"KALAU harga biasa, Rp 600. Harga Lebaran, naik Rp 200. Setahun
sekali mas," ujar Jahid, sambil membetulkan letak kameranya. Dia
berasal dari Desa Karang, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.
Ayah Jahid adalah pensiunan petugas Candi Prambanan. Jahid (26
tahun) sudah 2 tahun bekerja di tempat yang sama. Cuma beda
jabatan.
Jahid, dengan mengandalkan kamera Polaroid dan sebuah lagi
bermerek Asahi Pentax, mengadu peruntungannya di seputar candi.
Kalau-kalau ada seseorang, sepasang atau segerombolan orang
ingin diabadikan lewat foto tustelnya, itu rejeki bagi Jahid.
Dan di hari Lebaran itu, Jahid sarat akan rejeki. Sebelas rol
film telah habis dijepretkannya. Harga film satu rol Rp 4.000
yang isinya 8 kali jepretan, masing-masing Rp 800. "Tapi
susahnya," keluh Jahid si pemotrel arnatir, begitu ia menamakan
dirinya, karena yang profesionil katanya cuma wartawan, "kalau
Lebaran, repot Juga saya menghadapi saingan." Sebab di samping
Jahid dan beberapa remannya, ada pula beberapa orang Mat Kodak
yang baru hari iru saja menampilkan dirinya di candi situ.
Tambahnya lagi "Di Prambanan sini, sulit sih membentuk
organisasi foto amatir seperti yang ada di Borobudur."
PFA Borobudur
Karena tidak ada perkumpulan tukang porret inilah, Jahid dan
koleganya harus membayar pajak kamera Rp 100 ditambah lagi
dengan karcis memasuki kompleks candi Rp 130. Keuntungan sedikir
lumayan di hari Lebaran itu akan dibalas oleh hari-hari sepi
atau cuma sedikit ramai di hari-hari lain. Untuk menipiskan
hari-harinya yang penuh dengan kekuatiran kantong kempis, Jahid
kemudian mengadakan beberapa pilihan.
Harga sedikit mahal kalau ada turis bule, "kan di mana-mana
harga turi itu selalu lain," ujarnya. Atau juga, pengunjung
boleh membeli satu rol film seharga Rp 1.500 dan Jahid-lah yang
jepret sana-sini menurut kemauan si pemesan. Untung Rp 700 ini
(karena dia beli rol film di toko Rp 800), kadang-kadang harus
dibalas dengan pegalnya kaki. "Apalagi kalau yang pesan itu
cerewet," tambah Jahid. "Pergi ke satu obyek, dia bilang nggak
cocok. Pindah lagi, pindah lagi." Dan pemesan yang begini ini
bisa menyita waktu Jahid 3 jam lebih. Ini berarti dia tidak bisa
"menangkap" langganan lain dan hanya meladeni satu langganan
saja.
"Wah, kalau kita gengsi dong menaikkan harga," ujar Harsaya dari
sorobudur, karena organisasi kita cukup rapi." Lebaran atau
tidak Lebaran, di seputar sorobudur kalau anda mau di abadikan
lewat kamera, harganya cuma Rp 600. Borobudur memang candi lebih
besar. Tapi karena sedang dipugar, lokasi pemotretan jadi
menyempit.
"Siapa saja boleh jadi anggota PFA", kata Harsaya. PFA Borobudur
singkaran dari Yerkumpulan Foto Amatir Borobudur. Anggotanya
sudah mencapai 60 orang dan setiap bulan mereka harus membayar
iuran Rp 3.250 seorang. "Uang tersebut bukan untuk perkumpulan,
tapi untuk uang operasi," tambahnya lagi. Tentu saja, setiap
hari ke 60 orang tersebut tidak berkeliaran di Borobudur secara
serentak, tetapi mereka saling mengerti hari-hari apa mereka
mencari rejeki.
Bayar Rp 500
Bagi mereka yang telah membayar uang iuran, kemudian diberikan
sebuah tanda pengenal. Penjaga pintu candi, tentu dengan senang
hati akan menyilahkan mereka masuk. Kalau toh ada juga yang
menyelundup masuk, laparkan saja ke Bagian Keamanan (yang juga
mendapat bagian uang iuran tadi) dan si pemotret liar bisa
diusir keluar.
PFA kemudian mengirim usul ke pegawai candi Borobudur agar
setiap orang yang membawa kamera, harus membayar Rp 500. Dan ada
tambahan lagi tas harus dititipkan, dilarang dibawa. Mengapa?
Konon karena ada juga beberapa pengunjung yang membawa tas dan
dalam tas menyembunyikan kameranya yang berhasil lolos bebas
"pajak". Sementara ini, memang belum ada keluhan dari pengunjung
Borobudur akan olah pegawai Borobudur yang bekerja sama baik
dengan PFA. "Tapi kalau hal ini tetap dilangsungkan dengan
konsekwen," kata Harsaya (36 tahun) ayah dari 3 orang anak "hari
depan kami terjamin." Apalagi kalau semua pengunjung tidak ada
yang bawa kamera dan senang dipotret, cincailah rezeki Harsaya
dan kawan-kawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini