Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah program penayangan wajah koruptor di televisi efektif menangkap koruptor yang buron? (21-28 Oktober 2006) | ||
Ya | ||
63,32% | 271 | |
Tidak | ||
33,41% | 143 | |
Tidak tahu | ||
3,27% | 14 | |
Total | 100% | 428 |
Kejaksaan Agung akan kembali menayangkan wajah koruptor yang buron di televisi. Saat ini, sudah ada 14 nama yang wajahnya akan disiarkan melalui televisi. Status hukum mereka sudah final alias sudah berkekuatan hukum tetap. Setiap pekan, Kejaksaan Agung akan memajang satu wajah koruptor. Penayangan tersebut akan dilengkapi identitas diri serta kasus korupsinya.
Namun, rencana tersebut disambut dingin oleh sebagian anggota masyarakat maupun para pakar hukum. Ketua Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis, misalnya, termasuk yang meragukan efektivitas program tersebut. ”Mana mungkin koruptor yang sudah dijatuhi hukuman tersebut kembali lagi jika (itu) tujuannya penayangannya,” ujar Todung.
Menurut dia, selama sistem hukum negara kita masing bolong-bolong, program semacam itu pasti tidak efektif. Dia mencontohkan program yang sama pada masa lalu. Robin, salah satu responden jajak pendapat Tempo Interaktif di Medan sepakat dengan Todung. ”Yang diperlukan tetap kerja keras aparat hukum memburu para koruptor,” ujarnya.
Tentu saja, tak semua meragukan rencana itu. Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng menegaskan bahwa pemerintah mendukung penuh kegiatan tersebut. Dia mempersilakan penayangan wajah pejabat pemerintah jika ada yang terbukti korupsi. ”Kenapa tidak?” katanya.
Dukungan juga datang dari masyarakat. Onggusly, salah satu responden di Medan, menilai penayangan bisa membuat malu para koruptor. ”Juga dapat membikin pejabat sekarang segan untuk korupsi. Saya yakin masyarakat ingin membantu aparat memburu koruptor. Penayangan wajah mereka akan memudahkan masyarakat membantu aparat,” ujarnya.
Sebagian besar responden Tempo Interaktif sejalan dengan pendapat Onggusly bahwa penayangan koruptor buron di televisi akan efektif. Hanya 33,4 persen responden yang berpendapat sebaliknya.
Indikator Pekan Ini: Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai pemberian remisi terhadap Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto amat janggal karena tak jelas kriterianya. Apalagi remisi yang diberikan Departemen Hukum dan HAM itu mencapai 38 bulan. Dalam sejarah, angka itu adalah yang terbesar. ”Ini patut masuk Museum Rekor Indonesia,” ujarnya. Agar tak terjadi kontroversi, Ketua DPR Agung Laksono meminta pemerintah menjelaskan banjir remisi Tommy itu kepada masyarakat, sebab deras beredar pendapat bahwa pembebasan bersyarat Tommy itu karena ada perlakuan khusus. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin membantah pendapat itu. Kata dia, pemberian remisi berlaku bagi semua narapidana. Menurut Anda, apakah ada perlakuan khusus di balik pembebasan Tommy Soeharto? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo