ADA lubang Jepang di perut Kota Bukittinggi. Ini mungkin bukan
cerita baru, karena gua serupa itu juga terdapat di beberapa
tempat seperti di Aceh dan Sum-Sel. Selama ini para pejalan kaki
yang tiap hari lewat di bilangan Bukit Apit di kota itu hanya
meliriknya sepintas, atau sebaliknya dengan bulu roma bergidik
-- meski sempat pula timbul dugaan jangan-jangan ada harta karun
di dalamnya.
Baru akhir Januari 1980 untuk pertama kalinya ada sebuah
ekspedisi pejabat setempat dipimpin Walikota Oemar Gafar mencoba
menyusuri liku-liku lubang kelam itu. Pelacakan itu dilanjutkan
pertengahan Februari lalu.
Mirip pasukan hendak berperang ekspedisi itu terdiri dari regu
pelacak sebagai pembuka jalan dengan sejumlah tentara dari
Korem 32 Wirabraja lengkap dengan bedil, dan beberapa petugas
Tambang Batubara Ombilin yang mengenakan topi berlampu sorot.
Para peninjau komplit didampingi juga oleh regu logistik yang
membawa roti dan permen. Mereka disambut oleh sekawanan kampret
yang kaget. Selebihnya, syukur tidak berpapasan dengan penghuni
aneh atau pun hantu -- juga tidak sampai ada gas beracun yang
semula dikhawatirkan.
Lebar terowongan atau gua itu sekitar 3 meter dengan tinggi 2«
meter. Menjulur mulai dari kaki bukit sampai mencogok di
permukaan kota, panjangnya diperkirakan antara 200400 meter.
Bukittinggi, cocok dengan namanya memang duduk di beberapa
bukit dengan variasi ketinggian antara 30-50 meter dari lembah
sekitarnya. Dari pengamatan sementara didapat gambaran bahwa
terowongan itu terdiri dari 5 unit. Unit pertama dan kedua yang
saling bersambug, ditembus dari arah timur Lembah Sianok yang
terkenal itu. Unit ketiga masuk dari bawah jenjang seribu di
Bukit Apit.
Di dalamnya terdapat belasan kamar, dan pada jarak sekitar 50
meter dibuatkan lorong ke arah tepi jalan raya yang berfungsi
sebagai lubang angin sekaligus untuk mengintip ke arah luar.
Lubang inilah yang nampak di sepanjang jalan Bukit Apit sampai
Ngarai Sianok itu. Yang menarik dari kamar-kamar itu ialah meski
tak pernah dijamah manusia toh lantainya nampak bersih bagai
selalu ada yang menyapu. Tentu saja ini berkat angin yang
leluasa berhembus.
Terowongan pertama dan kedua itu tcmbus sampa ke sekitar Gedung
Tri Arga dekat Jam Gadang. Konon di sini dulu panglima serdadu
Jepang bermukim. Selain itu ditemukan pula dua pintu lagi di
belakang gedung olahraga Atas Ngarai dan di bawah benteng
Jenderal de Cock yang beken itu. Sebuah pintu lain terdapat pula
di dekat kebun binatang Taman Bundo Kandung, yang diduaa
berhubungan dengan lubang unit pertama dan kedua.
Masih ada dua unit lagi yang belum meneliti. Ini ditemukan di
sekitar Anak Air dan Garegeh, yang sementara ini disebut saja
sebagai unit 4 dan 5. Diharapkan pada ekspedisi ketiga nanti dua
pintu ini bisa dimasuki, termasuk upaya menyingkapkan rahasia
bagian-bagian yang masih tertutup pintu beton di unit dua dan
tiga itu.
2.000 Romusha
Lepas dari lamunan ada tidaknya tersimpan harta karun di situ,
yang menarik adalah menyimak hikayat sang terowongan. Ketika itu
menjelang penghujung tahun 1944. Lebih dari dua ribu orang
digiring sebagai romusha ke kota ini. Mereka juga terdiri dari
anak muda yang diciduk Jepang dari berbagai kota di Sumatera.
Jadi jauh sebelum anak cucu Tenno Heika itu mewujudkan
angan-angan membangun kota bawah tanah di negerinya seperti
sekarang, dengan semangat berkibar-kibar mereka telah melukai
perut Kota Bukittinggi ini. Gunanya tak lain untuk tempat
berlindung dari serangan sekutu yang waktu itu memang
menggebu-gebu, sampai misalnya Pelabuhan Teluk Bayur di Padang
remuk redam dihujani bom. Sampai kini masih bisa disaksikan
sejumlah kapal Jepang yang terkapar di dasar samudra.
Selain mengerahkan romusha itu, orang Jepang juga memecut tenaga
ahli berikut peralatan dari Tambang Batubara Ombilin, Sawah
Lunto. Mereka bekerja siang malam, dan karena para pekerja itu
sebagian besar awam dengan urusan mengorek perut bumi, walhasil
banyak yang menjadi korban dilanda longsoran. " Berapa persisnya
yang tewas hanya Jepang yang tahu," tutur Brigjen TNI (pens)
Drs. H. Azwar Hamid. Pak Haji ini ikut dalam penggalian
terowongan itu, dan usianya 24 tahun ketika menjabat opzichter
(pengawas) Tambang Batubara Ombilin waktu itu.
Pembuatan terowongan belum rampung seluruhnya ketika Agustus
1945 Jepang bertekuk lutut. Tapi 'kota bawah tanah' itu sempat
dipakai, seperti diungkapkan Muchtar Dt. M. Lelo (55) "Pendeknya
kalau ada sirene, map-map penting diungsikan." Engku Datuk ini
kini bekerja di PT HH di Jakarta.
Saya Sudah Mati
Tapi untung juga terowongan itu tah sampai selesai. Sebab jika
sempat rampung, niscaya ribuan penduduk pribumi harus lenyap,
terutama mereka yang terlibat dalam proses pembuatan terowongan
ini. "Untuk menutupi rahasia di bawah tanah itu, seperti yang
dilakukan Jepang di Malaysia dan Muangthai, semua pekerjanya
dibunuh," ujar Azwar Hamid yang kini pengusaha swasta itu, "dan
bisa dibayangkan, saya pun sudah mati."
36 tahun sudah umurnya ketika warisan yang bernilai sejarah ini
mulai diraba untuk apa? "Akan kita kembangkan sebagai obyek
wisata," kata Hawari Siddik, Sekwilda Bukittinggi. Kalau bidang
pemasaran bagus gua Jepang ini bisa juga dijadikan obyek
pariwisata. Paling tidak, yang akan berdatangan tentu
turis-turis dari negeri Sakura yang senang datang secara
berduyun.
Untuk mewujudkan suatu tamasya ke perut bumi ini, dalam waktu
dekat Pimpinan PLN Proyek Induk Pembangkit & Jaringan Sum-Bar --
Riau, Ir. Haji Yanuar Muin akan merentangkan jaringan listriknya
ke dalam gua Jepang tersebut. Pak haji yang satu ini memang
"kampiun terowongan", dengan karyanya di PLTA Batang Agam
sepanjang 1.500 meter dan sebentar lagi di PLTA Maninjau akan
membuat lagi sepanjang 5 km, menyarankan agar ada semacam
'atraksi' unik di dalam lubang kelam itu. "Bisa dipakai untuk
da'wah," ujarnya, "misalnya, ketika orang sudah berada di dalam
tanah, lampu dipadamkan lalu diperdengarkan seruan keagamaan..."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini