Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN PT Telkom melakukan alih-tukar saham Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) dengan PT Tower Bersama Infrastructure patut dipertanyakan. Aksi korporasi ini bisa berakibat perusahaan pelat merah itu kehilangan pendapatan potensial cukup besar di masa depan. Jika keputusan ini nanti dieksekusi—menunggu kajian Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta Kejaksaan Agung—dividen yang diperoleh pemerintah sebagai pemegang saham Telkom mungkin turun.
PT Telkom akan melepaskan sahamnya di Mitratel secara bertahap kepada PT Tower Bersama dengan cara alih-tukar saham (share swap). Setelah aksi bisnis ini tuntas, Tower Bersama menguasai sepenuhnya Mitratel. Sebagai kompensasi, Telkom akan memiliki 13,7 persen saham Tower Bersama. Secara bertahap Telkom berkesempatan menambah sahamnya dengan sejumlah syarat.
Dalam jangka pendek, transaksi ini barangkali menguntungkan Telkom. Ada aliran uang tunai ke kas Telkom dalam jumlah cukup besar. Cara alih-tukar saham seperti ini juga memberi kepastian keberhasilan lebih baik ketimbang metode lain. Sebab, calon mitra sudah dikaji dan ditentukan. Cara go public dikesampingkan karena ketidakpastian kondisi pasar. Tapi, akibat buruknya, dalam jangka panjang, penjualan Mitratel justru menyebabkan Telkom sulit mewujudkan keinginannya memiliki perusahaan tower yang besar.
Setiap kali ingin menambah kepemilikannya di Tower Bersama, Telkom mesti mengeluarkan dana besar. Jumlahnya mungkin bisa mencapai triliunan rupiah. Peluang Telkom mendapat tambahan saham Tower Bersama pun bergantung pada pemegang saham lain. Dengan menguasai Mitratel, Tower Bersama akan menjadi penguasa bisnis menara telekomunikasi. Posisi strategis seperti itu pasti membuat pemegang saham tak akan mau menjual sahamnya kepada Telkom—kecuali Telkom menawar dengan harga sangat tinggi.
Alih-tukar saham ternyata tak sepenuhnya menguntungkan. Telkom harus membayar pajak capital gain lumayan besar, sekitar Rp 1,5 triliun. Telkom juga tidak akan menjadi pemegang saham pengendali di Tower Bersama karena hanya memiliki 13,7 persen. Artinya, suara Telkom tidak berpengaruh dalam penentuan kebijakan perusahaan. Manajemen Tower Bersama pun belum tentu mengakomodasi kepentingan Telkom.
Sesungguhnya go public lebih menguntungkan. Telkom menjual sebagian saham Mitratel ke bursa. Cara ini menempatkan Telkom tetap sebagai pemegang kendali di Mitratel karena menguasai mayoritas saham. Biaya go public relatif murah. Yang terpenting, dalam jangka panjang ada peningkatan nilai pemegang saham. Sebagai contoh, nilai kapitalisasi pasar PT Telkom pada saat go public pada 1995 baru Rp 20,5 triliun. Awal tahun ini, di bursa Indonesia, kapitalisasi pasar Telkom sudah mencapai Rp 221 triliun atau naik lebih dari sepuluh kali lipat.
Potensi menambang keuntungan sangat besar di masa depan terbuka lebar. Soalnya, sampai lima tahun mendatang, PT Telkomsel, anak perusahaan Telkom, berencana membangun 50 ribu tower. Mitratel sendiri berencana memiliki 5.000 tower sampai akhir tahun ini. Dengan potensi pasar pasti (captive) dari Telkomsel itu, Mitratel jelas bisa menjadi penguasa bisnis menara telekomunikasi di Indonesia, mengalahkan Protelindo dan Menara Bersama.
Maka sangat membingungkan melihat keputusan direksi Telkom melepas kesempatan emas dalam bisnis tower itu. Cita-cita Telkom menjadi penguasa menara lebih gampang dicapai dengan mempertahankan Mitratel. Telkom pun tidak sedang membutuhkan dana besar. Lalu buat apa manajemen Telkom justru "melenyapkan" peluang itu sekaligus membiarkan perusahaan lain menguasai bisnis menara?
Manajemen baru Telkom punya kesempatan untuk tidak mengeksekusi keputusan manajemen lama yang dipimpin Arief Yahya itu. Apalagi Menteri Badan Usaha Milik Negara belum menunjuk direktur utama definitif setelah Arief ditunjuk sebagai Menteri Pariwisata. Dewan komisaris Telkom juga belum memberi persetujuan atas transaksi ini.
Semestinya direksi mendengarkan pendapat komisaris yang mewakili kepentingan pemerintah sebagai pemegang saham terbesar. Sebab, pemerintahlah yang paling terkena dampak dari pelepasan Mitratel ini, terutama menyangkut dividen.
Pemerintah, melalui Menteri BUMN, juga mesti menelisik rencana aksi korporasi Telkom. Jangan sampai ada "udang di balik batu" dalam rencana penjualan Mitratel. Perlu ditelisik alasan Telkom yang begitu ngebet menggandeng Tower Bersama, meskipun dalam jangka panjang lebih menguntungkan jika Mitratel tidak dijual kepada pesaing. Sebaiknya eksekusi atas keputusan manajemen lama itu menunggu fatwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo