Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Pajak: Perlu Rasionalisasi Pengeluaran Pemerintah

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usaha pemerintah untuk menggiatkan pajak (TEMPO, 18 Januari 1992, Laporan Utama), entah momentumnya tepat atau tidak, perlu disambut gembira. Banyak aspek posistif terkait di sini: dari pengurangan ketergantungan terhadap bantuan luar negeri, pemerataan pendapatan, sampai manfaat tidak langsung berupa birokrasi yang diharapkan lebih mampu melayani masyarakat karena sebagian dari gaji mereka berasal dari pajak warga masyarakat. Namun, usaha besar itu tak luput dari kritik: ia baru menjangkau satu sisi dari dua sisi sistem anggaran, yakni sisi si penerima. Sisi satunya lagi, yaitu sisi pengeluaran, tampaknya belum dibenahi secara mendasar. Satu bukti terdapat dalam penyediaan prasarana kota. Masyarakat kota di Indonesia telah lama menjadi masyarakat yang diuntungkan. Berbagai prasarana kota seperti jalan, air bersih, dan telepon yang penyediannya disubsidi, digunakan setiap hari. Dalam pembangunan kota baru atau real estate, yang diniatkan untuk menampung luapan penduduk kota, para developer praktis berkewajiban menyediakan prasarana tertentu seperti jalan atau drainase hanya di dalam kawasan yang dibangun. Sedangkan prasarana di luar kawasan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Berikutnya giliran pembeli rumah menjadi pihak yang paling beruntung karena membeli rumah dan prasarananya dengan harga yang disubsidi. Jika pembeli rumah itu berasal dari golongan masyarakat berpendapatan rendah, subsidi semacam itu tentu dapat dimaklumi. Namun, kenyataannya, di antara pembeli rumah di kota baru atau real estate itu adalah masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas. Dari keadaan diatas, timbul akibat yang tidaklah kecil, jalan-jalan yang menghubungi real estate dengan "dunia luar" acap kali macet karena pemerintah daerah tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat tersebut. Yang rugi adalah penghuni real estate dan masyarakat di luarnya yang juga memakai jalan itu. Para developer dituduh hanya menciptakan kantong-kantong pemukiman (orang kaya) dan tidak peduli dengan lingkungannya. Kemudian didengar juga bahwa daftar tunggu telepon semakin panjang, karena kemampuan investasinya terbatas. Walhasil, semua pihak akan dirugikan. Di berbagai negara, misalnya Amerika Serikat atau Australia, subsisdi yang tidak selektif semacam itu semakin dikurangi. Alasannya, efisiensi dan keadilan. Bukankah tidak adil dan tidak efisien kalau dana pemerintah yang terbatas itu tersedot banyak untuk mengurangi dampak negatif suatu pembangunan yang hanya dinikmati sebagian anggota masyarakat? Di New South Wales, Australia, misalnya usaha mengurangi subsidi sudah dimulai sejak 1919. Di sana, pemakai berbagai prasarana kota tadi dibebani kewajiban "membayar kenikmatan" yang diperolehnya tidak hanya berupa consumption charge, tapi juga biaya penyediannya. Yang pertama (biaya pemakaian), walaupun masih terbatas dibandingkan negara-negara di atas, sudah kita kenal. Tapi rasanya belum untuk yang kedua (biaya penyediaan). Nah, kalau kita mau konsisten, untuk yang kedua inilah (antara lain berupa kontribusi developer) perlu dipertimbangkan penerapannya di Indonesia, mengingat besarnya dana yang tersedot ke sana. Kontribusi developer pada hakikatnya juga sejenis pajak, yakni pajak khusus untuk pembangunan yang dibayar oleh si pemakai (a special user-pays tax on development). Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai penyediaan prasarana yang dibutuhkan atau kebutuhan yang meningkat akibat adanya permukiman itu. Tentu saja, untuk fair-nya, tidak hanya developer besar yang dikenai pungutan, tapi juga pembangunan rumah perorangan. Pembayaran biasanya dilakukan di depan, menurut unit rumah yang hendak dibangun, sebagai syarat sebelum berbagai izin pembangunan diberikan. Karena yang menanggung selanjutnya adalah pembeli rumah, penerapan pajak semacam ini akan berakibat melemahkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap rumah. Untuk mengurangi risiko ini, pemerintah dapat menambah subsidi yang selama ini telah diberikan kepada mereka. Uang subsidi diperoleh dari penghematan pemerintah karena kini tidak lagi menjadi penanggung jawab tunggal penyediaan prasarana. Cara membedakan dua golongan pendapatan ini adalah melalui ukuran rumah yang dibelinya. Walau sistem ini kelihatannya menjanjikan banyak manfaat - selain rasionalisasi pengeluaran pemerintah ia juga bisa ikut memperkuat otonomi daerah - ia belum serta-merta kita impor. Artinya, masih perlu dilakukan telaah yang lebih mendalam untuk melihat kesesuaiannya dengan sistem dan kesiapan kelembagaan kita saat ini. ERWIN FAHMI Dept. of Urban & Regional Planning The University of Sydney 148 City Road, NSW 2006 Australia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus