Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mengaburkan fakta hasil tes darah puluhan warga Indonesia positif AIDS.
Laporan WHO menguak tabir kondisi AIDS di Indonesia.
Pemerintah diminta tidak menutup-nutupi informasi karena dapat memperlambat upaya penanggulangan.
MENTERI Kesehatan Terawan Agus Putranto kembali dikritik karena kementeriannya “menjuarai” kasus corona di kluster perkantoran. Ia dianggap gagal menerapkan protokol kesehatan di kantornya sendiri. Belakangan, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Achmad Yurianto mengatakan kemungkinan besar pegawai Kementerian Kesehatan yang terinfeksi virus corona tertular dari luar kantor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri berpangkat jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat bintang tiga itu juga kerap dikritik karena dianggap gagal menangani pandemi. Salah satu yang tak pernah berhenti menjadi sasaran kecaman adalah mengenai transparansi data hingga gaya komunikasi yang buruk. Pakar pandemi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan edukasi publik dengan komunikasi risiko yang baik adalah tulang punggung keberhasilan penanganan wabah. “Pendekatannya psikologis supaya publik tidak panik. Ini sama seperti yang dilakukan Trump,” katanya, Sabtu, 19 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo pada edisi 25 April 1987 mengungkap upaya Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) menutup-nutupi kasus penularan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) di Indonesia. Lewat berita berjudul “AIDS, Awan Gelap yang Makin Rendah”, upaya Depkes menyembunyikan kasus terlacak dari satu pasien perempuan asal Malang, Jawa Timur, yang dinyatakan meninggal bukan karena AIDS. Namun kematian ini dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai kasus AIDS di Indonesia.
Depkes saat itu berkukuh menganggap kematian perempuan 25 tahun tersebut bukan karena AIDS berdasarkan hasil pemeriksaan dengan metode Western Blot, yang menunjukkan hasil negatif. Padahal gejala klinis yang terlihat cukup kuat untuk menyatakan perempuan tersebut mengidap AIDS. Hasil pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron pun jelas: ada HIV dalam darah pasien. Beberapa dokter menjelaskan, hasil negatif dari pemeriksaan Western Blot disebabkan oleh antibodi pasien yang tak lagi bisa ditemukan karena sudah benar-benar habis dilumat virus.
Dalam laporan WHO yang dipaparkan pada pertemuan di New Delhi, India, 15-16 Juli 1986, disebutkan pasien perempuan tersebut memiliki penyakit kelainan darah autoimmune hemolytic anemia. Karena itu, dia rutin menerima transfusi darah sejak September 1985. Dalam laporan WHO itu pula disebutkan, saat uji darah ELISA yang dilakukan berulang-ulang, didapat reaksi yang menjadi penanda pasien tertular AIDS.
Kasus ini menunjukkan penularan AIDS sudah ada sejak tahun lalu, 1986. Dengan demikian, kasus Edward Hop, turis asal Belanda yang dilaporkan sebagai catatan AIDS pertama di Indonesia oleh Depkes, bukanlah yang benar-benar pertama. Laporan WHO itu menyebutkan setidaknya ada 23 hasil tes positif pada pemeriksaan darah 8.860 tenaga kerja Indonesia yang akan dikirim ke Arab Saudi.
Depkes lagi-lagi mengelak soal hasil positif ini. Pemerintah lewat Zubairi Djoerban, ahli darah dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang ditunjuk pemerintah melakukan uji darah, mengatakan hasil positif belum tentu mengidap AIDS. “Hasil tes positif secara serologis tanpa gejala klinis menandakan orang pembawa virus HIV, tapi tidak sakit,” ujarnya.
Zubairi mengungkapkan pemerintah telah berupaya melakukan tes acak terhadap 270 orang yang diasumsikan berisiko tinggi di Jakarta Utara dan terhadap 140 kantong darah untuk transfusi. Hasilnya semua negatif. “Jadi aman,” katanya. Zubairi berkukuh AIDS tak perlu dirisaukan di Indonesia. Tapi ia juga mengatakan biaya untuk melakukan pemeriksaan terhadap semua kantong transfusi darah mustahil dilakukan karena mahal.
Ihwal minimnya kasus yang terdeteksi di Indonesia, yang dianggap tak masuk akal, Ketua Panitia Nasional Penanggulangan AIDS A.A. Loeddin mengatakan banyak dokter di Indonesia belum memahami seluk-beluk AIDS. “Peralatan yang diperlukan bagi pemeriksaan darah untuk mendeteksi AIDS sudah kita miliki, tinggal tenaganya,” ucapnya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah mengutus tujuh dokter—dari Jakarta, Surabaya, dan Bali—mengikuti program pendidikan WHO mengenai AIDS.
Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad mengatakan keinginan pemerintah mencegah kepanikan adalah tindakan tepat. Tapi, kata dia, membangun pemahaman publik lewat penjelasan dan penyebaran informasi mengenai AIDS merupakan langkah paling penting. Karena itu, tindakan pemerintah menutupi kasus dianggap menghambat penanggulangannya. “AIDS merupakan fenomena baru bagi dokter mana pun. Semua dokter di dunia terkejut menemukan AIDS, dan mereka berusaha mempelajari gejala penyakit baru ini dari sumber mana pun,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo