KEMELUT di Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Palu, agaknya masih panjang. Yang unik, penyebab lahirnya kemelut itu sendiri sudah diselesaikan pihak universitas, yakni adanya Program Kekhususan Perdata yang secara resmi mendompleng di Jurusan Tata Negara. Kelangsungan Program Kekhususan Perdata itu dipertahankan dan sudah mendapat persetujuan darl Departemen P dan K. Begitu pula 17 mahasiswa yang dikenai skors oleh Dekan Fakultas Hukum karena terlibat aksi corat-coret (TEMPO, 21 Januari 1989), persoalannya kini diambil alih rektor. Kasus ini pun agaknya tak berpanjang-panjang karena persoalan bisa dipecahkan dengan "suasana damai". Sisa kemelut yang ada sekarang justru soal kepemimpinan Dekan Fakultas Hukum itu yang dipegang Andi Abdul Salam, S.H. Sebagaimana diketahui, 40 dosen di fakultas itu pernah mengajukan petisi dan minta dialih-tugaskan karena tak sependapat dengan kepemimpinan Abdul Salam. Petisi ini kemudian dibalas dengan pctisi pula oleh kelompok Abdul Salam. Untuk mengatasi hal ini, Rektor Untad Prof. Dr. Mattulada sudah mengeluarkan "Deklarasi dan Surat Perintah", yang isinya antara lain memerintahkan Senat Fakultas Hukum Untad dalam waktu selambat-lambatnya sebulan melaksanakan rapat tentang integrasi Fakultas Hukum. Batas waktu ini sudah berakhir Jumat pekan lalu dan rapat senat itu belum bisa dilaksanakan. Padahal, untuk itu Rektor Untad sudah menunjuk sebuah tim kecil yang terdiri 8 orang staf senior Untad. Andi Abdul Salam termasuk anggota tim ini. Anehnya, rapat tim ini pun tak pernah dihadiri lengkap, karena Abdul Salam jelas-jelas memboikot "Saya takut tak kuat menahan emosi," katanya. Abdul Salam juga mempersoalkan anggota "Tim 8" ini. Selain dari jajaran dekan dan pembantu dekan, yang lain semuanya pejabat fungsional. "Pejabat fungsional sebenarnya tidak dapat mengatur pejabat struktural seperti dekan," katanya. Dia menuduh, "Tim 8" didominasi orang-orangnya Mattuladi. Rabu dua pekan lalu, Rektor Untad memanggil tim ini. Kali ini Abdul Salam bersedia hadir. Pertemuan itu ternyata menjadi ajang tuding-menuding dan buyar tanpa hasil. Menurut sumber TEMPO, Abdul Salam sangat emosional. Dia minta persoalan diselesaikan tetapi tidak merugikan dirinya. Bahkan dia bermaksud "membersihkan" siapa saja yang menyebabkan kekacauan. Abdul Salam sendiri mengakui pertemuan itu panas. Dia juga mengakui mengerahkan pendukungnya -- di luar ruang pertemuan. Menurut Salam, empat anggota tim yang kebetulan stat senior di FH Untad justru bersikeras minta dipindahkan ke fakultas lain. "Mereka adalah Abdurrahman Badong, Fajar Adam, Bustamin Nongtji, dan Nurdin Rahman. Mereka menyatakan tidak mau bekerja sama dengan saya," kata Salam. Jika rapat tim kecil saja tak pernah terjadi, bagaimana mungkin adanya rapat senat Tapi, menurut Andi Abdul Salam, justru suasana tidak menentu inilah yang dikehendaki Rektor Untad Mattulada. Dari situasi yang keruh berkepanjangan ini, kata Salam, Mattulada memungkinkan untuk memperpanjang masa jabatannya. "Semua persoalan ini sebenarnya disutradarai oleh rektor sendiri," ujar Dekan Fakultas Hukum itu. Tuduhan Salam pun panjang. Kata dia, dulu Mattulada yang berkehendak agar Program Kekhususan Perdata ditangguhkan. Setelah betul-betul ditangguhkan, dan mahasisa ribut, Mattulada berbalik langkah. Lalu muncul petisi dari 40 dosen di FH. Semua ini, menurut Salam, diotaki Mattulada. Karena itulah, Abdul Salam menilai langkah Mattulada sebuah intervensi. Karenanya, ia ingin penyelesaikan kemelut ini di tingkat rapat senat terbuka universitas. Untuk itu, Salam mengaku sudah mendapatkan dukungan dari beberapa dekan fakultas lain. Apa kata Mattulada? "Secara konsekuen saya katakan bahwa sayalah otak Universitas Tadulako. Tapi bukan lalu mengotaki sesuatu yang negatif," kata Mattulada kepada Andie H. Makasau dari TEMPO. "Sebagai pemimpin, kalau saya mengotaki suatu kemelut, itu mustahil." Ia menyebut tuduhan Abdul Salam sebagai dosa besar dan bisa dituntut. Kendatipun demikian, ia tak bermaksud menuntut. "Saya ingin hidup ini berjalan dengan damai," ujar Mattulada. Rektor Untad ini pun membantah melakukan intervertsi. Ia justru tetap mengharapkan agar masalah yang muncul di Fakultas Hukum itu diselesaikan oleh internal fakultas itu sendiri. Tapi, katanya, kalau senat fakultas tak dapat menyelesaikan masalah, terpaksa akan diambil alih. Mattulada menyebutkan, rapat dewan guru besar adalah sarana yang paling dihormati. "Itu fungsinya sama dengan DPR. Kalau jabatan struktural seperti dekan itu hanya administratif," katanya. Mattulada menegaskan akan tunduk pada hasil rapat senat FH Untad -- kalau rapat itu terlaksana nantinya. Rapat itu sendiri tidak membicarakan jabatan Dekan FH, tetapi mencari proes integrasi. Namun, kalau separuh lebih satu anggota senat menghendaki Andi Abdul Salam diganti, "Saya akan merekomendasikan agar putusan itu dilaksanakan. Tentunya kirim surat ke Menteri P dan K," kata Mattulada. Kepada TEMPO, Bustamin Nongtji, salah seorang anggota Senat FH dan juga anggota "Tim 8" mengatakan bahwa kemelut ini sudah telanjur menimbulkan luka. "Luka itu akan tetap berbekas. Nah, inilah yang akan dibahas dalam senat Fakultas Hukum. Kami hanya ingin menciptakan budaya persekawanan yang akrab dan kental. Bukan sebaliknya," katanya. Mattulada sendiri juga menyebutkan, kalau betul-betul bermaksud rujuk, "harus dinyatakan dalam rapat senat Fakultas." Walau begitu, menurut sebuah sumber, toh Abdul Salam takut kalau rapat senat fakultas itu akan mendongkel dirinya. Sampai kapan kemelut ini berakhir dan sejauh mana luka itu nanti berbekas, tak jelas. Sementara iu, akhir bulan ini Untad melangsungkan wisuda. Dan proses belajar-mengajar di lingkungan Fakultas Hukum memang jadi terganggu. Dosen-dosennya sedang perang dingin.Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini