Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIM nasional "Under 19" Indonesia berhasil menjuarai Piala Federasi Sepak Bola ASEAN (AFF) U-19, mengaÂlahkan Vietnam pada pertandingan di Sidoarjo, Ahad dua pekan lalu. Sebuah kemenangan yang tidak pernah tercapai dalam 22 tahun terakhir. Kemenangan itu juga melegakan banyak pihak, setidaknya generasi sepak bola negeri ini yang lebih baik mulai bersemi.
Majalah Tempo edisi 5 Oktober 1974 pernah menurunkan laporan utama perihal anjloknya prestasi kesebelasan nasional. Tim Indonesia kalah telak dalam semua pertandingan perlawatannya di Eropa. Pengelolaan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang tidak profesional dan buruknya regenerasi pemain disebut-sebut sebagai penyebab turunnya kualitas tim nasional.
Laporan dibuka dengan cerita kedatangan kesebelasan nasional di Bandar Udara Halim Perdanakusuma yang lengang. Ketika itu, 23 September 1974, tak satu pun suporter menyambut rombongan yang baru usai melakukan pertandingan lawatan ke Eropa.
Lawatan yang memprihatinkan. Delapan kali bertanding, tim PSSI hanya memasukkan 7 gol dan kebobolan 39 gol. Jangankan menang, seri pun mereka tak pernah. Pendek kata, PSSI babak-belur. "Coba macam mana tidak sedih kalau kita mendengar PSSI kalah begitu banyak," kata Machmul, 58 tahun. Kala itu Machmul, yang pernah menjadi penjaga gawang kesebelasan nasional, sudah gantung sepatu dan membuka toko alat olahraga.
Tur Eropa itu memang agak dipaksakan. Beberapa saat sebelum tim berangkat, rasa percaya diri Komisi Teknik PSSI Suparyo sebenarnya sudah longsor. Dalam jumpa pers, ia mengeluhkan buruknya kinerja dan regenerasi pemain di PSSI. Namun, karena PSSI sudah telanjur membuat komitmen pertandingan, perlawatan ke Eropa tetap jalan.
Hasilnya, tim PSSI benar-benar jadi bulan-bulanan. Pada pertandingan pertama melawan klub Oesters di Voxjo, Swedia, 1 September, mereka dihajar 2-9. Dua hari kemudian di Kopenhagen, kesebelasan nasional Denmark sembilan kali membobol gawang tim PSSI tanpa balasan sekali pun.
Pertandingan berikutnya di Kristiansand melawan kesebelasan Norwegia "Under 23". Lawan tanding yang lebih muda dan kurang pengalaman membuat rasa percaya diri Suparyo naik. Ia berikrar akan mundur dari Komisi Teknik PSSI jika kesebelasan Indonesia kalah dalam pertandingan itu. Dan, hasilnya, Indonesia kalah 0-1.
Dari Norwegia, tim menuju Praha, Cekoslovakia, pada 10 September. Di sana mereka kalah 2-4 oleh tim Spartak Praha. Esok harinya PSSI berhadapan dengan kesebelasan "Under 23" Ceko. Lagi-lagi kalah 0-4. Setelah itu, PSSI menuju Jerman Barat dan menantang Offenbach Kickers pada 16 September, dan kalah 1-5.
Dalam rencana awal, melawan Offenbach Kickers adalah pertandingan terakhir dan tim PSSI bakal meninggalkan Jerman Barat, balik ke Indonesia. Namun tampaknya derita tidak mau berhenti di situ. Entah oleh sebab apa, tim kehabisan uang saku. Untuk mencari uang saku, mereka terpaksa ngendon di Mulhouse, Prancis, bertanding melawan FC Sochaux. Mereka kalah 1-3. Pada 19 September, PSSI masih melakukan satu pertandingan ekstra melawan FC Aalborg di Denmark, dan kalah lagi 1-4.
Baru pada 23 September, setelah molor lima hari dari jadwal semula, mereka pulang ke Indonesia. Konon, saat itu para pemain sempat khawatir dan malu memakai kostum nasional. Kapten kesebelasan nasional Anwar Ujang sambil angkat tangan berkata, "Sudahlah, akan saya bagi-bagikan semua perlengkapan saya kepada pemain-pemain muda di Cikampek." Ia lantas berikrar mundur dari tim PSSI.
Machmul menilai kekalahan telak itu adalah buah dari buruknya pengelolaan PSSI serta tidak adanya persiapan regenerasi dengan membina pemain muda dan remaja. "Zaman sekarang kalau tidak profesional jangan berharap," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo