Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Menyelamatkan orang di Kuta

Lomba antar klub badan penyelamat kecelakaan di pantai sedunia diadakan di pantai kuta, bali. di indonesia klub semacam itu hanya ada di badung. (ils)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jarak 200 meter dari pantai, seseorang melambaikan tangan sambil berteriak: "Help! Tolong! Toloong!". Lambaian tangannya anara tampak dan tiada, karena ombak laut menggelora. Seseorang yang siap di tepi pantai kemudian meloncat dan berenang secepat kilat. Sebuah pelampung berada di tangannya. Dan setelah sekian menit, tangan yang minta tolong itu berhasil dipegang. Pelampung kemudian diikatkan ke tubuhnya. Si penyelamat membawanya ke tepi pantai. Pada kedangkalan tertentu, penyelamat kedua turut menyongsong si korban yang mendapat celaka. Kedua penyelamat kemudian menggotongnya ke tepi pantai. Nyawanya selamat. Adegan di atas adalah rescue tube rescue race, salah satu dari 16 macam nomor yang diperlombakan 1 s/d 3 Mei yang lalu. Dalam nomor ini dinilai peserta yang paling cepat dapat menolong korban. Lomba di pantai Kuta (Bali) itu, diselenggarakan World Life Saving Interclub Surf Championship -- Lomba Antar Klub Badan Penyelamat Kecelakaan di Pantai Se Dunia. Perlombaan yang pertama kali diadakan itu diikuti 465 peserta dari 48 buah klub yang ada di Australia, Selandia Baru. Taiwan, Hongkong, Ingris, Amerika Serikat dan Indonesia. Dari 16 nomor yang diperlombakan, memang cuma satu yang nyata menunjukkan cara menolong orang yang mendapat kecelakaan di laut. Selain itu, ada 11 nomor lainnya yang harus diperlombakan di dalam air, antara lain yang disebut Iron Man. Peserta lomba dalam jenis ini diharuskan berenang secepat mungkin bulak-balik dari tepi pantai sampai ke tengah yang mengambil jarak 400 meter. Lomba lainnya adalah berselancar (surfing) dan macam-macam ketangkasan di dalam air. Sedangkan 4 nomor lomba berikutnya cuma diperagakan di tepi pantai. Antara lain pillow fights. Lomba perang bantal ini banyak mengundang tawa: dua orang bertengger di atas kayu untuk kemudian saling memukul lawannya dengan bantal. Siapa yang hilang keseimbangan, dan jatuh, dialah yang kalah. Tanpa Busana "Olahraga kemanusiaan ini mendapat sambutan hangat dari negara-negara yang punya laut," kata Cecil Small, ketua World Life Saving (WLS). Hingga kini, anggota organisasi ini ada di 29 negara. "Dan Indonesia adalah anggota yang ke-20," tambah Cecil Small. Dibentuk pada 1971, WLS semula didirikan oleh Kievan E. Wildon dari Australia. Dan ketika pertemuan WLS di London tahun 1980, diputuskan lomba pertama diadakan di Kuta awal Mei baru lalu. Pantai Kuta yang landai dan berkarang sedikit, terlindung oleh semenanjung Benoa, ujung Pulau Bali yang paling menjorok ke Samudera Indonesia. "Pantai Kuta indah sekali," kata seorang peserta dari Inggris "dan tidak ada karang yang dapat menyobek telapak kaki." Sejak awal 70-an, pantai ini telah terkenal di antara para turis. Terutama turis muda yang gemar berjemur dengan busana minim atau tanpa busana sama sekali. Sejak itulah, olahraga berselancar juga dikenal oleh beberapa pemuda Badung. Ketika di pantai Kuta kecelakaan makin sering terjadi, berdirilah Waja Life Surfing pada 1972. Waja adalah singkatan dari Wangaja Kaja, yang berarti banjar (desa) sendiri. Tujuannya, memberi pertolongan pada para perenang yang hanyut atau nyaris tenggelam. Organisasi ini diketuai Gde Bratha yang juga dikenal sebagai ketua PBSI cabang Badung. Sampai saat ini, WLS Badung adalah satu-satunya organisasi penyelamat pantai di Indonesia. Sebetulnya, jumlah anggotanya telah tercatat 200-an. Tetapi yang aktif cuma sekitar 55 orang saja. "Dari jumlah itu pun, cuma 10 orang yang serius," keluh Bratha. Konon berkurangnya peminat karena mereka enggan disengat matahari yang dapat menyebabkan kulit menjadi hitam. Tapi tak jarang pula karena kurang keberanian digelut ombak -- di samping penghasilan dari profesi ini belum dapat dikatakan memadai. "Kalau orang yang akan saya selamatkan hilang, saya sungguh takut," kata Ketut Sandi, salah seorang anggota yang aktif "karena saya khawatir janganjangan si penyelamat sendiri, yaitu saya, turut jadi korban pula." Dari regu WLS Badung, Sandilah satu-satunya yang berhasil menjadi juara kedua untuk nomor beacb flag contest dalam lomba baru-baru ini. Nomor ini memperlombakan adu lari cepat di pantai ketika bendera tanda bahaya dikibarkan. Arus Kuta Selama WLS Badung berdiri, telah 379 orang yang berhasil diselamatkan. Selain itu, ada 57 orang hilang (dan diduga mati), serta 21 orang ditemukan mati. Ombak di pantai Kuta tampaknya memang tidak begitu ganas. Tetapi cukup berbahaya, karena arus bawahnya berlawanan dengan arus atas. Arus bawah biasanya menyeret orang semakin ke tengah, tanpa disadarinya. Dan dalam kepanikan inilah, seseorang yang tidak paham akan muslihat lautan, semakin terseret ke tengah. WLS Badung rupanya masih punya kesulitan. "Kami kekurangan alat," kata Gde Bratha. Kalau peralatan untuk Kuta saja dapat dianggap memadai. Tetapi kini mulai banyak pantai di Bali yang ramai seperti Sanur, Legian, Negara dan Tabanan. Tahun lalu Presiden Soeharto membantu organisasi ini berupa sebuah jip hardtop, sebuah perahu motor, 4 sepeda motor trail, 5 buah pengeras suara, tandu dan alat-alat penyelamat lainnya yang kini tengah dipesan di Australla. Selain itu, kesulitan lain yang dialami WLS Badung ialah kekurangan tenaga. Para penyelamat pantai di Kuta mendapat honor sekitar Rp 50.000 untuk tugas bergumul dengan laut dan berjemur di pantai setiap hari. Sementara itu, tenaga-tenaga penyelamat ini memang lebih banyak dituntut tugas kemanusiaannya, tanpa imbangan yang sepadan. Di luar negeri misalnya, jiwa seorang tenaga penyelamat pantai, selalu ditanggung oleh asuransi. WLS Badung rupanya belum sampai ke taraf tersebut. Meskipun begitu, WLS Badung dalam waktu dekat akan membina WLS Pulau Seribu, Jakarta. Organisasi macam WLS ini memang sulit berkembang cepat. "Lihat saja klub di Badung yang sudah 9 tahun ini," kata Gde Bratha "belum mendorong munculnya klub serupa di tempat lain." Di luar negeri, orang masuk klub seperti ini karena hobi dan ingin memperluas pergaulan. "Di Indonesia," sambung Bratha, "belum-belum sudah minta fasilitas. 'Kan repot." Lomba WLS intemasional yang pertama ini memperebutkan 48 piala. Klub North Cronulla dari Australia mendapat medali terbanyak 3 medali emas dan 3 medali perunggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus