Di hari Minggu yang mencoba untuk tenang di akhir Desember silam. Sebuah pesan melalui telepon seluler dari Redaktur Senior Goenawan Mohamad mengatakan, ”Ada kabar Saddam Hussein tertangkap di Tikrit.” Tentu saja hari Minggu itu harus gagal menjadi tenteram. Seluruh warga TEMPO, baik koran, Tempo News Room, maupun majalah sibuk menggunakan seluruh perangkat untuk memonitor. Hanya dalam beberapa menit, televisi Indonesia dan internasional secara bertahap menayangkan konfirmasi penangkapan itu. Selebihnya adalah sejarah.
Peristiwa ini tentu tak mungkin kami biarkan berlalu begitu saja. Wartawan kami, Rommy Fibri, yang kami kirim delapan bulan silam ke Irak untuk meliput perang, segera kami minta agar segera masuk lagi ke Irak. Bukan hanya untuk melaporkan situasi setelah delapan bulan pendudukan AS di sana, tetapi juga sisi lain dari sikap rakyat Irak. Maklum, yang kita lihat dari media Barat selalu mereka yang sudah pasti anti-Saddam.
Untuk Rommy Fibri, kesempatan ini sangat penting. Rommy, di antara kesibukannya sehari-hari sebagai wartawan investigasi kami, masih mencoba menyusun sebuah buku tentang Irak yang berisi seluruh pengalamannya meliput perang Irak tahun silam, sebuah periode ketika dia dan Zuhaid El Qudsy adalah dua wartawan Indonesia yang berada di kawasan perang itu ketika perang tengah bergolak.
Kali ini Rommy bukan hanya menyusuri Bagdad, tetapi juga Tikrit, tempat kelahiran Saddam Hussein, dan ia menyaksikan bagaimana rakyatnya masih ada yang menganggap Saddam Hussein belum tertangkap. Selain itu, ia kami tugasi ke kawasan yang masih berbau asap dan mesiu seperti Falujah dan Ramadi. Untuk Rommy, yang sudah mengalami bom-bom yang terus-menerus mengguncang Bagdad, situasi di Falujah dan Ramadi akhirnya seperti sebuah perjalanan yang cukup santai karena bom dan senapan ”hanya sesekali menyalak”. Dia juga meluncur ke Karbala. Kota suci kaum Syiah ini terletak sekitar dua jam perjalanan dari Bagdad ke arah selatan. Untung Rommy, seorang muslim yang sangat taat, selalu bisa tembus ke kawasan mana pun. Di beberapa tempat, dia ”dites” untuk membacakan beberapa ayat Al-Quran agar mereka percaya dia seorang muslim. Di kawasan pendudukan yang penuh dengan tank AS, dia juga dengan mudahnya berbincang dengan tentara AS untuk sebuah keseimbangan berita.
Ada juga beberapa pertemuannya yang menyentuh dan membuatnya merenung. Seorang mahasiswa Irak yang bekerja sebagai penerjemah tentara AS merasa seluruh mata tentara Irak yang tertangkap menuduhnya sebagai pengkhianat. Adakah dia seorang pengkhianat, meski dia hanya bekerja sebagai penerjemah? Rommy tak bisa menjawabnya, ia melaporkannya sebagai seorang wartawan.
Bagian lain yang juga menyentuh adalah napak tilas Rommy ke Halabjah, sebuah kota yang menjadi simbol bagi suku Kurdi karena pada 1988 kota ini diguyur bom kimiawi dan 50 ribu orang Kurdi terbunuh seketika. Betapapun kuatnya seorang pemimpin—apalagi mereka menggunakan tangan besi seperti Saddam Hussein—akan runtuh karena kekejiannya sendiri.
Bagdad sehari-hari, menurut pandangan mata Rommy, menjadi kota yang tak menentu masa depannya. Imam masjid yang pasti harus menenteng senjata, dan tembak-tembakan yang menewaskan warga sipil tanpa kejelasan, tanpa pengadilan. Begitu banyak laporan Rommy untuk majalah ataupun untuk saudara terkasih Koran Tempo dan Tempo Interaktif hingga kami kelabakan menerima kirimannya; begitu terbatas ruangan kami. Karena itu, mudah-mudahan buku yang tengah disusunnya akan segera bisa menampung laporan yang lebih lengkap dan bisa Anda nikmati segera tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini