Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilu pada masa Orde Baru selama enam kali penuh intimidasi, manipulasi, dan kecurangan, sehingga "hasil"-nya adalah keadaan yang kita rasakan sekarang. Karena itu tidak salah kalau banyak kalangan masih meragukan Pemilu 7 Juni 1999 mendatang berlangsung demokratis, jujur, adil, dan (ini yang penting) bermoral dan beradab. Indikasi dan gejala memang menunjukkan praktek ke arah kecurangan dan diskriminasi sangat jelas terlihat, misalnya:
- Partai-partai peserta Pemilu 99 diharuskan mendaftar, tetapi Golkar (ketika belum dideklarasikan sebagai partai, lo!) ternyata dibebaskan dari kewajiban itu. Belakangan, karena desakan dan tekanan seluruh rakyat, akhirnya mendaftar juga. Jadi, sama sekali bukan karena kesadaran bahwa pemilu harus berlangsung demokratis dan jurdil.
- "Partai Golkar" dideklarasikan tanggal 7 Maret 1999, padahal sebelumnya telah dinyatakan memenuhi syarat sebagai peserta pemilu. Ibaratnya bayinya belum lahir, tetapi aktanya sudah jadi; sedangkan partai lain tidak demikian. Ada juga yang mengibaratkan, bayinya belum lahir tapi sudah diterima sekolah di taman kanak-kanak. Aneh tapi nyata!
- Golkar selama 32 tahun tidak mau disebut partai, kemudian mendeklarasikan diri menjadi "Partai Golkar". Lalu, Golkarnya sendiri bubar, tidur, atau bagaimana? Bukankah Bung Harmoko, Bung Gafur, dan lain-lain itu mewakili Golkar, sama sekali bukan mewakili Partai Golkar yang baru saja dilahirkan pada 7 Maret 1999? Sungguh ajaib, pada saat dideklarasikan (artinya baru lahir) Partai Golkar sudah mendominasi DPR dan MPR, sedangkan partai lain (seperti PDI Perjuangan, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan) ternyata tidak punya wakil satu pun di DPR maupun MPR. Di mana letak adilnya pemilu kalau begini caranya?
Saya juga curiga, jangan-jangan krisis ini memang sengaja tidak ditangani dengan serius supaya rakyat benar-benar sengsara dan dengan lebih mudah "dibeli" dengan money politics. Setelah rakyat "megap-megap" akibat krisis yang dibiarkan berlarut-larut, datanglah "malaikat-malaikat" berbekal JPS (yang diselewengkan) dan yang dikumpulkan semasa Orde Baru. Padahal dana JPS adalah hak rakyat yang terpukul oleh krisis dan (ini yang harus disadari) JPS itu adalah utang yang akan ditanggung dan dibayar oleh seluruh rakyat, bukan oleh salah satu partai peserta pemilu.
Karena itu, segenap kekuatan reformasi seharusnya bersatu padu untuk membendung kekuatan status quo. Platformnya tidak usah terlalu muluk-muluk, cukup dengan membendung kekuatan status quo tersebut! Kalau sampai kekuatan status quo menang, kandaslah perjuangan reformasi. Siapa yang menjadi tulang punggung kekuatan status quo? Jawabannya semua orang sudah tahu!
Nama dan alamat ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo