Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENTAH sejak kapan orang Indonesia menjadi tergila-gila dengan gelar akademik, walaupun gelar tadi diperoleh dengan cara tidak terhormat. Sistem pendidikan kita makin lama makin tidak ada korelasinya dengan keperluan nyata lapangan pekerjaan, dengan akibat sampingan banyaknya orang yang tergila-gila gelar tadi.
Sebenarnya, sistem pendidikan yang ditinggalkan penjajah Belanda cukup baik. Pada era 1950-1960, sejak seorang anak lulus sekolah rakyat, sudah diberikan pilihan. Mereka bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah umum tingkat pertama (SMP) atau sekolah kejuruan: sekolah kepandaian putri (SKP), sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), sekolah teknik pertama (STP), sekolah guru bawah (SGB), dan sebagainya. Di SMP pun sudah diadakan pemilahan di kelas tiga, antara jurusan ilmu pasti (SMP bagian B) dan jurusan ilmu sosial (SMP bagian A).
Para lulusan SMP, khususnya yang nilai-nilainya baik, akan mencari dulu sekolah kejuruan yang berikatan dinas.Sekolah pertanian menengah atas (SPMA), sekolah kehutanan menengah atas (SKMA), sekolah perikanan darat menengah atas (SPDMA), sekolah teknik menengah (STM) berbagai jurusan, sekolah asisten apoteker (SAA).
Sementara itu, untuk lulusan SMP bagian A, juga terbuka peluang masuk ke SMA, sekolah menengah ekonomi atas (SMEA), pendidikan guru agama tingkat atas (PGAA). Mereka yang melanjutkan pendidikan ke SMA biasanya sudah tidak mendapatkan sekolah kejuruan favorit atau memang targetnya sejak awal adalah ke pendidikan tinggi. Di SMA pun sejak awal sudah dipilah antara SMA bagian B (ilmu pasti), bagian A (sastra budaya), dan bagian C (ekonomi).
Entah sejak kapan awal-mulanya sistem ini menjadi bubar, sekolah kejuruan tingkat pertama pelan-pelan lenyap, dan sekolah kejuruan menengah atas berubah menjadi ”sekolah buangan” yang merupakan markas murid yang hobinya membuat kerusuhan. Melanjutkan studi ke sekolah umum makin menjadi favorit, yang diikuti dengan pendirian lembaga pendidikan tinggi yang menjamur dengan mayoritas jurusan non-eksakta.
Menurut saya, lanjutkan saja sistem pendidikan era 1950-1960 tersebut dengan mengadakan peningkatan yang perlu seperti mencukupi tenaga guru yang berkualitas, melengkapi prasarana dan sarana sekolah secara modern, dan menyesuaikan kurikulum sehingga cocok dengan kebutuhan lapangan kerja. Sedangkan pendidikan tinggi yang paling dibutuhkan oleh lapangan kerja adalah pendidikan setingkat akademi atau model politeknik dan diploma (I-III) jurusan teknik sipil, teknik mesin, teknik komputer, teknik industri, teknik pertanian, dan sebagainya. Pendidikan tinggi jenjang strata 1-3 sebenarnya untuk mencetak peneliti, perancang, atau guru/dosen yang menjadi ”otak” atau ”motor” kemajuan negeri ini, bukan untuk kerja lapangan. Mereka yang berkompeten memasuki jenjang pendidikan ini, menurut Hukum Pencaran Normal, tidak banyak. Sebab, ”otak baik” dari kelompok bangsa otak yang benar-benar baik mungkin jumlahnya hanya 0,001 persen. Jika sistem pendidikan kita mampu mencetak tenaga-tenaga terampil tingkat akademi tadi, yang pas dengan kebutuhan lapangan kerja dan kemudian memberikan kesejahteraan hidup kepada lulusannya, niscaya orang yang tergila-gila berburu gelar makin lama akan lenyap dengan sendirinya.
MARTONO MODJO
Kota Madya Depok
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo