Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
Mahasiswa S-3 ilmu politik Ohio-State University, AS
DEMONSTRASI dan protes massa kembali mewarnai perpolitikan di Tanah Air. Sasaran demo adalah pemerintah. Yang menarik, demonstrasi itu melibatkan dua kelompok berbeda dengan isu berbeda pula, bahkan berseberangan: demonstran yang berslogan "kiri" dan demonstran yang mengklaim mewakili umat Islam. Yang kiri, misalnya, memprotes pemerintahan Gus Dur karena tetap menjalankan kebijakan politik ekonomi yang bertumpu pada utang luar negeri. Sedangkan yang berslogan Islam memprotes kepemimpinan Gus Dur karena, misalnya, lamban menghentikan konflik yang berwarna agama di Ambon dan, terakhir, karena gagasan Gus Dur agar Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang Pelarangan Komunisme dicabut.
Bagi seorang demokrat, adalah sebuah dosa yang tak bisa diampuni jika melarang, apalagi menindas, paham dan organisasi tertentu, termasuk paham dan organisasi komunis, asal saja paham itu berpegang teguh pada kesepakatan yang melindungi kebebasan dan perbedaan itu, yakni demokrasi. Seorang demokrat harus menerima kelompok politik yang berdasarkan agama ataupun yang berasas Marxisme, sejauh kedua paham ini berpegang teguh pada kesepakatan yang menjaga pluralitas dan toleransi sosial-politik. Kubu yang mengklaim menyuarakan aspirasi Islam tidak bisa menjadikan Islam sebagai dasar kesepakatan itu, demikian juga kubu kiri tidak bisa menjadikan Marxisme sebagai dasar kesepakatan itu.
Dalam politik demokrasi, baik kubu yang mengklaim kiri maupun Islam tidak bisa saling melarang. Apa hak komunisme melarang Islam, juga sebaliknya? Keduanya harus diberi tempat untuk bersaing memperebutkan pengaruh secara damai. Pemilu adalah sarana terbaik bagi massa untuk menilai layak dan tidaknya mendukung sebuah partai berasaskan Islam, komunisme, ataupun paham yang lain.
Ini prinsip dasar dari demokrasi yang dipegang di negara-negara demokrasi. Tidak mengherankan bahwa di negara-negara demokrasi, partai komunis bisa hidup, walaupun hampir semuanya terus-menerus menjadi minoritas. Komunisme memang identik dengan totalitarianisme. Tapi sejarah berubah. Komunisme sebagian besar berguguran. Sisa-sisanya masih hidup, dan ini dimungkinkan karena demokrasi. Jadi, dalam demokrasi, paham dan hak politik kelompok-kelompok masyarakat yang beragam itu dilindungi. Apalagi paham Marxisme dan Islam, paham dari iblis pun harus dilindungi kalau kita mau berkomitmen dengan demokrasi.
Walaupun kelihatannya sederhana, prinsip demokrasi ini tampaknya tidak mudah dihayati dan dijalankan dalam masyarakat politik kita. Untungnya, yang sering kurang toleran dalam masyarakat politik di Tanah Air adalah kelompok minoritas, walapun sering membuat klaim besar dengan mengatasnamakan rakyat, buruh, atau petani bagi yang kiri, atau mengatasnamakan umat Islam bagi yang bersimbolkan Islam.
Di Tanah Air, pada masa rezim Gus Dur ini, politik kiri dalam banyak hal disuarakan oleh PRD, yang giat memobilisasi massa untuk melakukan protes dengan mengatasnamakan rakyat. Dari kelompok Islam, yang rajin turun ke jalan dengan membawa umat Islam pada dasarnya masih itu-itu saja. Banyak di antaranya yang punya hubungan dengan partai Islam, terutama PBB dan PK. Partai-partai ini biasa membuat klaim besar, padahal kalau mau obyektif, keduanya hanya mewakili kelompok kecil dari rakyat.
Hasil pemilu tahun lalu merupakan ukuran paling sah apakah partai-partai itu memiliki legitimasi untuk membuat klaim-klaim besar itu. Kita tahu, PRD hampir tidak dipilih masyarakat pemilih. Dukungan umat terhadap PBB dan PK juga jauh di bawah klaim mereka yang besar itu, hanya kurang dari empat persen. Jadi, baik yang kiri maupun yang Islam atau kanan tidak punya legitimasi untuk membuat klaim-klaim besar itu. Delegitimasi secara persuasif, bukan dengan kekerasan, terhadap klaim mereka menjadi penting karena mereka, walaupun minoritas, cenderung bersikap tiran: memaksakan kehendak dan kepentingan mereka sendiri, bahkan dengan ancaman kekerasan kepada publik yang lebih besar.
Sementara pemikir politik seperti John Stuart Mill dan James Madison khawatir dengan tirani mayoritas sebagai dampak dari demokrasi majoritarian, yakni kekuasaan mayoritas dapat menghilangkan hak-hak kelompok minoritas, apa yang saya khawatirkan di Tanah Air justru sebaliknya: kelompok minoritas memaksakan kehendaknya kepada publik yang lebih besar dengan klaim-klaim majoritarian (rakyat, umat Islam). Di samping itu, tirani biasanya mengacu pada pihak yang berkuasa. Tapi, tirani minoritas mengacu pada kelompok masyarakat yang tidak berkuasa tapi bersikap seperti penguasa: seolah-olah punya kekuatan yang sah untuk melakukan kekerasan, termasuk menghunus pedang atas nama jihad.
Dalam politik yang normal, agen yang punya wewenang untuk ini hanya negara, untuk menjaga eksistensi negara itu sendiri, termasuk dari pertikaian horizontal. Ironisnya, justru negara di bawah kepemimpinan Gus Dur ini yang tampak lemah untuk menunjukkan eksistensinya. Terkesan bahwa negara tidak punya otoritas untuk menjaga keutuhan dirinya. Berlarut-larutnya kasus Ambon adalah satu indikator. Kelemahan ini merupakan peluang bagi petualang politik dan massa pendukungnya untuk muncul sebagai tirani minoritas.
Gagasan Gus Dur agar ketetapan MPRS yang melarang komunisme di Tanah Air dicabut merupakan cermin dari komitmennya terhadap demokrasi, tapi juga kesempatan politik bagi tirani minoritas. Bukan komunismenya yang penting, tapi siapa yang melontarkan isu itu. Masyarakat sudah tahu bahwa komunisme bukan lagi ideologi yang layak diikuti, terlihat dengan gagalnya PRD dalam pemilu yang lalu. Tapi, bagi tirani minoritas, isu komunisme terus dihidupkan sebagai pupuk yang memberi makan tirani minoritas itu sendiri bagi kelangsungan hidupnya, mirip dengan tirani Soeharto dulu.
Dalam hal ini, Gus Dur sebagai politisi terlalu "lurus", kurang licik. Apa nilai strategis dari pencabutan ketetapan MPRS tersebut bagi Gus Dur sendiri sebagai politisi di tengah-tengah komunisme yang sudah mati di hampir seluruh belahan dunia? Tidak ada, kecuali dua hal yang kontradiktif: komitmen terhadap demokrasi dan pemupukan tirani minoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |