DUA orang pekerja itu lebih banyak menganggur daripada sibuk
menyobek karcis masuk yang harganya cuma Rp 5. Ada atau tidak
ada pengunjung penjaga musum UPT Belitung toh harus tetap setia
membuka separuh hari di waktu pagi dan sekiar dua jam di sore
hari. Tapi museum cilik ini bukanlah museum yang terlantar,
seperti kebanyakan museum-museum di daerah. Lantainya cukup
bersih - mungkin karena jarang sekali kaki yang melangkah ke
sana -- dan barang-barangnya terpelihara dengan baik dan jauh
dari debu. Terdiri cuma dari tiga ruangan, rumah kuno dengan
singa dan meriam yang terhampar di depannya, cukup menjadi ciri
bahwa di situlah letaknya museum.
Pengantin Cina. Dua ruangan sendiri berisi barang-barang kuno:
tombak, keris, keramik dan beberapa buah meja dan kursi antik.
Senjata-senjata -- termasuk juga bedil sundut - sehagian besar
barang titipan untuk mengisi ruang museum, dengan menyebutkan
siapa pemiliknya. Melihat ini, sudahlah pasti bahwa penduduk
pribumi Belitung ala juga yang pernah jadi orang-orang besar
semacam Hulubalang yang melangkahkan kakinya sampai ke Palembang
atau selat Malaka. Tidak jarang pula ada yang mendapat pedang
kehormatan dari Pemerintah Hindia Belanda dulu, sebagai jasa
atas keberaniannya. Maklumlah, Belitung telah menghasilkan timah
sejak abad 18 Sayangnya, peninggalan asli penduduk Belitung
tidak tampak di museum ini. Tentu ini bukan berarti bahwa
penduduk asli tidak mempunyai kecakapan apa-apa, tapi yang
paling banyak dipajang dalam gedung ini ialah barangbarang yang
berasal dari Tiongkok. Keramik dari sana, tempat nasi demikian
juga, anyaman bambunya menandakan bahwa itu buatan tanah
seberang. Apalagi dengan lemari atau tandu tempat menggotong
puteri Cina. Sampai-sampai sepasang baju pengantin yang disimpan
di situ adalah baju pengantin Cina. Belitung memang penuh dengan
Cina. Di pulau ini, peninggalan yang apik-apik memiliki dua
sumber. Satu Belanda yang telah meninggalkan sekian puluh
rumah-rumah tuan besar pegawai timah dan kedua, Cina yang diawal
abad 20 telah diimpor sebagai kuli-kuli tambang timah. Merka ini
- biasanya -- miskin waktu datang dan meninggal dalam keadaan
kaya. Buktinya, rumah besar yang kini dijadikan Wisma Ria oleh
UPT Belitung, adalah nlmah milik kapten Tionghoa yang bernama Ho
A Jum Satam Bilitonit. Yang pasti museum ini memberikan
pengetahuan yang lumayan, kalau saja pengunjung mau agak
berlama-lama meneliti apa yang di pajang di sana. Sebab di satu
bilik yang sebelah kiri, ada dijabarkan di situ bagaimana usaha
mencari timah dari waktu ke waktu. Mulai dengan adanya
gaya,sumur Palembang - sumur yang diberi kerangka dan ganjal -
di abad 18. Maju lagi ke tambang kulit, tambang pompa rantai, di
abad 19 dan abad 20 awal, telah dimulai dengan menggunakan
tambang timah primer, kapal keruk sampai ke tambang pompa
semprot, komplit dengan maket-maketnya. Paling tidak, museum ini
secara awami menjelaskan bahwa batu pasir, batu lempung dan
granit yang bercampur jutaan tahun yang lalu, telah memberikan
hasil yang hillgga kini belum juga habis-habisnya digali: timah.
Konon pulau ini dulu adalah daratan yang mempunyai gunung api di
atas dan di bawah lautan. Dari kepundannya mengalirkan lava dan
tuva. Melihat kondisi daratan yang khas demikian Belitung pun
lantas bisa menghasilkan batu-batuan khas. Yaitu batu satam yang
mempunyai warna hitam mengkilat yang diperkirakan adalah
campuran mangaan. Katanya batu ini telah jatuh ke bumi setengah
juta tahun yang lalu dari ruang angkasa. Ketika Presiden Nixon
kemari, penjaga stand Departemen Pertambangan juga pernah
memamerkan bahwa Indonesia sejak dulu sudah memiliki batu bulan.
Satam inilah, yang menurut kepercayaan katanya bisa mencegah
sergapan binatang buas. Batu hitam yang biasa juga disebut
tektit ini memang jarang didapat. Sementara ini cuma ada
beberapa tempat yang tanahnya bisa ditemukan tektit: dekat Sala,
di Saudi Arabia,. Australia dan Cekoslowakia. Museum ini memang
hanya sesekali dikunjungi oleh orang luar Belitung. Sementara
anak-anak kecil dari pulau ini lebih tertarik pada
binatang-binatang yang dikebunkan yang ada di belakang museum.
Tentu mereka tidak membayar, sebab pagar yang bolong melompong
mengundang siapa saja untuk masuk secara nyelonong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini