Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Menyusuri lubang jepang

Diadakan pelacakan menyusuri liku-liku lubang jepang dibawah pimpinan walkot. terowongan dilengkapi dengan kamar-kamar dan menghubungkan beberapa tempat.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA lubang Jepang di perut Kota Bukittinggi. Ini mungkin bukan cerita baru, karena gua serupa itu juga terdapat di beberapa tempat seperti di Aceh dan Sum-Sel. Selama ini para pejalan kaki yang tiap hari lewat di bilangan Bukit Apit di kota itu hanya meliriknya sepintas, atau sebaliknya dengan bulu roma bergidik -- meski sempat pula timbul dugaan jangan-jangan ada harta karun di dalamnya. Baru akhir Januari 1980 untuk pertama kalinya ada sebuah ekspedisi pejabat setempat dipimpin Walikota Oemar Gafar mencoba menyusuri liku-liku lubang kelam itu. Pelacakan itu dilanjutkan pertengahan Februari lalu. Mirip pasukan hendak berperang ekspedisi itu terdiri dari regu pelacak sebagai pembuka jalan dengan sejumlah tentara dari Korem 32 Wirabraja lengkap dengan bedil, dan beberapa petugas Tambang Batubara Ombilin yang mengenakan topi berlampu sorot. Para peninjau komplit didampingi juga oleh regu logistik yang membawa roti dan permen. Mereka disambut oleh sekawanan kampret yang kaget. Selebihnya, syukur tidak berpapasan dengan penghuni aneh atau pun hantu -- juga tidak sampai ada gas beracun yang semula dikhawatirkan. Lebar terowongan atau gua itu sekitar 3 meter dengan tinggi 2« meter. Menjulur mulai dari kaki bukit sampai mencogok di permukaan kota, panjangnya diperkirakan antara 200400 meter. Bukittinggi, cocok dengan namanya memang duduk di beberapa bukit dengan variasi ketinggian antara 30-50 meter dari lembah sekitarnya. Dari pengamatan sementara didapat gambaran bahwa terowongan itu terdiri dari 5 unit. Unit pertama dan kedua yang saling bersambug, ditembus dari arah timur Lembah Sianok yang terkenal itu. Unit ketiga masuk dari bawah jenjang seribu di Bukit Apit. Di dalamnya terdapat belasan kamar, dan pada jarak sekitar 50 meter dibuatkan lorong ke arah tepi jalan raya yang berfungsi sebagai lubang angin sekaligus untuk mengintip ke arah luar. Lubang inilah yang nampak di sepanjang jalan Bukit Apit sampai Ngarai Sianok itu. Yang menarik dari kamar-kamar itu ialah meski tak pernah dijamah manusia toh lantainya nampak bersih bagai selalu ada yang menyapu. Tentu saja ini berkat angin yang leluasa berhembus. Terowongan pertama dan kedua itu tcmbus sampa ke sekitar Gedung Tri Arga dekat Jam Gadang. Konon di sini dulu panglima serdadu Jepang bermukim. Selain itu ditemukan pula dua pintu lagi di belakang gedung olahraga Atas Ngarai dan di bawah benteng Jenderal de Cock yang beken itu. Sebuah pintu lain terdapat pula di dekat kebun binatang Taman Bundo Kandung, yang diduaa berhubungan dengan lubang unit pertama dan kedua. Masih ada dua unit lagi yang belum meneliti. Ini ditemukan di sekitar Anak Air dan Garegeh, yang sementara ini disebut saja sebagai unit 4 dan 5. Diharapkan pada ekspedisi ketiga nanti dua pintu ini bisa dimasuki, termasuk upaya menyingkapkan rahasia bagian-bagian yang masih tertutup pintu beton di unit dua dan tiga itu. 2.000 Romusha Lepas dari lamunan ada tidaknya tersimpan harta karun di situ, yang menarik adalah menyimak hikayat sang terowongan. Ketika itu menjelang penghujung tahun 1944. Lebih dari dua ribu orang digiring sebagai romusha ke kota ini. Mereka juga terdiri dari anak muda yang diciduk Jepang dari berbagai kota di Sumatera. Jadi jauh sebelum anak cucu Tenno Heika itu mewujudkan angan-angan membangun kota bawah tanah di negerinya seperti sekarang, dengan semangat berkibar-kibar mereka telah melukai perut Kota Bukittinggi ini. Gunanya tak lain untuk tempat berlindung dari serangan sekutu yang waktu itu memang menggebu-gebu, sampai misalnya Pelabuhan Teluk Bayur di Padang remuk redam dihujani bom. Sampai kini masih bisa disaksikan sejumlah kapal Jepang yang terkapar di dasar samudra. Selain mengerahkan romusha itu, orang Jepang juga memecut tenaga ahli berikut peralatan dari Tambang Batubara Ombilin, Sawah Lunto. Mereka bekerja siang malam, dan karena para pekerja itu sebagian besar awam dengan urusan mengorek perut bumi, walhasil banyak yang menjadi korban dilanda longsoran. " Berapa persisnya yang tewas hanya Jepang yang tahu," tutur Brigjen TNI (pens) Drs. H. Azwar Hamid. Pak Haji ini ikut dalam penggalian terowongan itu, dan usianya 24 tahun ketika menjabat opzichter (pengawas) Tambang Batubara Ombilin waktu itu. Pembuatan terowongan belum rampung seluruhnya ketika Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut. Tapi 'kota bawah tanah' itu sempat dipakai, seperti diungkapkan Muchtar Dt. M. Lelo (55) "Pendeknya kalau ada sirene, map-map penting diungsikan." Engku Datuk ini kini bekerja di PT HH di Jakarta. Saya Sudah Mati Tapi untung juga terowongan itu tah sampai selesai. Sebab jika sempat rampung, niscaya ribuan penduduk pribumi harus lenyap, terutama mereka yang terlibat dalam proses pembuatan terowongan ini. "Untuk menutupi rahasia di bawah tanah itu, seperti yang dilakukan Jepang di Malaysia dan Muangthai, semua pekerjanya dibunuh," ujar Azwar Hamid yang kini pengusaha swasta itu, "dan bisa dibayangkan, saya pun sudah mati." 36 tahun sudah umurnya ketika warisan yang bernilai sejarah ini mulai diraba untuk apa? "Akan kita kembangkan sebagai obyek wisata," kata Hawari Siddik, Sekwilda Bukittinggi. Kalau bidang pemasaran bagus gua Jepang ini bisa juga dijadikan obyek pariwisata. Paling tidak, yang akan berdatangan tentu turis-turis dari negeri Sakura yang senang datang secara berduyun. Untuk mewujudkan suatu tamasya ke perut bumi ini, dalam waktu dekat Pimpinan PLN Proyek Induk Pembangkit & Jaringan Sum-Bar -- Riau, Ir. Haji Yanuar Muin akan merentangkan jaringan listriknya ke dalam gua Jepang tersebut. Pak haji yang satu ini memang "kampiun terowongan", dengan karyanya di PLTA Batang Agam sepanjang 1.500 meter dan sebentar lagi di PLTA Maninjau akan membuat lagi sepanjang 5 km, menyarankan agar ada semacam 'atraksi' unik di dalam lubang kelam itu. "Bisa dipakai untuk da'wah," ujarnya, "misalnya, ketika orang sudah berada di dalam tanah, lampu dipadamkan lalu diperdengarkan seruan keagamaan..."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus