Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Presiden Joko Widodo berencana membangun 24 pelabuhan baru dalam lima tahun. Pembangunan ini merupakan bagian dari rencana besar Jokowi membangun poros maritim di Indonesia. Namun tidak sekadar membangun pelabuhan, mekanisme kerja di dalamnya juga harus benar agar tidak berakibat inefisiensi.
Pada era Presiden Soeharto, banyaknya dana siluman yang beredar di pelabuhan, sehingga menyebabkan biaya ekonomi tinggi, juga menjadi perhatian. Majalah Tempo edisi 30 Maret 1985 pernah menulis upaya Soeharto memberantas mafia di pelabuhan dengan menurunkan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk menyehatkan kembali sektor angkutan laut.
Presiden Soeharto pada pekan kedua Maret 1985 menginstruksikan Kopkamtib mengamankan kebijakan pemerintah dalam menyehatkan kembali sektor angkutan laut guna menunjang penggalakan ekspor nonmigas.
Perintah itu disampaikan Presiden langsung kepada Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani, yang bersama Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin dan Dirjen Perhubungan Laut Fanny Habibie menghadap di Bina Graha saat itu. Penyehatan sektor angkutan laut itu sendiri akan dituangkan dalam waktu dekat dalam surat keputusan presiden.
Keputusan presiden ini tampaknya mencerminkan ketegasan Kepala Negara untuk segera mengakhiri berlarutnya kesemrawutan di pelabuhan. Sebelumnya, beberapa kali Presiden meminta perhatian para pejabat pemerintah segera menangani masalah ini, tapi hasilnya ternyata belum memuaskan. Pada akhir 1984, misalnya, tatkala meresmikan pelabuhan Baai di Bengkulu, Presiden Soeharto mengingatkan tingginya biaya angkutan laut membuat ekspor Indonesia tidak bisa bersaing.
Sebelumnya, Kepala Negara meminta Menteri Roesmin dan Radius Prawiro segera meneliti penyebab tingginya biaya di pelabuhan dan berusaha menguranginya. Waktu itu Menteri Penertiban Aparatur Negara Saleh Afiff diminta mengkoordinasi kegiatan instansi yang terlibat dalam urusan pelabuhan untuk meningkatkan efisiensi dan penurunan biaya di pelabuhan.
Ketegasan Presiden Soeharto ini disambut gembira karena hampir semua pihak tampaknya telah habis akal menghadapi kesemrawutan pelabuhan di Indonesia. Buliga Siregar, Ketua Umum Gabungan Veem dan Ekspedisi Seluruh Indonesia, berharap Kopkamtib nantinya dapat berperan sebagai pengawas di pelabuhan. "Di pelabuhan sekarang yang ada hanya pelaksana, sehingga tidak ada tempat mengadu bagi para pemakai jasa kepelabuhanan dan bea-cukai," katanya.
Buliga berpendapat, pengawas sangat diperlukan karena tidak adanya batasan waktu penyelesaian dokumen jasa kepelabuhanan. "Sekarang ini, kalau ada pemakai jasa yang dokumennya tertahan sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan, tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada ketentuan yang mengatur batas waktu penyelesaian dokumen." Menurut Buliga, yang sekarang berkuasa adalah uang tidak resmi. "Makin besar uang tidak resminya, makin cepat penyelesaian dokumen, meski barang yang dikirim tidak beres," katanya.
Keluhan para pemakai jasa kepelabuhanan selama ini memang terasa seperti memantul ke tembok. Berbagai usaha memotong jalur birokrasi yang pernah dilakukan ternyata tak juga berhasil. Tingginya biaya tidak resmi itu, menurut Sekretaris Direktorat Bea dan Cukai Suharnomo, antara lain karena banyaknya tangan yang menangani pelayanan pabean di pelabuhan. "Tugas dan fungsi dipecah-pecah, hanya semata untuk memenuhi tujuan agar semua orang bisa dilalui arus dokumen pabean," katanya dalam rapat kerja Ditjen Bea dan Cukai.
Di dunia pelayaran internasional, reputasi pelabuhan Indonesia dianggap rendah. Pangkopkamtib Jenderal Benny Moerdani rupanya telah siap menghadapi ketidakpuasan pihak yang diuntungkan dengan kemudahan selama ini, yang diakuinya bisa melahirkan gejolak. "Pemerintah menganggap kebijakan ini sangat penting. Karena itu, akan dilaksanakan, sangat konsekuen, tanpa pandang bulu," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo