Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Para amatir di sekitar candi

Para tukang potret amatir di sekitar candi prambanan & borobudur sering mendapat kelebihan pendapatan pada hari-hari libur & hari-hari raya. di candi borobudur ada perkumpulan foto amatir borobudur. (ils)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KALAU harga biasa, Rp 600. Harga Lebaran, naik Rp 200. Setahun sekali mas," ujar Jahid, sambil membetulkan letak kameranya. Dia berasal dari Desa Karang, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Ayah Jahid adalah pensiunan petugas Candi Prambanan. Jahid (26 tahun) sudah 2 tahun bekerja di tempat yang sama. Cuma beda jabatan. Jahid, dengan mengandalkan kamera Polaroid dan sebuah lagi bermerek Asahi Pentax, mengadu peruntungannya di seputar candi. Kalau-kalau ada seseorang, sepasang atau segerombolan orang ingin diabadikan lewat foto tustelnya, itu rejeki bagi Jahid. Dan di hari Lebaran itu, Jahid sarat akan rejeki. Sebelas rol film telah habis dijepretkannya. Harga film satu rol Rp 4.000 yang isinya 8 kali jepretan, masing-masing Rp 800. "Tapi susahnya," keluh Jahid si pemotrel arnatir, begitu ia menamakan dirinya, karena yang profesionil katanya cuma wartawan, "kalau Lebaran, repot Juga saya menghadapi saingan." Sebab di samping Jahid dan beberapa remannya, ada pula beberapa orang Mat Kodak yang baru hari iru saja menampilkan dirinya di candi situ. Tambahnya lagi "Di Prambanan sini, sulit sih membentuk organisasi foto amatir seperti yang ada di Borobudur." PFA Borobudur Karena tidak ada perkumpulan tukang porret inilah, Jahid dan koleganya harus membayar pajak kamera Rp 100 ditambah lagi dengan karcis memasuki kompleks candi Rp 130. Keuntungan sedikir lumayan di hari Lebaran itu akan dibalas oleh hari-hari sepi atau cuma sedikit ramai di hari-hari lain. Untuk menipiskan hari-harinya yang penuh dengan kekuatiran kantong kempis, Jahid kemudian mengadakan beberapa pilihan. Harga sedikit mahal kalau ada turis bule, "kan di mana-mana harga turi itu selalu lain," ujarnya. Atau juga, pengunjung boleh membeli satu rol film seharga Rp 1.500 dan Jahid-lah yang jepret sana-sini menurut kemauan si pemesan. Untung Rp 700 ini (karena dia beli rol film di toko Rp 800), kadang-kadang harus dibalas dengan pegalnya kaki. "Apalagi kalau yang pesan itu cerewet," tambah Jahid. "Pergi ke satu obyek, dia bilang nggak cocok. Pindah lagi, pindah lagi." Dan pemesan yang begini ini bisa menyita waktu Jahid 3 jam lebih. Ini berarti dia tidak bisa "menangkap" langganan lain dan hanya meladeni satu langganan saja. "Wah, kalau kita gengsi dong menaikkan harga," ujar Harsaya dari sorobudur, karena organisasi kita cukup rapi." Lebaran atau tidak Lebaran, di seputar sorobudur kalau anda mau di abadikan lewat kamera, harganya cuma Rp 600. Borobudur memang candi lebih besar. Tapi karena sedang dipugar, lokasi pemotretan jadi menyempit. "Siapa saja boleh jadi anggota PFA", kata Harsaya. PFA Borobudur singkaran dari Yerkumpulan Foto Amatir Borobudur. Anggotanya sudah mencapai 60 orang dan setiap bulan mereka harus membayar iuran Rp 3.250 seorang. "Uang tersebut bukan untuk perkumpulan, tapi untuk uang operasi," tambahnya lagi. Tentu saja, setiap hari ke 60 orang tersebut tidak berkeliaran di Borobudur secara serentak, tetapi mereka saling mengerti hari-hari apa mereka mencari rejeki. Bayar Rp 500 Bagi mereka yang telah membayar uang iuran, kemudian diberikan sebuah tanda pengenal. Penjaga pintu candi, tentu dengan senang hati akan menyilahkan mereka masuk. Kalau toh ada juga yang menyelundup masuk, laparkan saja ke Bagian Keamanan (yang juga mendapat bagian uang iuran tadi) dan si pemotret liar bisa diusir keluar. PFA kemudian mengirim usul ke pegawai candi Borobudur agar setiap orang yang membawa kamera, harus membayar Rp 500. Dan ada tambahan lagi tas harus dititipkan, dilarang dibawa. Mengapa? Konon karena ada juga beberapa pengunjung yang membawa tas dan dalam tas menyembunyikan kameranya yang berhasil lolos bebas "pajak". Sementara ini, memang belum ada keluhan dari pengunjung Borobudur akan olah pegawai Borobudur yang bekerja sama baik dengan PFA. "Tapi kalau hal ini tetap dilangsungkan dengan konsekwen," kata Harsaya (36 tahun) ayah dari 3 orang anak "hari depan kami terjamin." Apalagi kalau semua pengunjung tidak ada yang bawa kamera dan senang dipotret, cincailah rezeki Harsaya dan kawan-kawannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus