Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Srikandi, Sikhandi

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seno Gumira Ajidarma
Budayawan

Engkau dinamakan Srikandi, pendekar putri sejati JIKA kata sejati dalam syair lagu karya Ismail Marzuki ini diterima, maka sebetulnya wacana Srikandi berada dalam dilema: benarkah kependekaran perempuan yang benar- benar perempuan itu tertampung atau terjelmakan dalam pribadi Srikandi? Srikandi memang mempunyai biografi budaya yang ajaib. Sebelum ia dikenal sebagai Srikandi, istri Arjuna yang jawara memanah, dan kemudian menjadi faktor tumbangnya Bisma dalam perang Bharatayudha, dia adalah Sikhandi, seorang lelaki—tetapi seorang lelaki yang tadinya perempuan. Itulah sebabnya ketika berhadapan dengan Bisma, sebagai lelaki, Bisma berkata, "Tidak akan kulawan, karena perempuan." Ucapan yang sama juga terdengar apabila kemudian yang dihadapinya adalah perempuan Srikandi. Maka, inilah dilema pertama: apakah dengan berasal dari perempuan (Sikhandi) atau dengan menjadi perempuan (Srikandi), keperempuanan bisa dilecehkan—dianggap tidak layak berperang, dan ketika mampu pun tidak perlu dilawan? Dalam sejarah Nusantara, kita tahu Sikhandi yang lelaki terdapat dalam Bhismaparwa Jawa Kuno, yang tentu mengacu pada versi Sanskerta dari India. Sedangkan Srikandi yang perempuan adalah produk Jawa Baru, yang karakternya adalah kelelaki-lelakian: bertarung dengan Mustakaweni untuk berebut Arjuna, berpura-pura gila supaya bisa masuk istana Madukara, dan ujung-ujungnya berperang juga. Dengan begitu, setidaknya terdapat dua titik kritis dalam permainan wacana lelaki-perempuan ini. Pertama, ketika Sikhandi yang perempuan berubah menjadi lelaki. Kedua, ketika Sikhandi Jawa Kuno yang lelaki diubah menjadi Srikandi Jawa Baru yang perempuan. Titik kritis pertama mempunyai riwayat yang jelas. Sikhandi terlahir sebagai perempuan, padahal orang tuanya mengharap seorang lelaki. Alhasil, Sikhandi dididik dan dibudayakan sebagai seorang lelaki, sampai-sampai suatu ketika seorang perempuan jatuh cinta, dan dinikahkan. Tentu saja Sikhandi tak pernah menyentuh istrinya, sampai istrinya yang curiga memergoki, ternyata suaminya perempuan. Sikhandi pun minggat kebingungan, sampai bertemu raksasa bernama Stuna. Omong punya omong, mereka pun bertukar kelamin, meski rencananya cuma untuk sementara. Sikhandi kembali kepada istri, untuk membuktikan kelelakiannya. Sementara itu, Stuna dikunjungi rajanya. Sang raja kesal mendengar cerita pertukaran kelamin itu, maka dikutuknya Stuna bahwa selamanya ia akan menjadi perempuan. Demikianlah, untuk selamanya Sikhandi akan berkelamin lelaki. Masalah untuk kita: Sikhandi ini memang telah berubah menjadi lelaki yang berhasil meyakinkan istrinya, atau hanya tubuhnya saja lelaki tetapi secara substansial adalah perempuan? Titik kritis kedua, bahwa Sikhandi yang lelaki berubah menjadi perempuan, penuh dengan penafsiran. Apakah ini pengaruh kuat agama Islam, yang tidak memungkinkan diterimanya perempuan menikah dengan (bekas) perempuan? Atau juga pemikiran lain, kenapa perempuan harus berubah jadi lelaki dulu untuk menunjukkan kependekaran? Ia bisa mengalahkan Bisma meski tetap menjadi perempuan. Artinya, ini juga usaha menggapai kesetaraan. Sampai di sini muncul dilema kedua, apakah kesetaraan perempuan itu harus diwujudkan dalam wacana lelaki tandingan, yakni kekerasan? Wacana kekerasan merupakan dominasi lelaki, sehingga seolah-olah merupakan wacana lelaki itu sendiri—tidakkah dengan itu, dalam ujud Sikhandi ataupun Srikandi, wacana perempuan yang menolak kekerasan telah terkalahkan? Juga menjadi pertanyaan, mengapa ketika menjadi perempuan, Srikandi harus menjadi istri Arjuna, yang dalam citra negatifnya adalah penakluk perempuan—artinya melecehkan keperempuanan? Secara teknis, hal ini memudahkan perpindahan karena Sikhandi pun ketika menghadapi Bisma didampingi Arjuna. Jadi, wajarlah jika Srikandi sebagai istrinya juga didampingi Arjuna. Namun, jika adegan gugurnya Resi Bisma ini diperiksa, ternyata wacana perempuan ini terselamatkan. "Lihatlah Dursasana," kata Bisma, "panah-panah yang membunuhku bukanlah panah Sikhandi, melainkan Arjuna." Dengan penerimaan bahwa hal yang sama juga terjadi dengan versi Srikandi, ini bisa ditafsirkan bahwa wacana kekerasan tetap tidak pernah digunakan oleh perempuan, dan dengan itu seorang jawara kekerasan seperti Bisma pun bisa dikalahkan. Srikandi dan Sikhandi memang hanya hadir untuk memudarkan segenap kekebalan. Inikah karmapals Bisma, sebagai lelaki yang menolak keperempuanan? Karena sumpahnya untuk tidak menikah, Bisma secara tak sengaja telah membuat Dewi Amba terlunta. Sukma Dewi Amba yang meradang kemudian menitis kepada Sikhandi atau Srikandi, sehingga keperempuanan menjadi persoalan dalam pewayangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum