkatnya, hubungan itu terbuka dan diketahui umum. Namun, 33,33% menyatakan, hubungannya dengan pria beristri itu dirahasiakan. Kalaupun ada yang mengetahui, itu cuma kalangan terbatas. Selebihnya 22,76%. diketahui oleh lingkungan dekat lewat gunjingan. Mengapa hubungan itu dirahasiakan? Separuh lebih (60,16%) menyatakan tidak mau menyakiti perasaan wanita lain. Namun, dari sisi prianya, tidak banyak yang menjadikan faktor keluarga sebagai alasan. Hanya 16,26% pria dalam hubungan gelap itu memberikan alasan khawatir keluarganya akan berantakan. Dan ini cocok dengan komentar 42,28% wanita jumlah terbesar -- yang mengatakan bahwa para pria merasa tidak perlu memberikan alasan apa-apa. Hubungan itu harus dirahasiakan, titik. Faktor ekonomi sangat mungkin menyebabkan posisi pria dan wanita dalam hubungan itu menjadi tidak imbang. Si pria dominan, sementara wanitanya ketakutan. Kepentingan ekonomi itu terlihat pada jawaban 45,53% responden. Mereka menyatakan kehidupan mereka menjadi lebih baik setelah berhubungan dengan si pria dan mereka merasa senang bisa menolong sanak famili. Ketika ditanya mengapa mereka terikat jumlah terbesar (42,28%) juga menyatakan karena biaya kehidupan mereka lebih terpenuhi karena hubungannya dengan pria beristri. Pada sebagian wanita (14,6%), pertolongan itu berbentuk ikatan kuat dalam bisnis. Namun, keuntungan materi bukan penyebab utama terjadinya hubungan. Jumlah terbesar (40,65%) menyatakan hubungan itu berawal pada perasaan saling cinta. Dan sebagian besar dari wanita yang tidak terikat perkawinan (57,72%) menyatakan lebih menyukai kencan dengan pria beristri. Pria ini mempunyai kehangatan cinta seorang suami. Berbeda dengan kecenderungan pria lajang yang lebih mengutamakan seks, 78,05% responden menyatakan bahwa kencan mereka sering diisi dengan dialog. Tidak melulu seks. Pria beristri kadang-kadang memang memiliki pesona yang khas. "Kepribadian kuat yang muncul karena status, jabatan, kecerdasan, sikap sopan, atau kematangan," kata Mien Uno. Menurut Direktris Sekolah Kepribadian John Robert Powers ini, pesona semacam itu sekarang lebih menarik perhatian wanita. Jadi, bukan lagi sekadar terpikat pada penampilan fisik dan ketampanan. "Saya kira ini juga semacam perubahan persepsi pada wanita, yang bisa menunjukkan kemajuan cara mereka berpikir," kata Mien. Berdasarkan pengamatannya atas para peserta kursus kepribadian di sekolahnya, Mien membenarkan bahwa tidak banyak pria lajang yang punya pesona seperti pria beristri. "Bila memiliki kelebihan, pria beristri sering membangkitkan kesan the best." Menurut Mien, kebanyakan wanita masa kini -- paling tidak di kota besar -- mendambakan pria dengan kualifikasi itu. "Pertimbangan ini, barangkali membuat wanita yang jatuh cinta itu tidak lagi peduli apakah pria yang digandrungi itu sudah beristri atau tidak," katanya. Apalagi bila mereka berhasil menarik perhatian, dan si pria menyatakan lebih mencintai wanita itu daripada istrinya. "Padahal, bisa saja si pria tidak jujur," ujar Mien. Dalam suasana masyarakat yang kompetitif, perasaan lebih dicintai itu, menurut Mien, membangkitkan kebahagiaan. Memang tidak perlu disangsikan bahwa pihak wanita sendiri bisa merasa bahagia, berkat hubungannya dengan pria beristri. Dan hampir separuh responden (49,59%) menyatakan hubungan mereka harmonis. Ada semacam perasaan saling bergantung, khususnya karena si pria punya masalah dengan istrinya, misalnya karena tidak bisa berdialog. Hampir semua (88,62%) mengaku bisa membina kehidupan seks yang sehat. Mereka, tanpa paksaan, berusaha memberikan pelayanan dengan baik. Namun, apa pun keceriaan yang didapat, sulit membayangkan kesejajaran dalam hubungan wanita dengan pria beristri. Kendati si pria menyatakan lebih cinta, separuh lebih responden (58,54%) menyatakan ia tidak memberikan waktu cukup pada mereka. Istri pertama bersama anak-anaknya selalu mendapat prioritas. Dalam kisah "the other woman", persaingan itu sering berakhir dengan kegetiran. Ketika "wanita yang lain" itu membutuhkan si pria, selalu ada-ada saja halangan. Dan bila alasan yang diberikan terkait dengan urusan keluarga si pria, wanita simpanan ini mati kutu. Ia tak bisa mendesak lebih jauh. Sebaliknya, bila sang pria yang butuh, maka, bagaimanapun sibuknya si wanita, ia tidak bisa menolak. Baginya, kesempatan itu sangat langka. Mengapa? Hari Sabtu dan hari-hari libur adalah masa yang paling menyakitkan bagi the other woman. Hari libur, yang bagi orang lain menjadi masa yang ceria, harus mereka lalui dengan kesepian yang penuh nestapa. Senng mereka duduk berjam-jam di samping telpon. Kendati tahu kesempatannya tipis, mereka toh masih berharap sang kekasih mencuri kesempatan untuk menelepon mereka. Namun, ketika mereka terbangun dari tidur yang lelah -- masih di sisi telepon -- mereka sadar pesawat itu tidak pernah berdering. Tentang keadaan yang tidak adil itu, 43,90% responden menyatakan pernah mengalaminya, 39,02% menyatakan tidak. Namun, yang tidak menjawab cukup banyak, 17,07%. Apakah mereka tidak mencoba mengimbangi ketidakadilan itu dengan mengundang pria lain? Bukankah si kekasih pada kenyataannya juga membagi-bagi cintanya? Tentang kemungkinan "menyeleweng" ini, separuh lebih (65,85%) menyatakan tidak mau melakukannya. Mereka hanya mau melakukan hubungan seks dengan sang kekasih -- kendati ia datang dan pergi seperti angin. Namun, akhirnya, hubungan yang timpang antara wanita simpanan dan pria beristri memang menguntungkan laki-laki. Sebagian besar responden (64,23%) menyetujui kesimpulan ini. Separuh lebih (52,85%) membenarkan bahwa dalam hubungan itu mereka mengabaikan harga diri, di samping menyadari bahwa gunjingan masyarakat menyakitkan dan tidak bisa diabaikan. Norma-norma yang berlaku di masyarakat sampai kini memang tidak pernah membenarkan segala jenis penyelewengan. Sekalipun begitu, anggapan bahwa pria punya kecenderungan melakukan hubungan seks di luar perkawinan tetap saja bertahan. Jadi, kalau pria menyeleweng, harus bisa dimaklumi. Sebaliknya, bagi wanita yang berlaku adalah norma masyarakat beserta segenap sanksinya. Apakah benar bahwa adalah kodrat wanita untuk tidak menyeleweng seperti yang umum diasumsikan orang -- nah, hal itu sama sekali tidak pernah dipermasalahkan. Sikap masyarakat untuk "memaafkan" pria, karena umum sepakat bahwa kodratnya adalah berpoligami, sungguh dianggap tidak pada tempatnya. Pandangan umum seperti ini pula yang bisa dinilai sebagai sikap tak adil terhadap wanita. Dan ketidakadilan ini pula yang dirasakan oleh 70 dari 123 responden TEMPO. Jim, Sri Pudyastuti R, Muchlis H.J (Jakarta) -------------------------------- BILA SUAMI PUNYA SIMPANAN -------------------------------- Minta cerai 49% Menerima kenyataan 19,55% Melabrak wanita simpanan 13,36% Membalas 12,73% -------------------------------- ------------------------------------- HUBUNGAN PRIA DAN WANITA SIMPANAN Rahasia 42,28% Terbuka 30,08% Diketahui lewat bisik-bisik 25,20% -------------------------------------

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus