SETELAH berunding dengan Menpen Harmoko, Menteri Tenaga Kerja Sudomo pekan lalu setuju tak perlu dibentuk serikat pekerja pers. Alasannya: jurnalistik merupakan profesi. Sebenarnya, dengan mulai berlakunya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) - yang mengharuskan perusahaan pers memberikan saham, minimum 20%, kepada karyawannya - kedudukan karyawannya sudah "lebih tinggi" dari serikat buruh: bisa hadir dalam rapat pemegang saham dan mempunyai suara untuk turut menentukan beleid perusahaan. Dalam forum itu para wakil karyawan sebagai pemegang saham bukan sekadar bisa menanyakan, tapi berhak minta pertanggungjawaban direksi tentang soal-soal yang menyangkut kesejahteraan, misalnya. Meskipun begitu, suatu lembaga penghubung antara yang memimpin dan yang dipimpin tetap diperlukan. Di lingkungan PT Grafiti Pers, penerbit TEMPO, ada dua lembaga penghubung itu: Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKK) dan Dewan Karyawan (DK). YKK, berdiri 1975, adalah pemilik saham kolektif karyawan TEMPO. Sejumlah karyawan yang bergabung dengan TEMPO, sebelum majalah ini terbit pada awal 1971, memiliki saham atas nama. Sedang yang masuk belakangan memiliki saham secara kolektif, diwakili oleh-YKK TEMPO. Selain mengatur pembagian dividen, sejak 1983 yayasan itu mengusahakan sebuah koperasi, mirip perusahaan leasing: koperasi bisa menyediakan apa saja yang dapat dicicil karyawan, dari kulkas sampai AC mobil. Adapun DK, yang berdiri enam tahun silam, bertujuan ikut menciptakan suasana kerja yang baik di lingkungan perusahaan. Pengurusnya, yang lima orang, bermasa jabatan setahun, dipilih dalam suatu rapat anggota. Tugasnya antara lain: menampung dan menyalurkan aspirasi, pendapat, dan tuntutan karyawan untuk disampaikan kepada direksi - mulai soal kesejahteraan, tata kerja, sampai pun pengaduan yang bersifat pribadi. Karni Ilyas, pengurus DK selama dua periode, berpendapat, titik utamanya saat ini bukan lagi soal kesejahteraan, tapi lebih banyak mengatasi konflik antara karyawan, agar tercipta suasana kerja yang "tenteram". Sarjana hukum yang sehari-hari mengasuh rubrik Hukum itu menilai, DK TEMPO memang lain dari serikat-serikat buruh yang dikenalnya, yang biasanya sarat dengan konflik. Sesungguhnya konflik antara yang memimpin dan yang dipimpin akan selalu ada. Masalahnya adalah: bagaimana pimpinan mengelolanya (management of conflicts). Di TEMPO, selain lewat YKK dan DK, hal itu disalurkan dengan menciptakan berbagai forum, yang terdiri dari berbagai unsur dl redaksi maupun nonredaksi, atau gabungan. Misalnya, rapat anggaran yang paling sedikit diikuti setiap kepala bagian, rapat Selasa untuk mendiskusikan isi majalah, rapat staf, rapat tim buku, rapat tim kulit muka, dan lain-lain. Forum-forum komunikasi itu akan terus berkembang, dan memang terasa manfaatnya untuk mencegah timbulnya perasaan ketidakbersamaan. Penentu terakhir, melalui sistem manajemen yang terbuka ini, adalah keputusan rapat - bukan keputusan orang per orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini