Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN Umum 2014 harus diselamatkan dari golongan putih. Pesta demokrasi untuk memilih anggota legislatif, dewan perwakilan daerah, dan presiden secara langsung ini harus diikuti sebanyak mungkin penduduk. Minimnya partisipasi pemilih pada tingkat yang paling ekstrem akan membuat demokrasi kehilangan rohnya: suara terbanyak adalah mereka yang menarik selimut pada hari pencoblosan dan sang pemenang adalah mereka yang dipilih sekelompok kecil orang. Fasisme di Eropa-terpilihnya secara demokratis Adolf Hitler di Jerman dan Benito Mussolini di Italia-terjadi karena apatisme semacam ini.
Komisi Pemilihan Umum menargetkan partisipasi masyarakat dalam pemilu mendatang hingga 75 persen. Meski demikian, sejumlah survei memberikan gambaran yang lebih pesimistis: publik yang tak memilih bisa mencapai empat persepuluh. Gerakan melawan golput ini hanya bisa dilakukan dengan terus-menerus mengkampanyekan perlunya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Komisi Pemilihan Umum wajib melakukan sosialisasi terutama terhadap pemilih pemula, yang besarnya diperkirakan 40 persen dari total pencoblos.
Golput pada 2014 adalah gerakan salah kaprah. Ia bukan perlawanan politik yang heroik seperti ketika dicetuskan Arief Budiman dan kawan-kawan di masa rezim Soeharto dulu. Saat itu golput adalah sinisme terhadap demokrasi pura-pura yang sebenarnya telah diatur untuk menghapus kontestasi dan memenangkan Golkar semata. Ketika itu, golongan "putih" adalah antitesis terhadap kedigdayaan penguasa "hitam" Orde Baru.
Golput juga kedaluwarsa. Demokrasi hari ini berbeda dengan saat gerakan itu dilahirkan. Pemilu 2014 diikuti banyak partai yang-suka atau tidak suka-lahir dari kehendak orang ramai. Tak ada pemaksaan kehendak dalam pembentukan partai-partai itu. Tak ada fusi dan penyederhanaan. Tak ada juga penunjukan orang-orang pemerintah untuk duduk di kursi ketua dan pengurus lainnya.
Karena itulah, sejak Pemilu 1999, Arief Budiman membatalkan golputnya dan ikut mencoblos. Masih banyaknya politikus bermasalah dalam daftar calon semestinya tak membuat pemilih surut langkah. Seperti telah dilansir sejumlah lembaga swadaya masyarakat, tersedia banyak politikus "putih" untuk dipilih-yang terserak di banyak partai.
Angka golput pascareformasi memang meningkat dari waktu ke waktu. Pada 1999, jumlahnya cuma sekitar 10 persen. Lima tahun kemudian, golput meningkat menjadi 23 persen, dan pada pemilu berikutnya 29 persen-melebihi suara Partai Demokrat, sang pemenang, yang "hanya" meraup sekitar 20 persen. Dengan kata lain, makin lama makin tampak bahwa "partai golput"-lah yang memenangi pemilihan.
Golput dan sinisme publik pada politik dan partai politik bukan tanpa musabab. Korupsi yang berkecamuk pada partai dan lembaga legislatif membuat kecewa. Oligarki politik terjadi dan politik transaksional menggila. Koalisi dan aliansi antarpartai lebih menggambarkan hasrat politikus untuk mencapai tujuan sesaat ketimbang menyatukan kepentingan jangka panjang. Partai yang satu dan yang lain hanya mudah dibedakan dalam hal warna dan tanda gambar, tapi sulit dibedakan dalam hal ide dan gagasan.
Pikiran untuk tak mencoblos dalam pemilu legislatif tapi memilih pada pemilu presiden mungkin terkesan baik. Pemilih boleh jadi sudah punya calon presiden idaman tapi kecewa terhadap kinerja partai-partai, termasuk yang mendukung calon itu. Mencoblos calon presiden tapi tak mencoblos partai, seperti tampak dalam sejumlah pendapat, dianggap sebagai cara yang efektif untuk "menghukum" partai politik.
Cara berpikir ini, jika diterapkan secara masif, akan membuat presiden terpilih tak didukung partai yang memiliki suara cukup di badan legislatif. Pemerintahan yang lemah tak akan efektif bekerja karena waktunya akan dihabiskan untuk menegosiasikan kebijakan ketimbang menjalankannya. Calon presiden yang tak punya suara legislatif yang cukup bisa-bisa tak punya tiket untuk maju ke pemilu presiden. Koalisi antarpartai memang tak haram, tapi membuka peluang bagi lobi-lobi yang mengarah ke politik transaksional.
Presiden yang kuat dan didukung partai yang besar memang membuka kesempatan bagi melemahnya proses checks and balances. Namun, seperti dikutip sejumlah literatur politik, cara efektif untuk mengatasi kelemahan demokrasi adalah menambah dosis demokrasi. Dalam hal ini, peran masyarakat sipil menjadi penting. Kritik dan suara lantang mereka adalah dosis tambahan itu.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo