Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bergeser dan merosot

Festifal lagu populer vi/1978 di jakarta yang disponsori yayasan music yamaha dimenangkan hetty koes endang sebagai juara i, zwesty wirabhuana juara ii dan joice pattipeilohy juara iii.

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA semakin jelas. Festival Penyanyi Populer harus benar-benar dibedakan dengan Festival Lagu Populer Nasional. Selama 5 tahun kedua kegiatan tersebut saling berhimpit, bergandengan. Kadangkala dilupakan apakah yang lebih penting memilih penyanyi atau memilih lagu. Sementara target untuk mengikuti Festival puncak di Tokyo jelas mementingkan Festival Lagu Populer. Tahun ini, kedua kegiatan berjalan sendiri-sendiri. Panitia Festival Penyanyi menyelenggarakan hajatnya di Balai Sidang Senayan tanggal 14 September. Ia merupakan kegiatan resmi yang direstui SK Menteri P&K. Sementara Panitia Festival Lagu tetap merupakan kegiatan swasta yang disponsori Yayasan Music Yamaha. Panitia ini, memilih komposisi lagu terbaik, baru berlangsung di panggung Studio V RRI Jakarta tanggal 23 September waktu naskah ini diturunkan peristiwanya belum berlangsung. Nyentrik Perbedaan pihak yang mendukung jelas membawa perbedaan akibat. Dibanding festival sebelumnya, misalnya, festival penyanyi populer tidak lagi menekankan pengertian kata "pop" pada kebebasan berekspresi para penyanyi di panggung. Didominir peserta wanita, para finalis muncul dengan jas rapi dan gaun malam yang rupawan, dalam batasbatas kesopanan yang "dapat dipertanggung jawabkan". Tak dapat lagi dijumpai busana yang nyentrik seperti pernah dikenakan Melky Goeslauw. Juga tidak dapat lagi dihasilkan penampilan yang resah, kasar, santai, sesuai dengan watak masing-masing penyanyi. Semuanya satu nada pucat, tertib, selain ngebet untuk menunjukkan keterampilan teknis penguasaan suara. Dengan satu kata tidak atraktif lagi. Dengan bobot yang lebih menyerupai perataan kesempatan, muncul beberapa penyanyi dari berbagai propinsi bersaing dengan 2 jagoan ibukota Hetty Koes Endang dan Zwesty Wirabhuana. Sebelum pertandingan diumbar pun orang sudah dapat menduga kedua wakil Jakarta itu akan merengggutkan tempat terbaik -- menilik prestasi yang mereka perlihatkan di babak semi final. Tapi juga peserta dari Irian Jaya Joice Pattipeilohy, sudah memberikan tanda-tanda akan mampu menyisihkan wakil-wakil propinsi yang lain. Dan benarlah. Dengan hakim 13 orang yang diketuai F.X. Sutopo, Hetty dinobatkan sebagai juara I dengan mengumpulkan angka kemenangan 8783. Ia membawakan lagu wajib Waktu dan lagu pilihan Lahir Satu Lagi (Titiek Puspa). Kursi kedua ditempati oleh Zwesty Wirabhuana dengan angka 8502, lewat lagu pilihan Renjana (Guruh) dan lagu wajib Harmoni Kehidupan. Biduan berbakat ini seharusnya dapat mengalahkan Hetty kalau saja keadaan lagu wajib tidak terlalu sulit seperti itu. "Anak itu luar biasa malam itu," kata Titiek Puspa yang ikut jadi juri. Zwesty memiliki kemantapan emosi serta pendekatan yang lebih dewasa dibanding Hetty. Hetty sendiri memiliki kemerduan suara dan lengkingan-lengkingan yang lantang memang, tetapi pusat perhatiannya malam itu hanya pada teknik. Sementara secara potensiil, Zwesty lebih kaya, bisa cocok untuk berbagai macam lagu. Tapi Hetty memang bagus kalau mendapat lagu tepat seperti Mama (Titiek Puspa) atau Kemuning (Riyant --) "Hetty tampil tidak terlalu istimewa -- di bawah bentuk yang sesungguhnya," kata Titiek. Joice Pattipeilohy, sebagai juara tiga, dikuntit oleh 3 orang pemenang harapan dengan urutan: I. Dewi Yull (Jawa Barat), II. Andria Hendro (Riau) dan III. Fitri Yanti Wahah (Sum-Sel). Joice memang agak berbeda dengan wakil daerah lainnya, sejak ia menginap di Hotel Kartika Plaza. Di sana ia selalu sibuk, omongannya ceplas-ceplos, sementara rekan-rekannya pada mengunci diri di dalam kamar. Titiek Puspa menaruh perhatian khusus pada cewek ini. "Joice memiliki materi suara yang baik. Tinggal melatih teknik dan penampilan saja, anak itu bisa jadi penyanyi yang bagus. Ia tinggal dipoles sedikit," katany seperti ibu. Poles saja deh. Di luar ketiga orang pemenang, yang amat menarik dari para peserta adalah usaha memerdu-merdukan suara. Secara artifisial sekali banyak finalis yang berusaha menjiwai lagu dengan perasaan yang dangkal. Lagu didramatisir, sambil dengan penuh ketakutan dijaga agar suara tetap lembut. Sebagai akibarnya lagunya malah tidak keluar. Kiblat mereka jelas pada lagu seriosa, hiburan dan langgam dari masa perebutan Bintang Radio tahun-tahun lalu. Itu jelas berbeda dengan kecenderungan pada festival sebelumnya yang mengarah kepada country, folk, rock dan jazz. Pantas disindirkan, bahwa memapankan teknik menyanyi tentulah tidak harus dengan menghilangkan kejujuran dalam ekspresi. Meskipun pengertian "pop" barangkali hendak diartikan sebagai lagu hiburan yang "sehat" dan "berkepribadian", dan ehem -- merdu. Alat Menanak Nasi "Para penyanyi dari daerah kali ini tampak hanya nunut saja. seda dengan tahun lalu yang lebih agresif," kata Mus Mualim lalu. Ia termasuk orang yang beranggapan, mutu para penyanyi daerah yang ikut sekarang masih di bawah tahun lalu. "Sebagai akibatnya," kata Mus, "baik Hetty maupun Zwesty tidak perlu mengalahkannya dengan kondisi total." Ini tentu saja tidak baik buat kedua juara itu -- karena masyarakat tidak hanya mengharapkan mereka menang, tapi menunjukkan kemampuan yang lebih besar dari tahun lalu. Tantangan yang enteng iru rupanya membuat keduanya menjadi santai -- tampil dengan cukupan saja. Lalu kalau begitu, masih dapatkah kita percayai sekarang arena festival ini sebagai tanda bukti keunggulan penyanyi pop pribumi, dalam satu tahun? Ketua Umum Festival, Kolonel Sampurno SH -- yang juga Direktur Pengembangan Kesenian Dep. P&K -- memberi keterangan bahwa festival kini lebih diartikan sebagai pencarian bakat kesenian populer. "Keseimbangan antara pengembangan bakat, pembinaan dan apresiasi, itu yang ingin dicapai dalam festival," demikian sang Kolonel. "Mengembangkan inisiatif masyarakat itu yang harus digali! " Paul Hutabarat, dari pihak panitia Festival Lagu Pop VI (festival yang satunya lagi), tidak memberi keterangan penting. Ia hanya berusaha menjelaskan posisi festival yang digarapnya -- yang oleh banyak orang dicela karena terlalu berkiblat ke Tokyo. Memang kiblatnya Tokyo, karena pihak sponsor adalah Yayasan Musik Yamaha -- yang berani menanggung ongkos akomodasi komposer dan penyanyi pulang pergi. "Boleh saja Indonesia ikut festival lagu populer di lain negara, tapi kasihlah duitnya," kata Paul. "Santai saja, kalau mau Tokyo boleh ikut, kalau tidak, nggak apa," ujarnya kira-kira, dengan bahasa Inggeris. Jelas sudah misi Festival Penyanyi Populer (sekali lagi penyanyi) berbeda antara tahun-tahun sebelumnya dengan kini. Dulu bersifat membina penyanyi profesional mencapai mutu yang tidak memalukan. Kini lebih merupakan pembinaan apresiasi. Paul, dari pihak festival lagu, melihat sulit sekali bagi penyanyi daerah untuk menang, karena keadaan Jakarta dengan daerah-daerah begitu berbeda. Di Jakarta ladang pop begitu subur, banyak tempat merupakan kancah pembibitan. "Kirim saja mereka ke kandang harimau (maksudnya Jakarta), nanti kan bisa mengaum," katanya. Di luar bergesernya arah festival dan merosotnya mutu para peserta, ada lagi yang pantas dicatat. Lantaran Departemen P&K tidak menjual karcis, salai Sidang benar-benar penuh manusia. Namun anehnya suasana sangat loyo. Di samping itu panitia sempat membacakan daftar sumbangan hadiah -- entah dengan maksud apa -- termasuk sumbangan 3 potong kain pakaian. Sumbangan ini diketawakan oleh penonton, karena itu tak lama kemudian buru-buru diralat: yang dimaksud adalah sumbangan tiga potong kain yang masing-masingnya terdiri dari 30 meter.'Penonton tetap ketawa. seberapa orang di antaranya tertidur. Dengan kemenangan kali ini, Hetty menerima sebuah sepeda motor yang sejak sore sudah dipajang di antara piala. Ia juga mendapat sebuah kulkas, tiket Jakarta-Hongkong dan Jakarta-Denpasar, semuanya pp, fasilitas menginap di Bali Beach Hotel dan Hilton Hotel. Selain itu juga sebuah alat menanak nasi alias rice cooker. Barangkali berguna untuk kesibukan-kesibukannya di masa datang, sebab dengan kemenangan kini, peraturan festival tidak membenarkannya ikut bertanding lagi tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus