Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pupuk Setelah

Unit pengantongan pupuk PT Pupuk Sriwijaya di pelabuhan Belawan, Sum-ut, diresmikan oleh gubernur Tambunan. Unit tersebut dibangun untuk mempermudah suplai ke Sum-ut dan Aceh dan juga ke negara-negara tetangga. (dh)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA orang tidak yakin di tanah 2,7 hektar tersebut bisa dibangun proyek pengantongan pupuk milik PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI). Areal yang hampir 100 meter dari daerah perumahan Kampung Scony Pelabuhan Belawan yang sudah digusur itu, dulunya selain tempat perumahan penduduk, juga berawa-rawa. Dari 5 unit pengantongan yang dibangun Pusri di beberapa kota pelabuhan di Indonesia, ternyata proyek pengantongan di Belawan itulah yang terbesar menelan uang. Sutardi, Kepala Proyek Sarana Distribusi Pusri mengatakan sampai US$ 4.juta. Sebagian dari biaya tadi berasal dari pinjaman Bank Dunia, yaitu US$ 1,5 juta. Untuk menimbun lumpur dan pengerasan tanah agar fondasi pabrik dapat berdiri kokoh diperlukan waktu sampai 10 bulan. Proyek ini selesai seluruhnya selama 27 bulan. "Akhirnya, atas keyakinan kita dan bantuan dari berbagai pihak di Pemda Sumatera Utara, proyek pengantongan pupuk ini siap dan dapat beroperasi mulai hari ini," kata Haji Hasan Kasim, Dir-Ut PT Pusri. Unit pengantongan pupuk itu pada 12 September lalu diresmikan gubernur FWP Tambunan. Unit ini dibangun di Belawan adalah untuk mempermudah pihak PT Pusri mensuplai pupuk untuk kawasan Sumatera Utara dan Aceh. Kedua daerah ini setiap tahun diperkirakan membutuhkan 100 sampai 120 ribu ton. Unit di selawan ini juga dimaksudkan turut menopang hasrat mengekspor pupuk ke beberapa negara tetangga. Tanpa menyebutkan angka, gubernur Tambunan mengatakan, di Sumatera Utara yang banyak memakai pupuk adalah perkebunan. "Padahal seharusnya para petanilah, mengingat daerah ini memiliki daerah pertanian yang luas," katanya. Sementara itu, "harga pupuk yang murah belum terselesaikan secara tuntas," tambahnya. Termasuk juga bagaimana mendistribusikannya ke daerah-daerah dan dapat terjangkau para petani secara mudah. Sedang pihak Pusri sendiri, seperti dikatakan Haji Hasan Kasim, "hanya dapat menyebarkan sampai ke daerah tingkat dua atau kawasan kabupaten." Tapi lain halnya para petani di Kabupaten Tanah Karo. Menurut ir A. Rahman Rangkuty, project manager P3RSU (Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara) di Aek Nabara, Labuhan satu, "petani Karo telah pupuk-minded." Menurutnya "kegandrungan petani-petani di Tanah Karo terhadap pupuk belum ada tandingannya di Indonesia." Mungkin karena daerah Karo selain memang cocok untuk persayuran dan hasilnya dulu pernah diekspor ke Malaysia dan Singapura (sebelum zaman konfrontasi), para petani di sana juga tak pernah patah arang dalam mengurus pengadaan pupuk. Jadi tidak heran kalau PT Pusri perlu juga menyediakan gudang pupuk dengan kapasitas tampung sampai 5.000 ton di Ibukota kabupaten Karo di Kabanjahe. Juga di Balige untuk Tapanuli Utara, P. Siantar untuk kawasan Kabupaten Simalungun dan gudang berkapasitas 3.500 ton di Padang Sidempuan di Tapanuli Selatan. Tambunan menyebut pula soal produksi pangan di Sumatera Utara yang belum bisa mengimbangi pertambahan penduduk. Ucapan ini ia ulangi lagi 1 September lalu ketika Tambunan membuka Konsultasi dan Pertemuan Teknis Pengujian Pembangunan Pertanian Pangan Wilayah "A" di Gedung Gohor Medan. Menyimak pengakuan Tambunan ini agak menarik pula. Sebab, di zaman Gubernur Marah Halim, justru disebut-sebut masalah pangan (terutama beras) di daerah ini tak perlu dikhawatirkan. Lontaran ini dulu diucapkan ir Effendy Salam, Inspektur dan Kepala Dinas Pertanian Sumatera Utara. "Pengadaan pangan di Sumatera Utara belum terpecahkan," tegas Tambunan lagi tanpa malu-malu . J adi bertolak belakang benar dengan ucapan "kecap" Maram Halim. Defisit beras di sana terpaksa ditutupi terus dengan beras impor. Sedang pada tahun 1977 lalu saja Depot Logistik di Medan harus mengimpor beras 183.876 ton, selain sebagian ditutupi dari beras yang didatangkan dari Aceh, Sumatera Barat dan Jawa. Sumatera Utara mulai gawat dalam urusan beras sejak tahun 1973. Yaitu sejak wereng menggerayangi sawah-sawah petani selain pengaruh iklim dan hal-hal yang berkaitan dengan produksinya. Di antaranya banyak tanggul yang jebol dihantam banjir dan irigasi-irigasi yang rusak karena pemborongnya kurang becus akibat kurang kontrol dari Pemda setempat. Misalnya seperti yang terjadi di Asahan dan Deli Serdang, dua daerah penghasil beras penting di Sumatera Utara -- di samping Simalungun, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus