Bekas Perdana Menteri RI, Syafrudin Prawiranegara, telah tiada. Ia meninggal Rabu sore, 15 Februari, 13 hari menjelang ulang tahunnya ke-78. Ia menderita bronkitis cukup berat, kemudian menyerang jantungnya. Sore itu, sekitar pukul 18.00, Syafrudin yang baru berjalan beberapa langkah terjatuh di ruang tamu. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah, tidak jauh dari rumahnya di Jakarta Selatan itu. Jiwanya tak tertolong lagi. Esok siang jenazah Syafrudin dikebumikan di Tanah Kusir. Ia meninggalkan seorang istri, 8 anak, 16 cucu. Lahir di Anyer Kidul, Banten, tahun 1911. Syafrudin berdarah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat. Masa kecilnya ia akrab dipanggil Kuding. Ia menyukai bacaan kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe yang memiliki semangat tinggi, sehingga ia pun menanamkan cita-citanya: "Ingin menjati orang besar." Syafrutin lalu masuk Sekolah Tinggi Hukum (kini FH-UI) di Jakarta. Tapi perjalanan untuk menjadi orang besar itu tidak segampang seperti dalam cerita. Karier Kuding diawali sebagai pegawai siaran radio swasta (1939- 1940), lalu bertugas di Departemen Keuangan Belanda (1940-1942). Pada 1945 ia terpilih sebagai Anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Setahun kemutian ia tiangkat sebagai Menteri Keuangan (tahun 1949-1950 ia tiangkat lagi sebagai Menteri Keuangan). Jabatan lainnya: sebagai Perdana Menteri RI (1948), lalu Ketua Pemerintah Darurat RI (1948) dan Wakil Perdana Menteri RI (1949). Setelah pengakuan kedaulatan. Syafrudin lebih dikenal sebagai ekonom dibanding ahli hukum. Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia pada 1951. Ketika menjabat Menteri Keuangan, Syafrudin dikenal dengan langkah moneternya yang berani: pengguntingan uang dari Rp 5 ke atas hingga nilainya tinggal separuh (lihat juga Obituari). Ketika pergolakan politik pada 1958, tokoh partai Masyumi ini meninggalkan tugasnya di Jakarta. Ia memproklamasikan diri sebagai Presiden PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Pertengahan 1961, ia menyerukan kepada pengikutnya agar menghentikan permusuhan dan perlawanan. Presiden Soekarno memberikan amnesti dan abolisi kepada pemberontak yang kembali sebelum 5 Oktober. Partai Masyumi dibubarkan ketika Syafrudin masih di barisan pemberontak. Setelah turun dari hutan, partai ini ingin ia hidupkan kembali, tapi pemerintah tidak berkenan. Syafrudin lalu terjun sebagai khatib dan da'i yang berani. Di hari tuanya, ia dikenal sebagai Ketua Korps Mubalig Indonesia. "Saya ingin mati dalam Islam. Dan ingin menyadarkan bahwa kita tak perlu takut kepada manusia. Tapi takutlah kepada Allah," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini