Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat

7 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hak Jawab GMNI

Pada Tempo Edisi 9-15 September 2013, dalam berita "Jokowi Fans Club", halaman 41-42, tertulis: "…Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia—onderbouw PDI Perjuangan."

GMNI secara organisasi bukanlah onderbouw Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Tidak ada pertautan dan hierarki struktural di antara kedua organisasi dimaksud, bahkan secara historis GMNI lebih dulu berdiri daripada PDIP.

Alasan kami mengajukan hak jawab adalah ini: bahwa GMNI merupakan organisasi yang bersifat independen dan berwatak kerakyatan, sebagaimana Anggaran Dasar GMNI Pasal 3 ayat 2. Dengan demikian, GMNI sama sekali bukan organisasi yang berafiliasi pada kekuatan politik (partai politik) mana pun di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Twedy N. Ginting
Ketua GMNI

Terima kasih atas koreksi Anda.–Redaksi


Keamanan Pejalan Kaki

Pak Jokowi yang baik, tolong sediakan trotoar untuk peja­lan kaki dan penggemar olahraga lari, juga jalur sepeda yang aman, agar kami bisa beraktivitas dengan tenang dan tidak takut tertabrak mobil, sepeda motor, atau kendaraan umum. Melihat kecelakaan di daerah Senayan baru-baru ini, saya semakin khawatir kalau bersepeda ataupun berjalan kaki, hal yang biasa saya lakukan di akhir pekan bersama keluarga.

Raditya Fabian
Jalan H Nur Nomor 16
Pejaten Barat, Jakarta Selatan


Tinjau Kembali Mobil Murah

Persetujuan atas beredarnya mobil murah, dengan pertimbangan sumber pendapatan negara terbesar adalah dari pajak industri kendaraan serta keadilan bahwa rakyat kecil juga bisa menikmati dan memiliki mobil, adalah salah besar. Ibarat cukai rokok, yang dikumpulkan melalui pajak memang besar, tapi merusak generasi bangsa dalam jangka panjang. Belum lagi biaya pengobatan korban merokok, antara lain penyakit kanker.

Seharusnya, dalam menyusun untung-rugi pendapatan negara dari hasil pajak atas penjualan mobil murah, pemerintah juga mempertimbangkan kerugian masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah kendaraan, lalu lintas bertambah macet. Negara harus berpikir cemerlang dan cerdik. Mungkin lebih baik yang diutamakan adalah pengadaan mass rapid transit serta bus murah yang efisien dan efektif.

Lie Gan Yong
Jalan Balai Pustaka, Rawamangun
Jakarta Timur


Catatan untuk Sdr Hersri Setiawan

Saya ingin memberi catatan, semacam koreksi, untuk tulisan Saudara Hersri Setiawan dalam majalah Tempo, Edisi Khusus Lekra (30 September-6 Oktober 2013).

1. Dalam tulisan itu, Sdr Hersri menyebut ada "kubu" yang meyakini "seni untuk seni" dan ia menghubungkannya dengan S. Takdir Alisjahbana.

Ada distorsi fakta di sini. Dalam penelitian saya, S. Takdir Alisjahbana justru orang pertama yang menolak "seni untuk seni". Ini bisa dibaca dalam majalah Poedjangga Baroe Nomor Peringatan 1923-1938 halaman 43: Takdir bertentangan dengan Sanusi Pane yang setuju "seni untuk seni". Takdir bersikap sastra harus berperan dalam "reconstructie arbeid".

Bahkan, setahu saya, Takdir sastrawan Indonesia pertama yang mengutip Maxim Gorky, perumus Realisme Sosialis, dalam hubungan sastra dan politik.

Dalam sejarah sastra Indonesia, ide "seni untuk seni" tidak tercatat sebagai ide yang dominan. Hanya pada awalnya Sanusi Pane yang mendukungnya, tapi pendiriannya tidak lama. Ia kemudian menulis lakon Manusia Baru dengan tema perjuangan buruh di India.

Sanusi Pane juga yang kemudian memimpin Pusat Kebudayaan di bawah pemerintahan Jepang, yang menghasilkan karya-karya propaganda buat "Asia Timur Raya"—benar-benar bukan "seni untuk seni".

"Manifes Kebudayaan" juga menolak "seni untuk seni". Dalam teksnya dinyatakan penolakan terhadap "imperialisme kaum estet", yang mengutamakan estetika di atas komitmen sosial.

Mengenai hal ini sudah saya tulis cukup panjang dalam "Afair Manikebu, 1963-1964" yang saya tulis pada 1988 dan saya muat lagi dalam buku Marxisme, Seni, Pembebasan, (Tempo, PT Grafiti Pers, 2011).

2. Hersri mengatakan "semifeodalisme" tecermin dalam lembaga kerja sama Indonesia-Belanda, Sticusa, yang pernah mengundang sastrawan dan seniman Indonesia berkunjung ke Eropa.

Dari nama-nama yang diundang, (antara lain Asrul Sani, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananta Toer), saya duga lembaga itu—apa pun motifnya—tak ada hubungannya dengan apa yang berbau feodal atau setengah feodal. Tapi mungkin Sdr Hersri bisa menunjukkan indikasinya?

Semoga catatan ini ada gunanya buat pembaca.

Goenawan Mohamad
Komunitas Salihara,
Jalan Salihara 16, Jakarta Selatan


RALAT

Majalah Tempo Edisi 30 September-6 Oktober 2013:

1. Pada berita berjudul "Hikayat Cek Sabrang Pulau", halaman 36, tertulis: "…Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, yang saat itu menjabat anggota DPR…." Itu keliru. Saat itu Tifatul belum menjadi anggota DPR.

2. Pada foto di halaman 62, tertulis keterangan: "Kegiatan melukis di Sanggar Pelukis Rakjat, Yogyakarta, 1952." Keterangan ini keliru. Yang benar, itu foto mahasiswa ASRI Yogyakarta yang sedang melukis di rumah dosen mereka, Trubus Sudarsono, 1952.

— Redaksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus