AKHIRNYA semakin jelas. Festival Penyanyi Populer harus
benar-benar dibedakan dengan Festival Lagu Populer Nasional.
Selama 5 tahun kedua kegiatan tersebut saling berhimpit,
bergandengan. Kadangkala dilupakan apakah yang lebih penting
memilih penyanyi atau memilih lagu. Sementara target untuk
mengikuti Festival puncak di Tokyo jelas mementingkan Festival
Lagu Populer.
Tahun ini, kedua kegiatan berjalan sendiri-sendiri. Panitia
Festival Penyanyi menyelenggarakan hajatnya di Balai Sidang
Senayan tanggal 14 September. Ia merupakan kegiatan resmi yang
direstui SK Menteri P&K. Sementara Panitia Festival Lagu tetap
merupakan kegiatan swasta yang disponsori Yayasan Music Yamaha.
Panitia ini, memilih komposisi lagu terbaik, baru berlangsung di
panggung Studio V RRI Jakarta tanggal 23 September waktu naskah
ini diturunkan peristiwanya belum berlangsung.
Nyentrik
Perbedaan pihak yang mendukung jelas membawa perbedaan akibat.
Dibanding festival sebelumnya, misalnya, festival penyanyi
populer tidak lagi menekankan pengertian kata "pop" pada
kebebasan berekspresi para penyanyi di panggung. Didominir
peserta wanita, para finalis muncul dengan jas rapi dan gaun
malam yang rupawan, dalam batasbatas kesopanan yang "dapat
dipertanggung jawabkan".
Tak dapat lagi dijumpai busana yang nyentrik seperti pernah
dikenakan Melky Goeslauw. Juga tidak dapat lagi dihasilkan
penampilan yang resah, kasar, santai, sesuai dengan watak
masing-masing penyanyi. Semuanya satu nada pucat, tertib, selain
ngebet untuk menunjukkan keterampilan teknis penguasaan suara.
Dengan satu kata tidak atraktif lagi.
Dengan bobot yang lebih menyerupai perataan kesempatan, muncul
beberapa penyanyi dari berbagai propinsi bersaing dengan 2
jagoan ibukota Hetty Koes Endang dan Zwesty Wirabhuana. Sebelum
pertandingan diumbar pun orang sudah dapat menduga kedua wakil
Jakarta itu akan merengggutkan tempat terbaik -- menilik
prestasi yang mereka perlihatkan di babak semi final.
Tapi juga peserta dari Irian Jaya Joice Pattipeilohy, sudah
memberikan tanda-tanda akan mampu menyisihkan wakil-wakil
propinsi yang lain. Dan benarlah. Dengan hakim 13 orang yang
diketuai F.X. Sutopo, Hetty dinobatkan sebagai juara I dengan
mengumpulkan angka kemenangan 8783. Ia membawakan lagu wajib
Waktu dan lagu pilihan Lahir Satu Lagi (Titiek Puspa).
Kursi kedua ditempati oleh Zwesty Wirabhuana dengan angka 8502,
lewat lagu pilihan Renjana (Guruh) dan lagu wajib Harmoni
Kehidupan. Biduan berbakat ini seharusnya dapat mengalahkan
Hetty kalau saja keadaan lagu wajib tidak terlalu sulit seperti
itu. "Anak itu luar biasa malam itu," kata Titiek Puspa yang
ikut jadi juri. Zwesty memiliki kemantapan emosi serta
pendekatan yang lebih dewasa dibanding Hetty.
Hetty sendiri memiliki kemerduan suara dan lengkingan-lengkingan
yang lantang memang, tetapi pusat perhatiannya malam itu hanya
pada teknik. Sementara secara potensiil, Zwesty lebih kaya, bisa
cocok untuk berbagai macam lagu. Tapi Hetty memang bagus kalau
mendapat lagu tepat seperti Mama (Titiek Puspa) atau Kemuning
(Riyant --) "Hetty tampil tidak terlalu istimewa -- di bawah
bentuk yang sesungguhnya," kata Titiek.
Joice Pattipeilohy, sebagai juara tiga, dikuntit oleh 3 orang
pemenang harapan dengan urutan: I. Dewi Yull (Jawa Barat), II.
Andria Hendro (Riau) dan III. Fitri Yanti Wahah (Sum-Sel). Joice
memang agak berbeda dengan wakil daerah lainnya, sejak ia
menginap di Hotel Kartika Plaza. Di sana ia selalu sibuk,
omongannya ceplas-ceplos, sementara rekan-rekannya pada mengunci
diri di dalam kamar. Titiek Puspa menaruh perhatian khusus pada
cewek ini. "Joice memiliki materi suara yang baik. Tinggal
melatih teknik dan penampilan saja, anak itu bisa jadi penyanyi
yang bagus. Ia tinggal dipoles sedikit," katany seperti ibu.
Poles saja deh.
Di luar ketiga orang pemenang, yang amat menarik dari para
peserta adalah usaha memerdu-merdukan suara. Secara artifisial
sekali banyak finalis yang berusaha menjiwai lagu dengan
perasaan yang dangkal. Lagu didramatisir, sambil dengan penuh
ketakutan dijaga agar suara tetap lembut. Sebagai akibarnya
lagunya malah tidak keluar. Kiblat mereka jelas pada lagu
seriosa, hiburan dan langgam dari masa perebutan Bintang Radio
tahun-tahun lalu.
Itu jelas berbeda dengan kecenderungan pada festival sebelumnya
yang mengarah kepada country, folk, rock dan jazz. Pantas
disindirkan, bahwa memapankan teknik menyanyi tentulah tidak
harus dengan menghilangkan kejujuran dalam ekspresi. Meskipun
pengertian "pop" barangkali hendak diartikan sebagai lagu
hiburan yang "sehat" dan "berkepribadian", dan ehem -- merdu.
Alat Menanak Nasi
"Para penyanyi dari daerah kali ini tampak hanya nunut saja.
seda dengan tahun lalu yang lebih agresif," kata Mus Mualim
lalu. Ia termasuk orang yang beranggapan, mutu para penyanyi
daerah yang ikut sekarang masih di bawah tahun lalu. "Sebagai
akibatnya," kata Mus, "baik Hetty maupun Zwesty tidak perlu
mengalahkannya dengan kondisi total." Ini tentu saja tidak baik
buat kedua juara itu -- karena masyarakat tidak hanya
mengharapkan mereka menang, tapi menunjukkan kemampuan yang
lebih besar dari tahun lalu. Tantangan yang enteng iru rupanya
membuat keduanya menjadi santai -- tampil dengan cukupan saja.
Lalu kalau begitu, masih dapatkah kita percayai sekarang arena
festival ini sebagai tanda bukti keunggulan penyanyi pop
pribumi, dalam satu tahun? Ketua Umum Festival, Kolonel
Sampurno SH -- yang juga Direktur Pengembangan Kesenian Dep. P&K
-- memberi keterangan bahwa festival kini lebih diartikan
sebagai pencarian bakat kesenian populer. "Keseimbangan antara
pengembangan bakat, pembinaan dan apresiasi, itu yang ingin
dicapai dalam festival," demikian sang Kolonel. "Mengembangkan
inisiatif masyarakat itu yang harus digali! "
Paul Hutabarat, dari pihak panitia Festival Lagu Pop VI
(festival yang satunya lagi), tidak memberi keterangan penting.
Ia hanya berusaha menjelaskan posisi festival yang digarapnya --
yang oleh banyak orang dicela karena terlalu berkiblat ke Tokyo.
Memang kiblatnya Tokyo, karena pihak sponsor adalah Yayasan
Musik Yamaha -- yang berani menanggung ongkos akomodasi komposer
dan penyanyi pulang pergi. "Boleh saja Indonesia ikut festival
lagu populer di lain negara, tapi kasihlah duitnya," kata Paul.
"Santai saja, kalau mau Tokyo boleh ikut, kalau tidak, nggak
apa," ujarnya kira-kira, dengan bahasa Inggeris.
Jelas sudah misi Festival Penyanyi Populer (sekali lagi
penyanyi) berbeda antara tahun-tahun sebelumnya dengan kini.
Dulu bersifat membina penyanyi profesional mencapai mutu yang
tidak memalukan. Kini lebih merupakan pembinaan apresiasi. Paul,
dari pihak festival lagu, melihat sulit sekali bagi penyanyi
daerah untuk menang, karena keadaan Jakarta dengan daerah-daerah
begitu berbeda. Di Jakarta ladang pop begitu subur, banyak
tempat merupakan kancah pembibitan. "Kirim saja mereka ke
kandang harimau (maksudnya Jakarta), nanti kan bisa mengaum,"
katanya.
Di luar bergesernya arah festival dan merosotnya mutu para
peserta, ada lagi yang pantas dicatat. Lantaran Departemen P&K
tidak menjual karcis, salai Sidang benar-benar penuh manusia.
Namun anehnya suasana sangat loyo. Di samping itu panitia sempat
membacakan daftar sumbangan hadiah -- entah dengan maksud apa --
termasuk sumbangan 3 potong kain pakaian. Sumbangan ini
diketawakan oleh penonton, karena itu tak lama kemudian
buru-buru diralat: yang dimaksud adalah sumbangan tiga potong
kain yang masing-masingnya terdiri dari 30 meter.'Penonton tetap
ketawa. seberapa orang di antaranya tertidur.
Dengan kemenangan kali ini, Hetty menerima sebuah sepeda motor
yang sejak sore sudah dipajang di antara piala. Ia juga mendapat
sebuah kulkas, tiket Jakarta-Hongkong dan Jakarta-Denpasar,
semuanya pp, fasilitas menginap di Bali Beach Hotel dan Hilton
Hotel. Selain itu juga sebuah alat menanak nasi alias rice
cooker. Barangkali berguna untuk kesibukan-kesibukannya di masa
datang, sebab dengan kemenangan kini, peraturan festival tidak
membenarkannya ikut bertanding lagi tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini