Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Nostalgia jepang di rempang

Pulau rempang di kepulauan riau pernah menjadi tempat penampungan serdadu jepang yang ditawan sekutu dalam perang dunia ke-ii. akan dikunjungi oleh para veteran perang serdadu jepang. (ils)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REMPANG, sebuah pulau di Kabupaten Kepulauan Riau. Tepat berhadapan dengan Pulau Bintan. Luasnya sekitar 375 kmÿFD. Terdiri atas 2 buah desa, yaitu Cate dan Sembulang, dengan penduduk 3000 jiwa lebih, yang hidup sebagai petani dan nelayan. Pulau ini pernah menarik perhatian ketika 2 orang sarjana bahasa dari LIPI, drs Harimurti Kridalaksana dan drs Zulkarnaen, mengungkapkan nasib suku terasing, yaitu suku Utan yang nyaris punah. Sehingga banyak pejabat dan petugas sosial yang berbondong-bondong ke mari menjenguknya sembari menebarkan belas kasihan (TEMPO 28 Juni 75). Kini pulau itu, meski sebagian besar masih hutan belantara, tidak terlalu terlupakan. Dari paket Inpres, di kedua desanya sudah ada SD. Di Cate, ada pula sebuah balai pengobatan, walaupun masih senin kemis. Dermaga kayunya yang dulu hampir ambruk, sekarang sudah diselamatkan lewat Bantuan Desa. Pokoknya, "Sudah banyak perubahan" ujar drs A. Aziz, Camat Bintan Selatan yang membawahi kedua desa di pulau itu. Baru-baru ini, Rempang kembali jadi perhatian. Sejumlah orang Jepang di Tokio sana mengungkapkan kerinduan mereka untuk berkunjung ke pulau ini. Soalnya, ketika terjadi Perang Dunia Ke II dan di hari-hari kejatuhan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, pulau ini pernah menampung dan menjadi tumpuan hidup tak kurang dari 27.000 orang serdadu Jepang yang ditawan Sekutu. Mereka itu adalah yang berasal dari front di lndonesia, Singapura, Malaysia, Muangthai dan kawasan lain di Asia Teng gara. Para tawanan itu ditempatkan di pulau itu tanpa dibekali apa-apa. Sementara sebagai tentara yang kalah perang, mereka pun tak lagi memiliki harta. Sehingga untuk menyambung hidup menunggu penyelesaian nasib sebagai tawanan, mereka hidup dari apa yang ada di pulau itu. Karena tak sanggup bertahan, sekitar 270 orang meninggal di sini. RFC Di zaman tanpa perang ini, veteran-veteran perang Asia Timur Raya yang masih hidup kepingin datang kemari untuk menziarahi rekan-rekan mereka yang terkubur di Rempang. Di samping di antara mereka ada yang ingin kembali memberi tabik kepada pulau itu atas kemurahannya memberi penyambung hidup. Untuk itu, 9 Agustus lalu, rombongan pertama dari sekitar 10 ribu veteran yang berniat ke mari tiba melalui biro perjalanan Natrabu Jakarta. Trip pertama ini diikuti 23 orang Jepang, di antaranya 21 orang adalah bekas penghuni pulau ini. "Dua setengah tahunmerintis, sekarang baru berhasil" kata drs Antonius Ginting, Direktur Perjalanan Natrabu, kepada Rida K. Liamsi dari TEMPO. Ide memanfaatkan Rempang sebagai salah satu monumen perang untuk tujuan wisata, memang datang dari biro pariwisata Natrabu. Setelah melihat beberapa sukses yang dicapai oleh program wisata ke bekas-bekas basis Perang Dunia ke II di Indonesia, seperti Morotai, Biak, dll, biro ini bekerja sama dengan beberapa veteran yang pernah ditahan di Jepang untuk merencanakan suatu trip ziarah ke Rempang. Di antaranya dengan Masao Sato, bekas Dirut JAL. Rupanya dapat sambutan dan kemudian Masao Sato dengan rekan-rekannya membentuk semacam perkumpulan dengan nama Rempang Friendship Commite (RFC). Cuma rencana itu tampaknya tak mudah terlaksana karena ada beberapa hambatan. Di antaranya, "kita tak punya data lengkap tentang keadaan Rempang" ujar Ginting lagi. Firman SEE, Bupati Kepulauan Riau, jugamengakui bahwa niat RFC itu sudah disampaikan awal tahun 77 lalu dan pihaknya sudah mengadakan berbagai pembicaraan. Namun, persetujuan itu terus tertunda-tunda. Kabarnya karena masih ada soal yang dicemaskan. Terutama mengingat bahwa daerah ini (Rempang dan sekitarnya pernah juga menjadi pusat pertahanan tentara Jepang. Ini kemudian dikaitkan dengan harta-harta karun Perang Dunia II. Artinya, dikawatirkan kalau turisme itu hanya sekedar batu loncatan bagi bekas-bekas serdadu ataupun mereka yang punya catatan lengkap tentang itu, untuk secara diam-diam menyusuri jejak harta benda sisa perang itu. Syukur setelah diteliti, ternyata pulau Rempang yang dirindui para veteran itu dianggap bukan tempat pendaman harta. Sebab, mereka yang dulu dirempangkan oleh Sekutu memang tentara-tentara yang sudah tak punya apa-apa lagi, kecuali nyawa. Sumber-sumber TEMPO di Kepulauan Riau ada yang menyebutkan, bahwa memang ada beberapa kawasan yang dianggap pernah dijadikan pusat pangkalan militer dan tempat logistik tentara Jepang, seperti Pulau Galang -- yang dulu sempat dijadikan daerah peladangan nenas oleh PT Mantrust yang bermodal Jepang. Juga, Pulau Pompong, Pulau Abang, dll. Bahkan kabarnya di Tanjung Kelit, ada sebuah selat yang dalam. Di situ sebuah kapal perang Jepang pernah ditenggelamkan. Diduga berisi harta karun. Tapi Sato dkk, yang berziarah selama 2 hari di Rempang memang tidak pula bermat macam-macam. Mereka umumnya, selain pengusaha-pengusaha yang sudah sukses, seperti cerita drs. Ginting pun terhitung kakek-kakek. Rata-rata berusia 60 tahun. Yang termuda, cuma Nyonya Wakei Takuzawa (52). Mereka amat terkesan setibanya di Rempang dan banyak yang menangis. Bukan saja karena di situ terkubur ratusan rekan mereka, pun di tengah suasana sunyi belantara Rempang itu mereka bisa mengenang hari-hari pahit mereka. "Tetap seperti 34 tahun lalu" komentar Higuchi (56) yang ketika ditawan di Rempang berpangkat Letnan berusia 22 tahun. Tak ada perubahan, kecuali jalan-jalan yang dulu mereka buat, kini "sudah dipenuhi pohon-pohon" tambahnya. Yang tampak amat pilu adalah Nyonya Wakei Takuzawa. Soalnya bukan Iarena ia pernah ditawan di sini. Kedatangannya justru hanya untuk bersembahyang bagi arwah tunangannya yang meninggal di situ, seorang anggota AD Jepang. Ketika sang tunangan terkubur di sana, Takuzawa masih gadis 18 tahun. Kini ia bekerja sebagai karyawan koran Ashahi Shimbun, bagian sirkulasi. Kini ia punya seorang anak dan suaminya sekarang veteran perang Korea. "Rempang akan tetap saya ingat sampai mati" ujarnya. Program 7 Tahun Program "Trip to Rempang" ini menurut Ginting akan terus berlanjut. Untuk sementara sampai Oktober nanti, sebulan sekali dengan 30 peserta. Seterusnya akan ditingkatkan jadi 2 atau 3 kali sebulan. Dan Natrabu yang punya loban bisnis ini merencanakan sampai 7 tahun, sampai seluruh ex penghuni Rempang ini melepas kangen mereka. Biayanyapun tak begitu besar. Untuk trip pertama ini, paket mereka mulai dari Tokio-Jakarta-Tg. Pinang-Rempang Singapura-Tokyo selama 1 minggu hanya dibebani 260 ribu Yen. Cuma saja, mereka rata-rata mengeluh karena keadaan cuaca tak menentu. Sebentar panas sebentar hujan, sehingga kehadiran mereka di Rempang tak dapat dinikmati sepuasnya. Di samping, itu di Rempang memang belum ada persiapan apa-apa. Untuk tidur saja, mereka harus rela berkaparan di lantai gedung sekolah atau di atas bangku belajar karena kebetulan sekolah libur. "Ya, cuma itu yang ada" keluh Ginting. Kesulitan lain adalah soal makanan karena kokinya musti dibayar serta di samping kesulitan air. Bupati Firman Eddy mengakui bahwa Rempang memang belum siap untuk menerima kedatangan rombongan RFC itu sebagaimana layaknya. Namun, Bupati itu berjanji untuk segera turun tangan membenahi pulau itu. "Soal jalan-jalan ke tempat ziarah akan didahulukan" ujar Bupati Firman, di samping mencoba mengikhtiarkan tempat-tempat pemondokan. Sebab, rombongan pertama ini terpaksa merambah sendiri semak belukar untuk sampai ke tempat ziarah. Untung saja, mereka dibekali peta yang cukup riel sehingga tak sampai sesat. Makanya rencana mendirikan semacam monumen Rempang, kabarnya baru akan dilakukan tahuntahun mendatang. 13egitu juga janji mereka untuk menghadiahkan sesuatu (kabarnya sebuah sekolah) bagi masyarakat Rempang. "Terserah nanti, apa yang baik menurut saran pak Bupati" ujar Ginting menjurubicarai RFC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus