LIMAPULUH meter dari Jalan Tubagus Angke, Kota yang bopeng dan
bergelombang itu, ada umbul-umbul berwarna merah, kuning dan
hijau. Di situ ada bangunan dari papan yang reyot dan
mengkhawatirkan, namanya Miss Tjitjih.
Di sekitar bangunan papan itu menempel pula papan tambahan yang
berfungsi sebagai tempat berteduh para pemain. Mereka menamakan
tempat ini asrama. Tiap keluarga dapat kapling 3 x 3 meter.
Malah ada yang 2 x 3 meter. Yang tidak kebagian kapling tinggal
di sebelah atau di balik layar.
30 keluarga -- kurang lebih 100 orang -- menghuni kompleks Miss
Tjitjih di atas 1320 mÿFD tanah. Luas kompleks ini sudah termasuk
gedung untuk pertunjukan yang kapasitasnya 750 orang.
Ruang pertunjukan kalau dibilang gedung terlalu mewah. Sebab tak
lebih dari papan yang disusun separuhnya tanpa langit-langit.
Tiang penyangga dari kayu. Kalau hujan deras, bocor. Sianghari
di musim panas, kompleks yang tak berhalaman dan tertutup seng
ini, panasnya bukan main. Hanya ada sisa tanah 1 meter yang
memanjang kurang lebih 100 meter. Tanah ini berfungsi sebagai
gang, dapur, juga sebagai tempat jemuran dan main anak-anak. Bau
asap kompor, goreng tempe, minyak tengik campur aduk di gang
yang sempit itu setiap hari?
Dibanding kompleks mereka dulu, di Kramat, memang yang sekarang
jauh dari layak. Dulu masih ada ruang buat menerima tamu.
Sekarang, tidur pun sering sembarangan. Penghasilan memang
sedikit naik. Dulu, tahun 1972 paling tinggi bayaran yang
diterima Rp 300. Sekarang sehari ada Rp 500, Rp 300, Rp 200 dan
juga Rp 150. Siang hari dibolehkan cari tambahan lain. Asrama,
listrik, ditanggung gratis. Tapi apa cukup? Mohamad Ali bin
Saripin, yang pernah kecipratan honor dari cerita Beranak Dalam
Kubur, bilang "Dulu kecil, tapi cukup. Sekarang agak besar malah
kurang. Kebutuhannya tambah banyak." Anaknya, Eko Mintarsa (26
tahun), yang juga sering membantu menjadi sutradara, mengatakan
"Ya dicukup-cukupkan," katanya,
Di sebelah layar, ada dapur. Ibu Tjioh yang sudah ditinggal
suaminya dan hidup bersama 3 puteranya di kompleks Miss Tjitjih
sedang menggoreng tempe. Dua meter dari tempat ia menggoreng ada
pemain tidur dengan lelap. Ia sudah biasa dengan bebauan dari
dapur. "Mau tinggal di mana lagi?" ujarnya. Apa cukup uang 500
rupiah untuk hidup sehari? "Ya, cukup. Kalau tak cukup, sudah
lama saya keluar dari sini," katanya ayem.
Harun bin Sayid Abdullah Bafagih memang tak tinggal diam. Tanah
yang disewa dari PNKA, bangunan yang disewa dari keluarganya,
bukan jadi tujuan selamanya. Bang Ali, satu bulan sebelum habis
masa jabatannya sudah bertindak meletakkan batu pertama kompleks
Miss Tjitjih di Tanah Abang Bongkaran. Tapi, sampai saat ini,
proyek itu terbengkalai.
Lebih dari puluhan kali, Harun mondar-mandir menanyakan ke DKI
apakah proyek ini sudah hangus. "Kalau memang hangus, ya sudah,
kita tak nunggu-nunggu lagi," katanya. "Tunggu saja, pak!" jawab
DKI hingga sekarang.
Beberapa bulan lalu, terbetik berita anggota DPR akan meminjau
asrama Miss Tjitjih. Penyambutan sudah disiapkan tapi mereka toh
tak muncul. "Kita menyadari, mereka memang sibuk," kaa Harun
dengan sabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini