Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKIL Mochtar semestinya lebih meresapi kata-kata bijak bahwa ucapan adalah doa. Setelah dilantik sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Agustus lalu, dengan gagah dia mengusulkan koruptor dipotong jarinya dan dimiskinkan. Kini kata-kata itu dia buktikan sendiri. Akil harus mendekam di ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah tertangkap basah menerima suap miliaran rupiah.
Tentu jari Akil tak akan dipotong. Tapi, jika kelak terbukti menerima suap, dia layak dipenjarakan seberat-beratnya, selain dimiskinkan. Kejahatannya sulit diampuni bukan hanya lantaran ia menerima suap miliaran rupiah, melainkan terutama karena posisinya sebagai ketua lembaga tinggi negara yang semestinya tak tercela. Ulah bekas politikus Partai Golkar ini membuat kredibilitas Mahkamah roboh.
Kecurigaan bahwa Akil Mochtar bukanlah sosok bersih sudah meruap kencang. Tiga tahun lalu, saat masih hakim konstitusi, dia diterpa isu tak sedap. Akil dituding meminta Rp 1 miliar dari Bupati Simalungun Jopinus Ramli, yang bersengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah. Kasus ini sampai dibawa ke Majelis Kehormatan, tapi Akil dan satu hakim lain yang diduga terlibat lolos. Tak ada bukti untuk menjerat mereka. Mahfud Md., Ketua Mahkamah saat itu, juga terkesan lebih melindungi koleganya ketimbang serius mengusut masalah ini.
Bau amis dan kejanggalan putusan Mahkamah juga merebak dalam kasus sengketa pemilihan kepala daerah Sumba Barat Daya. Pada 29 Agustus lalu, Mahkamah menguatkan putusan Komisi Pemilihan Umum Daerah yang memenangkan pasangan Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha. Padahal ada dugaan kuat terjadi penggelembungan suara sehingga merugikan pasangan Kornelius-Daud. Anehnya, 144 kotak suara yang dibawa ke Jakarta untuk barang bukti tidak dibuka. Lebih aneh lagi, penghitungan ulang oleh Kepolisian Resor Sumba Barat menunjukkan justru pasangan Kornelius-Daud yang unggul.
Banyaknya kejanggalan putusan sengketa pemilu daerah inilah yang membawa KPK mengusut Akil. Pengusutan terhadap hakim tak boleh berhenti hanya pada Akil seorang. Putusan Mahkamah adalah putusan kolektif-kolegial, melibatkan sidang oleh lebih dari satu hakim. Dalam kasus sengketa pemilihan Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Bupati Lebak yang membuat Akil ditangkap ini, dia tak mungkin sendirian. Mekanisme pengambilan putusan bersama itu membuka kemungkinan bahwa hakim lain pun terlibat.
Proses rekrutmen hakim di lembaga ini juga perlu dibenahi. Sebetulnya ada ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan pencalonan hakim transparan dan partisipatif. Tapi ketentuan ini ditabrak begitu saja. Inilah yang terjadi dalam pengusulan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi oleh pemerintah. Meski pencalonan Patrialis—yang rekam jejaknya meragukan—ditentang banyak pihak, bahkan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara, politikus Partai Amanat Nasional ini lolos juga.
Ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang memutus hubungan antara partai dan para hakim perlu segera dibikin. Saat ini, tiga dari sembilan hakim berasal dari partai politik. Selain Akil dari Golkar dan Patrialis dari PAN, satu hakim lagi, yaitu Hamdan Zoelva, berasal dari Partai Bulan Bintang. Ketiganya politikus kawakan. Dengan komposisi seperti itu, mereka berpotensi main mata demi kepentingan partainya saat memutus sengketa pemilu daerah. Pembahasan revisi undang-undang lain yang menyangkut kepentingan partai juga mesti dilakukan. Dengan aturan lima hakim menangani satu perkara, ketiga politikus bisa mendominasi suara.
Untuk mencegah permainan inilah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah waktunya diamendemen. Harus dibuat ketentuan bahwa politikus yang diajukan sebagai calon hakim konstitusi bukan lagi anggota partai minimal dalam lima tahun terakhir. Ketentuan ini penting untuk memutus hubungan organisatoris dan psikologis hakim dengan partai yang membesarkannya.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah pengawasan terhadap para hakim. Saat ini, sesuai dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, hakim konstitusi hanya diawasi Majelis Kehormatan. Padahal, sebelumnya, Komisi Yudisial berhak melakukan pengawasan. Namun, melalui putusan Mahkamah atas uji materi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial pada 2006, hak itu dipangkas. Agar pengawasan terhadap Mahkamah lebih independen, sudah waktunya hak itu dikembalikan melalui amendemen Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Pengawasan internal pun mesti diperkuat. Mahkamah bisa meniru KPK, yang memiliki lembaga pengawasan internal yang kuat. Lembaga antirasuah itu telah menerapkan metode pengawasan ketat berstandar internasional. KPK juga memiliki sistem audit kinerja melalui pengawasan keuangan sebagaimana dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan. Pengawasan berlapis itu mempersempit peluang hakim bermain mata. Hanya dengan melakukan sederet langkah itulah kredibilitas lembaga ini bisa dipulihkan.
berita terkait di halaman 34
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo