SEJUMLAH Penonton di Teater Terbuka TIM, 19 Agustus yang lalu,
tertawa ngakak. 4 pasang anak kecil bergaya seperti petani
dengan seadanya dan semaunya. Tampil menari-nari. Tetapi tak
lama kemudian terdengar teriakan "Sudah, sudah, tidur!" Mereka
semua gemas oleh tingkah laku seorang anak yang menguap-uap
sementara teman-temannya bergoyang.
Inilah ekstra dari pertunjukan sandiwara Miss Cicih yang tampil
ke-6 kalinya di TIM. Teater berbahasa Sunda yang selalu
menggali cerita seram itu memang tidak sedahsyat sandiwara
Srimulat dalam hal mengumpulkan penonton. Akan tetapi mereka
memiliki tampang tersendiri serta merupakan usaha kontinyu dari
sejumlah orang Sunda di Jakarta yang menyerahkan hidup pada
teater.
Setan
Cerita-cerita mereka yang sempat tersohor antara lain: Beranak
Dalam Kubur, Si Manis Jembatan Ancol, Jembatan Sirotol
Mustaqin. Satu cerita kadangkala dimainkan terus-menerus satu
bulan. Sering satu malam 2 kali pertunjukan. "Saya tak mengaku
kalah kalau dibanding tukang bikin cerita film nasional kita,"
ujar Harun bin Sayid Aldullah Bafagih, pimpinan Miss Tjitjih
sekarang.
Judul yang dipilih untuk TIM adalah lnan dan Setan. Tragedi ini
membongkar kisah Hasan, seorang bajingan tua, bekas pemadat dan
penjudi. Dia memiliki anak Komar dan Mimin yang bertentangan
sifatnya. Komar seakan-akan melanjutkan bakat bajingan Hasan. Ia
main judi, merampok dan menelantarkan hidup bininya. Suatu
ketika ia mengumpat Mimin sebagai anak pelacur. Hasan memang
mengawini seorang pelacur, tetapi dengan kemauan baik untuk
mengangkat derajat ibu Mimin itu. tentu saja ia marah lantas
mengusir Komar.
Komar gentayangan. Akhirnya ia kembali ke rumah isterinya. Di
sana hanya bertemu anaknya yang sedang mengaji. Anak itu minta
dibelikan baju. Komar jadi trenyuh -- ia cepat pergi merampok.
Ia menewaskan seseorang dan membawa barang rampasan pulang.
Tetapi ketika anaknya di rumah membuka hasil rampasan itu, ia
terkejut dan berseru: "Ini baju ibu!" Komar ikut terpekik. Pada
saat itu datanglah polisi yang kemudian menembaknya mati. Cerita
berakhir dengan disertai kalimat "Ini contoh manusia supaya
bertaqwa kepada Tuhan" . . .
Sandiwara Miss Tjitjih memang mulai dari cerita serem dan
kemudian menampal hati penontonnya dengan da'wah. Barangkali itu
sebabnya, setelah pindah dari Kramat, mereka sengaja memilih
tempat di daerah hitam Angke -- sebuah daerah rawan di mana
berkeliaran penjambret, penodong dan pelacur. Berhadapan
langsung dengan masyarakat yang lata dengan berbagai macam
tampang dekil ini, Miss Tjitjih agaknya tak sempat terpengaruh.
Pelacur yang mangkal di sepanjang rel kereta api di belakang
kompleks Miss Tjitjih bahkan sering dibawa para langganan masuk
nonton pertunjukan. "Itu kan menguntungkan," ujar Harun.
"Sandiwara yang bertemakan pendidikan menyentuh hati mereka. Ada
yang malah insyaf. Karena ini bukan da'wah, tetapi melihat
langsung bagaimana gambaran hidup yang sesungguhnya," katanya
lebih lanjut kepada Widi Yarmanto dari TEMPO.
Srimulat
Barangkali itulah sebabnya Miss Tjitjih tetap bertahan di Angke,
sambil sekali-sekali melayani tawaran TIM. Bahkan kalau toh
ditawari pindah, Harun mengatakan bahwa ia hatus menilai
tempatnya cocok atau tidak. Bagi dia tempat seperti Angke sangat
klop. "Kami ini pertunjukan rakyat, jadi lokasi juga sangat
penting ditentukan, "ujar Harun.
Angke terletak di Jakarta Barat. Sejak Miss Tjitjih mangkal di
sana, kegiatan hitam barangkali masih tetap aktip, tetapi
kerusuhan seakan-akan mereda. Rakyat kecil di kawasan situ
sampai ke Pandeglang tak bosan-bosannya mengayun langkah ke
gedung Miss Tjitjih. Dengan harga karcis rata-rata Rp 200,
setiap malam Minggu dan malam Senen rata-rata bisa dikumpulkan
antara Rp 100 ribu sampai Rp 130 ribu (kotor). Jadi teater ini
hidup. Memang kalau hari hujan selalu sepi. Apa lagi pada
saatsaat ada pemeriksaan KTP. "Mereka bukan tidak punya KTP.
Mereka cuma takut diperiksa. Takut dibawa hansip dan polisi,"
kata Harun.
Harun (62 tahun) sudah 45 tahun dikocok di Miss Cicih. Teater
ini didirikan ayahnya, Sayid Abdullah Bafagih, pada tahun 1928.
Sebelum bernarna Miss Tjitjih, Abdullah sudah mendirikan
Falansia Opera di tahun 1916. Miss Tjitjih adalah salah seorang
primadonanya dan juga isteri Abdullah sendiri. Sampai sekarang
tidak sedikit seniman yang dicetak teater ini. "Tetapi kami
tidak mengandalkan usaha pada satu pemain. Kalau hanya
mengandalkan satu pemain, kalau ia tak ada, pertunjukan akan
pincang," kata Harun menjelaskan cara pengelolaannya -- yang
hampir mirip apa yang dilakukan Teguh di Srimulat Surabaya.
Itu sebabnya, sementara Miss Tjitjih beraksi di TIM, di Angke,
pertunjukan tetap jalan terus. Semangat yang profesional ini
juga dilakukan sendiri oleh Srimulat. Harun benar-benar tak suka
mengecewakan penonton yang selama ini sudah mendukungnya. "Apa
lagi, kalau mereka datang dari jauh, malam Minggu pula," ujar
Harun.
Sesuai dengan kebiasaan teater rakyat lainnya, Miss Tjitjih
menitikberatkan pertunjukan pada improvisasi. Segala sesuatunya
berkembang dengan sendirinya di pentas, karena para pemain sudah
matang dan memperoleh kekuatan masing-masing. Sering yang
diketemukan judulnya terlebih dahulu. Sesaat sebelum main, baru
dibangun alur cerita. "Pernah bahkan sudah di pentas belum
ketemu ceritanya bagaimana.
Lalu saya carikan pemain ini, itu, supaya komplit. Nah, pikiran
jadi terbuka dan jadilah cerita," ujar Harun. Sambil tarik nafas
kemudian ia berkata "Yah ini bukan kerja serius, tapi rileks
saja."
Santai-santai begitu, Miss Tjitjih sempat juga dikunjungi
beberapa orang turis yang dibawa oleh orang DKI. Mereka sempat
bahkan membuat film. 4 tahun kemudian, film itu diputar di Miss
Tjitjih sebelum pertunjukan dimulai. Para pemain Miss Tjitjih
tertegun melihat diri mereka. Di dalam dada bermacam perasaan
muncul. Bangga juga, karena mereka disebut dalam deretan apa
yang bisa dinikmati turis. Namun rawan, kalau mengingat hidup
mereka sehari-hari. Simpati bukannya tidak ada. Yang belum
adalah pelaksanaan dari segala niat baik itu. "Janji, janji, itu
saja kami dengar," kata Harun dengan rawan.
Setiap malam, sering kalau adegan sandiwara mencapai klimaks,
tiba-tiba menderu pula suara kereta di belakang gedung
pertunjukan. Pemain-pemain Miss Tjitjih menjerit dengan sia-sia.
Puncak adegan terpotong. "Yah mau apa lagi," kata llarun. Nasib
mereka sendiri kira-kira memang seperti itu gambarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini