REMPANG, sebuah pulau di Kabupaten Kepulauan Riau. Tepat
berhadapan dengan Pulau Bintan. Luasnya sekitar 375 kmÿFD.
Terdiri atas 2 buah desa, yaitu Cate dan Sembulang, dengan
penduduk 3000 jiwa lebih, yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Pulau ini pernah menarik perhatian ketika 2 orang sarjana bahasa
dari LIPI, drs Harimurti Kridalaksana dan drs Zulkarnaen,
mengungkapkan nasib suku terasing, yaitu suku Utan yang nyaris
punah. Sehingga banyak pejabat dan petugas sosial yang
berbondong-bondong ke mari menjenguknya sembari menebarkan belas
kasihan (TEMPO 28 Juni 75).
Kini pulau itu, meski sebagian besar masih hutan belantara,
tidak terlalu terlupakan. Dari paket Inpres, di kedua desanya
sudah ada SD. Di Cate, ada pula sebuah balai pengobatan,
walaupun masih senin kemis. Dermaga kayunya yang dulu hampir
ambruk, sekarang sudah diselamatkan lewat Bantuan Desa.
Pokoknya, "Sudah banyak perubahan" ujar drs A. Aziz, Camat
Bintan Selatan yang membawahi kedua desa di pulau itu.
Baru-baru ini, Rempang kembali jadi perhatian. Sejumlah orang
Jepang di Tokio sana mengungkapkan kerinduan mereka untuk
berkunjung ke pulau ini. Soalnya, ketika terjadi Perang Dunia Ke
II dan di hari-hari kejatuhan Jepang dalam perang Asia Timur
Raya, pulau ini pernah menampung dan menjadi tumpuan hidup tak
kurang dari 27.000 orang serdadu Jepang yang ditawan Sekutu.
Mereka itu adalah yang berasal dari front di lndonesia,
Singapura, Malaysia, Muangthai dan kawasan lain di Asia Teng
gara. Para tawanan itu ditempatkan di pulau itu tanpa dibekali
apa-apa. Sementara sebagai tentara yang kalah perang, mereka pun
tak lagi memiliki harta. Sehingga untuk menyambung hidup
menunggu penyelesaian nasib sebagai tawanan, mereka hidup dari
apa yang ada di pulau itu. Karena tak sanggup bertahan, sekitar
270 orang meninggal di sini.
RFC
Di zaman tanpa perang ini, veteran-veteran perang Asia Timur
Raya yang masih hidup kepingin datang kemari untuk menziarahi
rekan-rekan mereka yang terkubur di Rempang. Di samping di
antara mereka ada yang ingin kembali memberi tabik kepada pulau
itu atas kemurahannya memberi penyambung hidup. Untuk itu, 9
Agustus lalu, rombongan pertama dari sekitar 10 ribu veteran
yang berniat ke mari tiba melalui biro perjalanan Natrabu
Jakarta. Trip pertama ini diikuti 23 orang Jepang, di antaranya
21 orang adalah bekas penghuni pulau ini.
"Dua setengah tahunmerintis, sekarang baru berhasil" kata drs
Antonius Ginting, Direktur Perjalanan Natrabu, kepada Rida K.
Liamsi dari TEMPO. Ide memanfaatkan Rempang sebagai salah satu
monumen perang untuk tujuan wisata, memang datang dari biro
pariwisata Natrabu. Setelah melihat beberapa sukses yang dicapai
oleh program wisata ke bekas-bekas basis Perang Dunia ke II di
Indonesia, seperti Morotai, Biak, dll, biro ini bekerja sama
dengan beberapa veteran yang pernah ditahan di Jepang untuk
merencanakan suatu trip ziarah ke Rempang. Di antaranya dengan
Masao Sato, bekas Dirut JAL. Rupanya dapat sambutan dan kemudian
Masao Sato dengan rekan-rekannya membentuk semacam perkumpulan
dengan nama Rempang Friendship Commite (RFC).
Cuma rencana itu tampaknya tak mudah terlaksana karena ada
beberapa hambatan. Di antaranya, "kita tak punya data lengkap
tentang keadaan Rempang" ujar Ginting lagi. Firman SEE, Bupati
Kepulauan Riau, jugamengakui bahwa niat RFC itu sudah
disampaikan awal tahun 77 lalu dan pihaknya sudah mengadakan
berbagai pembicaraan. Namun, persetujuan itu terus
tertunda-tunda. Kabarnya karena masih ada soal yang dicemaskan.
Terutama mengingat bahwa daerah ini (Rempang dan sekitarnya
pernah juga menjadi pusat pertahanan tentara Jepang. Ini
kemudian dikaitkan dengan harta-harta karun Perang Dunia II.
Artinya, dikawatirkan kalau turisme itu hanya sekedar batu
loncatan bagi bekas-bekas serdadu ataupun mereka yang punya
catatan lengkap tentang itu, untuk secara diam-diam menyusuri
jejak harta benda sisa perang itu.
Syukur setelah diteliti, ternyata pulau Rempang yang dirindui
para veteran itu dianggap bukan tempat pendaman harta. Sebab,
mereka yang dulu dirempangkan oleh Sekutu memang tentara-tentara
yang sudah tak punya apa-apa lagi, kecuali nyawa. Sumber-sumber
TEMPO di Kepulauan Riau ada yang menyebutkan, bahwa memang ada
beberapa kawasan yang dianggap pernah dijadikan pusat pangkalan
militer dan tempat logistik tentara Jepang, seperti Pulau Galang
-- yang dulu sempat dijadikan daerah peladangan nenas oleh PT
Mantrust yang bermodal Jepang. Juga, Pulau Pompong, Pulau Abang,
dll. Bahkan kabarnya di Tanjung Kelit, ada sebuah selat yang
dalam. Di situ sebuah kapal perang Jepang pernah ditenggelamkan.
Diduga berisi harta karun.
Tapi Sato dkk, yang berziarah selama 2 hari di Rempang memang
tidak pula bermat macam-macam. Mereka umumnya, selain
pengusaha-pengusaha yang sudah sukses, seperti cerita drs.
Ginting pun terhitung kakek-kakek. Rata-rata berusia 60 tahun.
Yang termuda, cuma Nyonya Wakei Takuzawa (52). Mereka amat
terkesan setibanya di Rempang dan banyak yang menangis. Bukan
saja karena di situ terkubur ratusan rekan mereka, pun di tengah
suasana sunyi belantara Rempang itu mereka bisa mengenang
hari-hari pahit mereka. "Tetap seperti 34 tahun lalu" komentar
Higuchi (56) yang ketika ditawan di Rempang berpangkat Letnan
berusia 22 tahun. Tak ada perubahan, kecuali jalan-jalan yang
dulu mereka buat, kini "sudah dipenuhi pohon-pohon" tambahnya.
Yang tampak amat pilu adalah Nyonya Wakei Takuzawa. Soalnya
bukan Iarena ia pernah ditawan di sini. Kedatangannya justru
hanya untuk bersembahyang bagi arwah tunangannya yang meninggal
di situ, seorang anggota AD Jepang. Ketika sang tunangan
terkubur di sana, Takuzawa masih gadis 18 tahun. Kini ia bekerja
sebagai karyawan koran Ashahi Shimbun, bagian sirkulasi. Kini ia
punya seorang anak dan suaminya sekarang veteran perang Korea.
"Rempang akan tetap saya ingat sampai mati" ujarnya.
Program 7 Tahun
Program "Trip to Rempang" ini menurut Ginting akan terus
berlanjut. Untuk sementara sampai Oktober nanti, sebulan sekali
dengan 30 peserta. Seterusnya akan ditingkatkan jadi 2 atau 3
kali sebulan. Dan Natrabu yang punya loban bisnis ini
merencanakan sampai 7 tahun, sampai seluruh ex penghuni
Rempang ini melepas kangen mereka. Biayanyapun tak begitu besar.
Untuk trip pertama ini, paket mereka mulai dari
Tokio-Jakarta-Tg. Pinang-Rempang Singapura-Tokyo selama 1 minggu
hanya dibebani 260 ribu Yen. Cuma saja, mereka rata-rata
mengeluh karena keadaan cuaca tak menentu. Sebentar panas
sebentar hujan, sehingga kehadiran mereka di Rempang tak dapat
dinikmati sepuasnya.
Di samping, itu di Rempang memang belum ada persiapan apa-apa.
Untuk tidur saja, mereka harus rela berkaparan di lantai gedung
sekolah atau di atas bangku belajar karena kebetulan sekolah
libur. "Ya, cuma itu yang ada" keluh Ginting. Kesulitan lain
adalah soal makanan karena kokinya musti dibayar serta di
samping kesulitan air. Bupati Firman Eddy mengakui bahwa Rempang
memang belum siap untuk menerima kedatangan rombongan RFC itu
sebagaimana layaknya.
Namun, Bupati itu berjanji untuk segera turun tangan membenahi
pulau itu. "Soal jalan-jalan ke tempat ziarah akan didahulukan"
ujar Bupati Firman, di samping mencoba mengikhtiarkan
tempat-tempat pemondokan. Sebab, rombongan pertama ini terpaksa
merambah sendiri semak belukar untuk sampai ke tempat ziarah.
Untung saja, mereka dibekali peta yang cukup riel sehingga tak
sampai sesat. Makanya rencana mendirikan semacam monumen
Rempang, kabarnya baru akan dilakukan tahuntahun mendatang.
13egitu juga janji mereka untuk menghadiahkan sesuatu (kabarnya
sebuah sekolah) bagi masyarakat Rempang. "Terserah nanti, apa
yang baik menurut saran pak Bupati" ujar Ginting menjurubicarai
RFC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini