Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan Putu Setia yang berjudul "Mereka bukan Sapi" (TEMPO, 11 Januari 1992, Tari), yang memaparkan nasib para seniman Bali, terutama seniman tari yang kurang mendapat penghargaan layak dari pengelola hotel, kiranya perlu saya tanggapi. Sebenarnya nasib serupa juga dialami oleh para seniman lain, misalnya para perajin patung atau lukisan. Padahal, seperti diungkapkan Putu Setia dalam tulisan itu, bahwa para seniman itulah yang membuat Bali kesohor di mancanegara. Mereka selalu berupaya untuk berkreasi sehingga kesenian Bali semakin berkembang. Dapat dikatakan bahwa mereka berkreasi lebih didasarkan pada orientasi seni (art orientation). Betapa besarnya peran mereka. Sebaliknya, hasil jerih payah mereka dimanfaatkan oleh pihak lain yang berorientasi semata-mata bisnis. Ini tidak fair. Dimanakah letak Equity (pemerataan)? Nah, dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat diharapkan untuk melindungi nasib para seniman kita. Kalau tidak, niscaya nasib mereka semakin buruk, dan tidak tertutup kemungkinan daya kreasi para seniman semakin lesu, yang berakibat pudarnya daya saing pariwisata Bali di pasar wisata internasional. Saya berpendapat, seyogyanya pemerintah daerah Bali mengeluarkan peraturan- peraturan yang intinya memberikan perlindungan kepada para seniman kita seperti yang sudah dilakukan oleh Gubernur Bali. Namun, tidak hanya terbatas pada seniman tari, juga perlindungan kepada para seniman lainnya. GEDE P. SUARDIKA Mary Morris Residence 24 shire Oak Road Leeds, LS6 2 DE England.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo