Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Partai islam ditantang

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiadaan tokoh dianggap sebagai latar belakang terpuruknya elektabilitas partai politik berbasis Islam. Tapi itu rupanya tak cuma terjadi sekarang. Tak adanya tokoh partai Islam, yang besar massanya tapi kerdil di peran politik, sudah lama terjadi, seperti pernah ditulis dalam artikel di rubrik Nasional majalah ini pertengahan 1971-pasca-pemilihan umum.

Saat itu terkenang peristiwa di Bandung pada 18 Juni 1916 ketika Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam digelar. Dari panggung di pojok alun-alun yang dipenuhi pengunjung rapat umum, Haji Oemar Said Tjokroaminoto dengan gayanya yang khas antara lain berkata, "Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah sonder kita, dan sonder ikut serta kita... kita akan terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur akan datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda...."

Pidato Tjokroaminoto itu adalah pidato politik dan kongres yang mereka adakan, kongres politik. Itu adalah peristiwa, yang seperti kemudian ditulis oleh Muhammad Roem, "paling penting bagi sejarah perkembangan politik di Indonesia". Sejarah boleh mencatat bahwa gerakan politik bersifat nasional pertama di Indonesia dirintis dan dimulai oleh golongan Islam.

Tidak hanya sampai di situ. Sejarah juga boleh mencatat bahwa dua gerakan politik besar yang kemudian tumbuh dan berkembang di samping gerakan politik Islam, yaitu nasionalisme dan sosialisme, mendapat latihan pertama dari gerakan politik Islam itu. Bahkan, hanya beberapa tahun setelah kongres Bandung itu, Tjokroaminoto sendiri yang telah menyebut-nyebut tentang sosialisme dan berkata "adalah untuk itu SI mengarahkan pandangannya ke depan".

Empat puluh lima tahun berselang, di Indonesia yang sudah jadi negara merdeka, Partai Komunitas Indonesia telah lenyap dan Partai Nasional Indonesia meluncur rontok menjadi partai kecil setelah pemilihan umum kedua. Lalu golongan politik Islam? Penganut Islam sendiri masih tetap mayoritas dan konon berkembang, tapi dalam politik ia adalah minoritas. Terlebih ia terpecah dalam empat partai politik yang tidak bisa dikatakan sehaluan kekuatannya.

Apa sebabnya demikian? "Kekalahan parpol Islam dalam pemilu yang lalu karena mereka kehilangan tema kampanye," kata Ridwan Saidi, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Indonesia. Nahdlatul Ulama, menurut dia, masih beruntung karena adanya intimidasi sehingga bisa menggunakan hal itu sebagai temanya. "Tapi Parmusi, yang hanya mengandalkan mitos bulan-bintang; Perti; dan PSII praktis tidak melakukan kampanye."

Zamroni, tokoh muda NU dari PMII, menambahkan, "Partai-partai Islam mempunyai kelemahan dalam kesatuan nilai strategi dan pengorganisasian." Adapun dari PSII, Sjarifuddin Harahap, seperti Ridwan Saidi, menunjuk contoh kecilnya suara yang diperoleh Parmusi hanya karena mengandalkan mitos bulan-bintang. "Jangan terlalu melihat faktor ekstern," ujarnya.

Alasan yang dikemukakan Nurcholish Madjid, Ketua Umum PB HMI, lebih bersifat fundamental. "Kekalahan partai-partai Islam tidak bisa dipisahkan dari keadaan kehidupan golongan Islam sekarang secara keseluruhan," kata tokoh muda Islam yang banyak melemparkan kritik terhadap sikap dan konsepsi pimpinan Islam ini. "Golongan Islam sedang mengalami frustrasi besar."

Dan mudah dimengerti jika rasa frustrasi itu ke bawah sering tersalurkan dalam sikap reaktif, yang tentu saja lebih emosional daripada rasional. Adanya sikap yang serba oposisi, serangan terhadap sebuah cerita pendek di majalah Sastra yang diikuti dengan penyerbuan ke kantor majalah tersebut, dan terjadinya pembakaran-pembakaran gereja adalah refleksi dari rasa frustrasi yang sedang menghinggapi golongan politik Islam itu.

Endang Saifuddin Anshari, tokoh muda Islam di Bandung dan putra almarhum KH Anshari, sependapat adanya frustrasi dalam golongan Islam, tapi dalam hal ini ia melihat kesempatan yang tidak diberikan. Endang mengatakan inteligensia dan teknokrat muslim memang jauh dari memadai. "Tapi dari yang sedikit ini adakah diberi kesempatan yang wajar untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan?" ujarnya.

Dalam hal ini, Nurcholish Madjid tidak melihat masalahnya adalah kesempatan yang diberikan, turut atau tidak turut berpartisipasi. Masalahnya adalah apakah golongan Islam itu siap atau tidak. Dan, bagi Nurcholish, jawabannya "tidak".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus