Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Janji, janji, janji melulu

Sandiwara miss tjitjih, teater berbahasa sunda yang selalu menggali cerita seram, tampil di tim, jakarta dengan mengambil cerita iman dan setan. (hb)

2 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH Penonton di Teater Terbuka TIM, 19 Agustus yang lalu, tertawa ngakak. 4 pasang anak kecil bergaya seperti petani dengan seadanya dan semaunya. Tampil menari-nari. Tetapi tak lama kemudian terdengar teriakan "Sudah, sudah, tidur!" Mereka semua gemas oleh tingkah laku seorang anak yang menguap-uap sementara teman-temannya bergoyang. Inilah ekstra dari pertunjukan sandiwara Miss Cicih yang tampil ke-6 kalinya di TIM. Teater berbahasa Sunda yang selalu menggali cerita seram itu memang tidak sedahsyat sandiwara Srimulat dalam hal mengumpulkan penonton. Akan tetapi mereka memiliki tampang tersendiri serta merupakan usaha kontinyu dari sejumlah orang Sunda di Jakarta yang menyerahkan hidup pada teater. Setan Cerita-cerita mereka yang sempat tersohor antara lain: Beranak Dalam Kubur, Si Manis Jembatan Ancol, Jembatan Sirotol Mustaqin. Satu cerita kadangkala dimainkan terus-menerus satu bulan. Sering satu malam 2 kali pertunjukan. "Saya tak mengaku kalah kalau dibanding tukang bikin cerita film nasional kita," ujar Harun bin Sayid Aldullah Bafagih, pimpinan Miss Tjitjih sekarang. Judul yang dipilih untuk TIM adalah lnan dan Setan. Tragedi ini membongkar kisah Hasan, seorang bajingan tua, bekas pemadat dan penjudi. Dia memiliki anak Komar dan Mimin yang bertentangan sifatnya. Komar seakan-akan melanjutkan bakat bajingan Hasan. Ia main judi, merampok dan menelantarkan hidup bininya. Suatu ketika ia mengumpat Mimin sebagai anak pelacur. Hasan memang mengawini seorang pelacur, tetapi dengan kemauan baik untuk mengangkat derajat ibu Mimin itu. tentu saja ia marah lantas mengusir Komar. Komar gentayangan. Akhirnya ia kembali ke rumah isterinya. Di sana hanya bertemu anaknya yang sedang mengaji. Anak itu minta dibelikan baju. Komar jadi trenyuh -- ia cepat pergi merampok. Ia menewaskan seseorang dan membawa barang rampasan pulang. Tetapi ketika anaknya di rumah membuka hasil rampasan itu, ia terkejut dan berseru: "Ini baju ibu!" Komar ikut terpekik. Pada saat itu datanglah polisi yang kemudian menembaknya mati. Cerita berakhir dengan disertai kalimat "Ini contoh manusia supaya bertaqwa kepada Tuhan" . . . Sandiwara Miss Tjitjih memang mulai dari cerita serem dan kemudian menampal hati penontonnya dengan da'wah. Barangkali itu sebabnya, setelah pindah dari Kramat, mereka sengaja memilih tempat di daerah hitam Angke -- sebuah daerah rawan di mana berkeliaran penjambret, penodong dan pelacur. Berhadapan langsung dengan masyarakat yang lata dengan berbagai macam tampang dekil ini, Miss Tjitjih agaknya tak sempat terpengaruh. Pelacur yang mangkal di sepanjang rel kereta api di belakang kompleks Miss Tjitjih bahkan sering dibawa para langganan masuk nonton pertunjukan. "Itu kan menguntungkan," ujar Harun. "Sandiwara yang bertemakan pendidikan menyentuh hati mereka. Ada yang malah insyaf. Karena ini bukan da'wah, tetapi melihat langsung bagaimana gambaran hidup yang sesungguhnya," katanya lebih lanjut kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Srimulat Barangkali itulah sebabnya Miss Tjitjih tetap bertahan di Angke, sambil sekali-sekali melayani tawaran TIM. Bahkan kalau toh ditawari pindah, Harun mengatakan bahwa ia hatus menilai tempatnya cocok atau tidak. Bagi dia tempat seperti Angke sangat klop. "Kami ini pertunjukan rakyat, jadi lokasi juga sangat penting ditentukan, "ujar Harun. Angke terletak di Jakarta Barat. Sejak Miss Tjitjih mangkal di sana, kegiatan hitam barangkali masih tetap aktip, tetapi kerusuhan seakan-akan mereda. Rakyat kecil di kawasan situ sampai ke Pandeglang tak bosan-bosannya mengayun langkah ke gedung Miss Tjitjih. Dengan harga karcis rata-rata Rp 200, setiap malam Minggu dan malam Senen rata-rata bisa dikumpulkan antara Rp 100 ribu sampai Rp 130 ribu (kotor). Jadi teater ini hidup. Memang kalau hari hujan selalu sepi. Apa lagi pada saatsaat ada pemeriksaan KTP. "Mereka bukan tidak punya KTP. Mereka cuma takut diperiksa. Takut dibawa hansip dan polisi," kata Harun. Harun (62 tahun) sudah 45 tahun dikocok di Miss Cicih. Teater ini didirikan ayahnya, Sayid Abdullah Bafagih, pada tahun 1928. Sebelum bernarna Miss Tjitjih, Abdullah sudah mendirikan Falansia Opera di tahun 1916. Miss Tjitjih adalah salah seorang primadonanya dan juga isteri Abdullah sendiri. Sampai sekarang tidak sedikit seniman yang dicetak teater ini. "Tetapi kami tidak mengandalkan usaha pada satu pemain. Kalau hanya mengandalkan satu pemain, kalau ia tak ada, pertunjukan akan pincang," kata Harun menjelaskan cara pengelolaannya -- yang hampir mirip apa yang dilakukan Teguh di Srimulat Surabaya. Itu sebabnya, sementara Miss Tjitjih beraksi di TIM, di Angke, pertunjukan tetap jalan terus. Semangat yang profesional ini juga dilakukan sendiri oleh Srimulat. Harun benar-benar tak suka mengecewakan penonton yang selama ini sudah mendukungnya. "Apa lagi, kalau mereka datang dari jauh, malam Minggu pula," ujar Harun. Sesuai dengan kebiasaan teater rakyat lainnya, Miss Tjitjih menitikberatkan pertunjukan pada improvisasi. Segala sesuatunya berkembang dengan sendirinya di pentas, karena para pemain sudah matang dan memperoleh kekuatan masing-masing. Sering yang diketemukan judulnya terlebih dahulu. Sesaat sebelum main, baru dibangun alur cerita. "Pernah bahkan sudah di pentas belum ketemu ceritanya bagaimana. Lalu saya carikan pemain ini, itu, supaya komplit. Nah, pikiran jadi terbuka dan jadilah cerita," ujar Harun. Sambil tarik nafas kemudian ia berkata "Yah ini bukan kerja serius, tapi rileks saja." Santai-santai begitu, Miss Tjitjih sempat juga dikunjungi beberapa orang turis yang dibawa oleh orang DKI. Mereka sempat bahkan membuat film. 4 tahun kemudian, film itu diputar di Miss Tjitjih sebelum pertunjukan dimulai. Para pemain Miss Tjitjih tertegun melihat diri mereka. Di dalam dada bermacam perasaan muncul. Bangga juga, karena mereka disebut dalam deretan apa yang bisa dinikmati turis. Namun rawan, kalau mengingat hidup mereka sehari-hari. Simpati bukannya tidak ada. Yang belum adalah pelaksanaan dari segala niat baik itu. "Janji, janji, itu saja kami dengar," kata Harun dengan rawan. Setiap malam, sering kalau adegan sandiwara mencapai klimaks, tiba-tiba menderu pula suara kereta di belakang gedung pertunjukan. Pemain-pemain Miss Tjitjih menjerit dengan sia-sia. Puncak adegan terpotong. "Yah mau apa lagi," kata llarun. Nasib mereka sendiri kira-kira memang seperti itu gambarannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus