Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Paris yang anggun dan nakal

Pameran adibusana paris di jakarta oleh 11 orang perancang dan rumah mode. memamerkan gaun-gaun karya, antara lain montana, tarlazzi, lanvin dan guyla roche. juga dipamerkan bermacam asesories. (ils)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang masih bisa dijual terus-menerus, dengan harga milyaran dolar setahun, padahal yang membikinnya sudah ada yang mati atau pensiun? Jawabnya: adibusana dari Paris. Sering diibaratkan lokomotif penarik deretan gerbong bermuatan aneka produk rumah mode selain busana (asoseris yang tak bisa dianggap remeh, seperti syal, tas, sepatu, perhiasan, parfum, kosmetik dan banyak lagi), adibusana alias haute-coture memang istimewa bukan hanya karena segi kreativitas dan kualitas produknya. Tapi juga karena "limbah produksi" yang dilahirkannya. Lambang dua huruf C kait-mengait dari rumah mode Chanel, misalnya, merupakan jaminan gaya sudah sejak 1921 - saat Coco Chanel memperkenalkan gaun-gaun lurus tanpa pinggang ketat, bersamaan dengan lahirnya parfum Nomor 5 yang tersohor itu. Hingga kini, rumah mode yang bertahan dengan garis-garis klasik itu masih mengeluarkan produk-produk baru, terutama parfum dan aneka sepatu dan tas meski pemilik namanya yang asli - wanita bertubuh kecil dan energetik - sudah berpulang pada 1971. Tentu, seni menjamin mutu bukan perkara yang mudah. Apalagi dalam kurun 1920-an, ketika gaya hidup konsumen selalu berubah. Dahulu, di tahun 50-an Christian Dior berarti gaun-gaun malam yang menyapu lantai dengan anggun, tapi kini nama mendiang itu bisa lebih berarti dasi, seprai, bahkan deretan handuk mandi. Diversifikasi produk, sambil tetap mempertahankan citra Prancis, dalam usaha makin melebarkan sayap ke seluruh dunia, itulah yang membawa Sindikat Adibusana Paris menapakkan kakinya di Jakarta Hilton minggu lalu. Organisasi yang menangani peragaan pakaian jadi dari koleksi rumah busana itu, kali ini tidak tanggung-tanggung, memboyong koleksi 11 orang perancang dan rumah mode - termasuk ahli tata lampu, teknisi panggung, dan sejumlah peragawati dari Milan, Paris, dan New York. Tidak seluruhnya merupakan pengabadian nama para tokoh yang telah di alam baka atau pensiun (Chanel, atau Nina Ricci, misalnya), nama-nama relatif baru dengan penampilan dinamis seperti Claude Montana dan Angelo Tarlazzi pun hadir. Montana menampilkan garis bahu yang besar dan warna khaki dengan sentuhan gaun safari Afrika, lengkap dengan topi kolonial Albert Schweitzer yang dimodifikasi agar tetap feminin kesannya. Tarlazzi, yang terkenal dengan slogannya yang hanya mau merancang untuk "wanita-wanita berkepribadian", tampil mengejutkan. Para peragawati yang dirias pucat dan kekanakan muncul dengan gaun-gaun straples hitam putih, dengan rok-rok pendek dari tule sebatas lutut menerawang tembus mata, mirip sekali dengan dandanan Marilyn Monroe di tahun 1950-an. Seksi, sekaligus nakal. Sementara itu, Lagerfeld, yang sering meminjamkan tangan dan namanya untuk rumah mode lain seperti Chloe dan Chanel, mengambil gaya retro, kilas balik tahun 1960-an, dengan ragam bias optik yang dipadu dengan gaya safari, yaitu ikat pinggang yang dipenuhi selongsong peluru. Ada kesan humor, terutama pada para perancang muda. Sonie Rykiel, misalnya, muncul dengan gaun-gaun rajutan mini yang ketat dan penuh detail manis tak terduga. Pita-pita bisa muncul d rambut, lengan, atau di pantat. Nama-nama besar semacam Lanvin, atau Guy La Roche, seperti biasa tampil dengan anggun, meski diselipi asesoris batu-batuan palsu, bahkan plastik, yang serba besar dan mengkilat. Terakhir, dan paling mewakili semangat tradisi kualitas material dan jahitan yang prima, adalah Yves Saint Laurent. Bekas anak ajaib yang pada usia 16 tahun telah menciptakan rancangan yang dipakai Christian Dior ini mengolah kain denim bahan jeans, sebagai seolah-olah kain sutera wol gabardin yang mahal. Dipotong berbentuk jas yang pas dengan lekukan tubuh atau straples seksi, kesannya baru sama sekali. Feminin dan segar. Koleksi rancangan untuk musim semi dan musim panas (yang juga dipakai untuk mencari dana oleh Yayasan Kanker Indonesia), menurut koordinatornya, Denise Dubois, belum akan muncul di butik-butik seluruh dunia sebelum Februari mendatang. Jadi, masih asli, belum dimodifikasikan. Seperti diketahui, menjaga keaslian desain dilakukan bak menjaga rahasia negara. Di satu pihak, para pemegang franchise, pengecer dan pemegang lisensi tanda tangan perancang baru, memperoleh lampu hijau berproduksi bila semua klausul dalam kontrak telah dipenuhi termasuk kapan kertas pola boleh mulai digelar di kain dan dipotong. Namun, di pihak lain, pelebaran sayap ke negara-negara seperti Amerika Latin dan Asia Tenggara dibayang-bayangi oleh pemalsuan produk dan jatuhnya merek. Apalah artinya pemalsuan sebuah nama? Banyak sekali. Coba simak catatan omset produksi adibusana Prancis untuk 1985, sebelum dipotong pajak. Besarnya 3,5 milyar franc. Sedang dari asesoris dan produk sampingan berjumlah 19 milyar franc. Padahal produk sampingan itulah yang paling mudah ditiru: ada yang dibuat di negeri-negeri yang rajin meng-copy. Bagaimana dengan nasibnya di sini? A.M.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus